Pintunya masih sama seperti setahun lalu aku kemari. Berbalut cat hitam dengan aksen garis merah yang luntur termakan usia. Gorden biru kusamnya pun tampak masih menggantung persis di jendela samping pintu.
Halaman depan rumahnya masih sempit, dengan satu pohon mangga rindang, yang bahkan buahnya sering kucicipi dulu. Daun dengan bentuk menyirip coklat itu terlihat berserakan memenuhi teras depan. Seperti tak disapu lama dan tak lagi disinggahi.
Derit sepedaku terdengar nyaring setelah setangnya menoleh ke samping sebab terkena desis angin sore. Aku mengamati sekali lagi, mengamati rumah itu dengan perasaan berkecamuk. Jika harapku dapat menjumpai senyum serupa matahari terbit itu, maka bangunlah, Shabira. Karena saat matamu terbuka, yang kau dapatkan hanya senyap, kerontang.
Aku menyerah, air mata rasanya sudah diujung pelupuk, namun tak jua keluar meski hati sedang hujan deras. Untuk kamuflase perasaan, aku memang ratunya. Aku menuntun sepeda pinjaman adikku, meninggalkan rumah itu dengan bisu. Rasanya perumahan ini tak seramai dulu atau memang sepi? Hingga membuat dia pergi? Aku menuntunnya sampai lapangan, hingga seorang bocah perempuan memanggilku.
“Bu Bira, kapan pulang? Kenapa di sini?” tanya Sisil sembari mencium punggung tanganku. Bocah perempuan yang pernah menjadi murid les privat beberapa tahun lalu. Rumahnya memang tak jauh dari sini.
“Sedang jalan-jalan, Dek,” kataku dengan senyum mengembang. Tidak mungkin bukan jika aku menjawab karena terlalu rindu dan segenap perasaan lain yang menuntunku sampai sini.
“Mau jalan-jalan denganku, Bu?” tanyanya antusias.
Aku mengangguk dua kali, “Let’s go girl.”
Dan sore itu perasaanku diselamatkan oleh Sisil.
Aku masih ingat sekali sembilan tahun lalu, pertemuan pertamaku dengannya disebuah Majelis Ta’lim Al-Ikhlas. Waktu itu aku masih ingusan. Dan dia satu-satunya yang mau duduk di sampingku, bertanya satu hal agak lucu.
“Hai. Jilbabmu cantik sekali. Beli dimana?” Aku memandanginya gugu. Bagaimana mungkin menyapa tidak bertanya nama dulu.
“Dibelikan ibuku ….”
“Aini. Panggil saja Aini.”
Aku mengangguk kecil. “Iya, baru kemarin dibelikan ibuku, Ai,” balasku langsung dengan menggunakan sapaan.
Dia tersenyum. “Kamu orang kedua yang panggil aku Ai setelah ibu.” Senyumnya makin mengembang.
“Lalu aku harus memanggil kamu apa?”
“Bira.”
“Bira, bolehkah aku main ke rumahmu? Aku mau bertanya pada ibumu dimana beli jilbab ini.” Aku tertawa ketika dia menunjuk jilbab biru yang tengah kupakai. Ia juga demikian, namun sedetik kemudian tangan kami sama-sama membungkam mulut ketika mendapati Pak Ustadz dan murid lain memandangi kami dengan tatapan ‘jangan bercanda terus’
Aku dan Aini saling memindai, masih meredakan sisa tawa yang tak kunjung hilang. Aku membenarkan letak duduk dan kembali menyimak apa yang sedang Pak Ustadz sampaikan di depan sana.
Pertemuan pertama kami berlanjut menjadi teman. Menjadi teman dekat. Menjadi sahabat. Dan rasanya sudah selayak saudara. Kami sering menghabiskan waktu bersama, meskipun dari sekolah dasar hingga SMA kami tak pernah seatap, namun ikatan itu terus terjalin, mengakar.
Ketika bermain, kadang banyak orang yang menganggap kami kakak-adik satu rahim. Padahal jelas kami berbeda ayah pun ibu. Barangkali takdir memang membuat kami hampir serupa dan menjadikannya se-frekuensi pula. Banyak mimpiku dan mimpinya sama.
