Langit masih gelap dan fajarpun masih terlelap, tapi wanita tercantik yang aku miliki ini sudah beraktifitas. Bunyi merdu tampah beras selalu menjadi latar suara pagiku. Bagaimana tidak, ibuku adalah seorang buruh tani yang kerjanya mengayak beras-beras kotor sisa gilingan. Wanita tangguh, hebat dan baik hati ini adalah alasanku untuk tetap semangat hidup. Aku hanya hidup dengan ibu dan adik perempuanku. Aktifitas sehari-hariku adalah bersekolah dan bekerja sebagai guru les anak lurah desaku.
“Bowo, jangan lupa sarapan dulu nak. Emak sudah membuatkan ubi rebus,” kata Emak.
“Iya mak, nanti Bowo juga mau bawa buat bekal di sekolah,” jawab bowo semangat.
“Iya nanti emak bungkusin.”
Aku, Bowo Pamungkas, yang memiliki cita-cita setinggi gunung, sedalam lautan dan seluas samudra. Siap melewati hari-hari berat dalam hidup. Cita-citaku adalah ingin membangun peretanian di desa. Aku ingin desaku bisa menjadi wilayah pengekspor beras terbesar dan berbagai macam sayuran kepenjuru negeri, bahkan penjuru dunia. Tapi karena cita-cita ini, ibuku dipandang sebelah mata oleh warga desa yang merasa tidak akan mungkin aku menjadi seorang sarjana. Maklum saja, di desaku tidak ada yang berpendidikan tinggi. Paling tinggi hanya setara SD. Bahkan banyak dari teman-teman seperjuanganku tidak menyelesaikan SD nya. Para gadis desa menikah muda, dan para lelaki pasti melanjutakan usaha orang tua mereka. Tapi aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin keluargaku memiliki hidup lebih layak dan dapat membuat mereka bangga.
“Mak Sih, kenapa Bowo tidak suruh bekerja membantu di sawah saja?” tanya bu Inem, pemilik sawah.
“Bowo ingin menyelesaikan pendidikannya sampai sarjana nanti, bu Inem,” jawab mak Sih sambil tersenyum.
“Tidak akan mungkin Bowo bisa bersekolah setinggi itu, mak Sih. Biaya kuliah itu sangat mahal, apa mak Sih sanggup?” kata bu Inem sambil menepuk bahu mak Sih.
Ucapan seperti itu sering membuat ibuku ragu akan pilihan yang aku ambil. Ia merasa takut jika cita-citaku ini tidak akan terjadi dan hanya membuatku patah semangat. Ia merasa tidak memiliki biaya untuk mendukung cita-citaku. Tapi aku tetap percaya jika cita-citaku akan terwujud. Salah satu usahaku adalah dengan tetap melanjutkan sekolah walaupun jarak dan fasilitas yang aku miliki terbatas. Setiap hari jarak yang harus aku tempuh untuk pergi bersekolah sekitar 3 km, dengan mengayuh sepeda tua peninggalan bapak. Hanya ada dua SMA yang ada di sini. Aku sekolah di SMA N 1 Pelita Bangsa. Sekolah tercintaku ini berada di seberang desa dekat dengan perbatasan kota. Aku sangat bersyukur, karena aku mendapat beasiswa sehingga aku tidak membebani ibuku. Tidak lama lagi aku kan meninggalkan bangku SMAku. Aku harus segera menyusun rencana untuk masa depanku setelah lulus SMA.
Beberapa hari lalu ada sosialisasi dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. mereka menjelaskan bagaimana sistem perkuliahan dan mutu perguruan tinggi mereka. Mereka juga menjelaskan beasiswa yang bernama bidikmisi. Aku merasa mendapat harapan baru setelah sosialisasi itu. Aku bisa mendaftar bidikmisi untuk melanjutkan pendidikanku di tingkat lebih tinggi. Aku mencari informasi tentang hal itu kepada beberapa guru di sekolah termasuk kepala sekolahku.
“Assalamualaikum, Pak Edi,” ujarku di ambang pintu ruangan kepala sekolah.