Kami sering melukis mimpi dilembar kertas dan berjanji untuk tunaikan bersama. Seperti misalnya pergi menjenguk bunga sakura, atau terbang menuju Edensor, sebuah desa kecil yang berada di Derbyshire Inggris. Desa yang kukenal lewat judul novelnya Andrea Hirata.
Belum jua cita itu terlaksana, selepas subuh, dering ponselku berbunyi. Dari Aini. Aku mengangkatnya tanpa curiga.
“Halo Assalamualaikum, Bir.”
“Wa’alaikumsalam, Ai. Tumben jam segini udah telfon.”
“Bapakku meninggal, Bir. Jam 4 pagi. Doakan yang terbaik, ya.”
Ia menutup telfonnya tanpa mengucap salam dan sebelum aku membalas. Aku segera mengecek pesan WhatsApp, dan benar, Aini sudah menghubungi beberapa kali. Air mataku tanpa sadar menetes, satu titik, dua titik, hingga tak dapat kubendung lagi. Sahabatku kehilangan hero-nya. Cinta pertamanya.
Aku bergegas pergi ke rumahnya. Dari teras samping pohon mangga, kulihat dia masih memperlihatkan senyum tipisnya pada para pelayat yang datang. Bibirnya mengucap terima kasih kala doa dilantunkan untuk bapaknya.
Bibi Isti yang kini duduk di samping tubuh tak bernyawa itu sesekali masih menangis. Aku yakin, beliau sangat kehilangan mengingat tidak ada tanda-tanda apapun. Dan aku pun yakin, dibalik senyum tegar yang disuguhkan Aini, batinnya menangis pilu. Ia hanya berusaha kuat untuk menguatkan sang ibu.
Aku menghampiri tempat Aini duduk. Memeluk dia lama tanpa kata. Aku menangis lagi. Dan kurasa bahuku ditepuk lembut berkali-kali.
“Sudah jangan ditangisi. Bapakku udah tenang di sana,” katanya lirih di samping telingaku. Aku melepas pelukannya, menatap rautnya lama. Aini tersenyum kecil yang membuat air mataku jatuh semakin deras. Dan sejak itu aku sadar, Aini adalah sosok paling tabah yang pernah kukenal.
Tiga tahun sejak kepergian bapak Aini yang takkan pernah kembali. Aku masih menjaga komunikasi dengan baik. Sering mengirim kabar, mengirim foto kegiatan dan bahkan aku sering mengirim kado. Apapun itu. Karena aku memutuskan untuk merantau ke kota orang, mencari ilmu disana.
Beda dengan Aini yang memutuskan untuk bekerja karena masalah finansial. Setelah ditinggal sang bapak, kehidupan mereka memang ditunjang oleh kakak laki-lakinya yang juga bekerja diluar kota dan dagangan kecil milik ibunya.
Ketika pulang kampung pun aku sering menyempatkan diri untuk bermain ke rumah Aini atau pergi ke tempat jualan ibunya, membantu mereka di sana. Dan ya, kami memang sedekat itu.
“Nanti kalau kamu udah lulus dan nikah sama teman kuliahmu yang itu, jangan lupa sama mimpi kita lho, Bir,” kata Aini mengingatkan.
Aku menoleh, mengangguk sambil tersenyum. “Tidak akan. Kamu juga.”
“Kalau aku pasti nepatin janji kok.” Kami berdua lalu tertawa, sebelum Bibi Isti menyuruh kami untuk membantunya membersihkan sisa dagangan.
Masih di tahun pertama aku menikmati bangku perkuliahan, tiba-tiba jam tujuh pagi aku dikabari ibunya telah tiada. Aini pernah cerita bahwa ibu dia sakit, tapi kupikir sakit biasa namun ternyata sakit itu membawa beliau menuju suaminya.
Kali ini aku menangis lebih deras dari yang kemarin. Aku pulang dengan kereta, tanpa lebih dulu pergi ke rumah, aku langsung menuju rumah Aini. Rasanya seperti de javu. Pemandangan yang pernah kulihat beberapa tahun lalu kini tersuguh lagi. Namun kali ini beda, Aini yang dulu tak menitikkan satu air mata pun, kini menangis tersedu di samping tubuh ibunya. Ia membaca surat yasin dengan sesenggukan. Dengan terbata-bata sambil jemarinya mengelus lembut kain jarit yang membalut ibunya.