“Walaikumsalam, masuk saja Bowo,” jawab Pak Edi, kepala sekolah.
“Ini pak, saya mau minta tanda tangan untuk mendaftar beasiswa bidikmisi melanjutkan pendidikan saya diperguruan tinggi.” aku menjelaskan.
“Letakan saja berkasnya di meja bapak, di sana,” jawab Pak Edi sambil menunjuk mejanya.
“Terima kasih, pak,” kataku sambil tersenyum.
Setelah meletakan berkas itu, rasanya sangat lega, seperti beban dihidupku berkurang satu. Aku bisa merasakan harum dari masa depanku. Aku belum memberi tahu tentang ini kepada ibu. Aku ingin memberi tahunya jika sudah benar diterima menjadi salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri impianku. Semoga nantinya bisa menjadi hadiah besar untuk ibu dan adikku. Hari semakin hari berlalu, ini hari dimana pembukaan pendaftaran SNMPTN. Aku sangat bersemangat untuk dapat mendaftar hari ini, uang hasil mengajarku aku kumpulkan untuk menyewa komputer di warnet kota. Banyak hal yang telah aku siapkan. Seperti meminjam sepeda pak lurah dan bangun sangat pagi untuk pergi ke kota agar tidak kehabisan komputer. Jarak yang aku tempuh menuju kota sekitar 8 km, tetapi tidak membuatku mengurungkan niat untuk mendaftar SNMPTN hari ini. Sesampainya di sana, aku harus bersabar karena antrian penyewaan sudah panjang. Setelah 4 jam berlalu, kini giliranku untuk menyewa. Aku mengabaikan fakta jika aku adalah orang yang gagap teknologi. Tetapi tidak membuatku kehilangan akal, aku menyewa komputer beserta petugas warnetnya.
“Mas, bisa minta tolong daftarkan saya SNMPTN di website ini?” kataku sambil menyodorkan buku dan raport.
“Kenapa tidak masnya langsung saja?” jawab petugas warnet.
“Karena saya tidak bisa menjalankan komputer mas, saya gagap teknologi,” kataku malu-malu.
“Oh iya, baiklah. Tapi biayanya double, karena mas mengganggu pekerjaan saya,” katanya sambil tersenyum.
“Iya mas tidak apa-apa,” setujuku.
Beberapa minggu setelah pendaftaran SNMPTN, aku mendapat kabar bahwa aku diterima disalah satu perguruan tinggi negeri Jogja seperti impianku. Tetapi aku malah merasa sedih karena aku nantinya akan meninggalkan ibu dan adikku. Aku merasa egois dan seenaknya sendiri, dibutakan cita-cita yang gila ini. Berat rasanya mengambil keputusan melanjutkan cita-citaku atau aku harus menjaga dan melindungi dua wanita tercantik yang aku miliki.
“Bowo, bisa kamu ke ruangan saya?” tanya guru BK.
“Bisa pak , memangnya ada apa ya, pak?” tanyaku kepada guru BK.
“Ada yang mau saya bicarakan, Bowo. Tentang cita-citamu,” jawab guru BK sambil tersenyum.
Mau tak mau aku mengikuti intruksi dari guru BK ku ini menuju ruangannya. Aku sudah tau apa yang akan guru BK katakan kepadaku yaitu tentang penolakanku berkuliah di perguruan tinggi negeri. Aku berjalan sambil berfikir jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaannya nanti.
“Bowo, kenapa kamu menolak perguruan tinggi impian yang sudah menerimamu? Apa ini karena biaya atau ada masalah lain?” tanya guru BK serius.
“Ehm …, itu karena saya tidak tega meninggalkan ibu dan adik saya di desa, sedangkan saya harus pergi ke kota. Saya takut tidak bisa menjaga ibu dan adik saya padahal ibu saya sudah bertambah tua,” jawabku lesu.
“Apa kamu sudah memberi tahu hal ini kepada ibumu ?”
“Sudah, pak,” kataku berbohong.
“Kamu sudah berjuang keras dan kamu juga pintar, bapak yakin bahwa kamu bisa sukses nantinya,” katanya sambil menepuk punggungku.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar perkataan guru BK ku. Sejujurnya aku juga berat harus memilih keputusan ini tetapi aku tidak ingin menyesal lebih dalam karena tidak bisa menjaga dan merawat ibu dan adikku. aku berfikir setelah lulus akan membuka tempat les kecil-kecilan. Aku mencoba ikhlas dan yakin dalam keputusan ini. Sesampainya dirumah, betapa terkejutnya aku melihat guru BK dan kepala sekolah keluar dari rumahku. Aku merasa terkejut, padahal rumahku sangat jauh dari sekolah. Seperginya guru dan kepala sekolah, ibuku memasang wajah sedih ditambah adikku yang menangis. Perasaanku tidak karuan melihat kedua wanita yang paling aku cintai ini bersedih. Aku mencoba tenang walaupun aku merasa takut dan sedih melihat mereka bersedih.
“Bowo, kenapa kamu tidak memberi tahu emak kalau kamu itu sudah di terima dan mendapat beasiswa di perguruan tinggi impianmu? Emak sama adikmu tidak apa-apa, malah merasa sangat bahagia bisa mendengar kabar yang membahagiakan ini. Emak sedih mendengar alasan kamu menolak penerimaan itu, emak dan adikmu ini merasa menjadi penghalang, Bowo,” kata emak panjang sambil menangis dan mengelus kepalaku.
“Bukan seperti itu mak, Bowo cuma mau menjaga emak dan Tini. Bowo tidak pernah berfikir emak dan Tini sebagai penghalang Bowo,” jawabku sambil tertunduk menangis.
“Jika kamu sayang dan benar ingin emak bahagia, wujudkan impianmu, Bowo. Kebahagiaan emak adalah kesuksesan dari kalian nantinya. Buat emak dan desa ini bangga punya kamu. Emak mau kamu bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak. Jadi, tolong kamu ambil penerimaan itu dan pergi ke kota. Emak percaya datangmu adalah pulangmu,” katanya sambil menggenggam tangganku
Perkataan emak kepadaku sore itu sangat berdampak pada keputusanku dan masa depanku saat ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku kan datang untuk pulang. Datang menjemput cita-cita untuk pulang bersamaku nantinya. Aku menjadikan perkataan emak sebagai penyemangat disaat aku lelah dan hampir menyerah. Aku sangat bersyukur memiliki harta paling berharga seperti emak dan adikku. Dengan semangat, aku akhirnya dapat menyelesaikan sarjanaku dalam waktu 3,5 tahun yang begitu berat dan tajam. Sering sekali aku jatuh sakit karena kesibukanku sendiri. Seperti kuliah sambil bekerja dan mengurusi organisasi yang aku ikuti. Tidak jarang aku mengirim uang untuk biaya hidup emak dan adikku di desa. Setelah aku menyelesaikan S1 ku, aku melanjutkan pendidikan lagi ke jenjang lebih tinggi yaitu S2 di Belanda.
Waktu demi waktu berlalu, setelah aku bekerja di kedinasan, penelitian, dan pengembangan pertanian di Jakarta akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke desa dan bertekat memajukan pertanian di desaku dengan ilmu dan pengalamanku selama ini. Aku akan berusaha membalas budi kepada desa tempatku tumbuh dewasa dan menjadi tempat menyimpan jutaan kenangan. Aku ingin anak istriku mengenal dan mencintai sejarahku. Entah apa yang akan terjadi mendatang, maju atau mundur aku lebih mementingkan usahaku nanti. Wajib bagi kita putra dan putri daerah memajukan dan mensejahterahkan daerah kita. Agar kelak yang menikmati kemajuan bukan hanya sanak keluarga kita, tapi semua masyaratkat daerah itu sendiri. Dengan memajukan daerah kita sendiri, berarti kita membantu memajukan Indonesia negeri tercinta, percayalah.
Ofni Oftafiana