Aku mengambil wudhu sebentar, menghampiri Aini yang masih khusyuk melantunkan ayat suci itu dan tidak sadar aku sudah duduk di sampingnya dengan satu buku yasin. Bibirku rasanya kelu untuk hanya mengucap satu lafadz basmalah saja. Aku paksakan dan hasilnya nihil. Hanya derai air mata yang tak mau putus begitupun bibir yang sedari tadi tak ingin berhenti menangis.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku duduk di samping Aini hingga sampai-sampai tubuh Bibi Isti sudah digotong untuk segera disholati dan kemudian dimakamkan di samping suaminya, bapak Aini.
Ketika akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir, Aini bersikeras untuk ikut namun dilarang oleh kakaknya. Aku pun yakin, setabah apapun Aini, dia pasti akan jatuh pingsan karena cahaya hidup yang tersisa dalam dirinya sudah diambil.
Dan benar, Aini pingsan. Aku menangis lagi, lagi, dan lagi. Kenapa Tuhan sekejam ini? Kataku waktu itu sambil ikut membopong tubuh Aini dan membawanya ke kamar.
Sampai sekarang aku masih meyakini, belum ada orang lain setegar dan setabah Aini. Dia kuat karena ada yang harus dikuatkan ketika bapaknya tiada dulu. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang perlu ia kuatkan makanya dia menangis tersedu begitu. Kehilangan untuk kedua kalinya memang sangat menyakitkan.
Malamnya aku tidur di rumah Aini. Membantu menyiapkan doa tahlil selama satu Minggu dan aku memang sengaja izin tidak kuliah. Setelah itu aku tak mengenal Aini yang dulu. Ia lebih pendiam, tertutup dan jauh dari jangkauku. Bagaimana mungkin dia masih baik-baik saja setelah ditinggal matahari serta bulannya? Aku pun juga pasti akan merasa terpuruk jauh atau bahkan tenggelam didasar palung paling dalam.
Setelah satu Minggu aku menemani Aini dalam kedukaan dia. Aku pamit untuk pergi kembali ke tanah rantau. Ia memelukku erat sekali.
“Jaga diri baik-baik. Jangan lupakan aku dan teruslah jadi kuat.” Ia mengucapkan kalimat itu dengan senyumnya. Aku mengangguk yakin dan memeluk dia dengan tangis.
“Kamu juga, Ai. Jangan pernah lupa sama mimpi kita, ya,” balasku masih dengan air mata yang mengalir dalam pipi.
Aini tidak menjawab. Ia melepas pelukan itu, menatapku lama sekali.
“Kalau sempat, kabarin aku terus, Bir.”
“Pasti, Ai. Untuk kamu selalu ada waktu.” Kami saling melempar senyum sebelum kemudian aku bergegas pergi menuju peron stasiun karena kereta akan segera berangkat. Masih kulihat jelas Aini melambaikan tangannya padaku.
Setelah perpisahan itu, kami memang saling mengirim kabar tapi tak seintens dulu. Mengingat tugasku yang banyak, bahkan kadang makan pun tak sempat, tidur ala kadarnya. Dan … sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan kontak dengan Aini.
Tidak terasa empat tahun sudah berlalu sejak kehilangan kedua itu. Aku mengunjungi pusara orang tua Aini yang ramai ditumbuhi rumput dan ilalang. Tanganku mencabutnya satu-satu, membersihkan segala hal yang jatuh dan tumbuh di atas pusara kedua orang terkasih dari Aini itu.
Aku membatin, sudah berapa lama Aini pergi? Apa ia tidak rindu orang tuanya? Apa ia tega pergi tanpa pamit dariku? Dan apa ia tega pergi jauh dari tempat matahari dan bulannya disemayamkan?
Pertanyaan demi pertanyaan seringkali memenuhi ruang pikirku. Jika ada kata yang bisa menggambarkan seberapa rindu aku dengannya, aku akan sangat berterima kasih. Sebab rinduku terlampau besar, tak ada kata apapun yang sanggup deskripsikan rasa itu.
“Bi, Pak. Aku tau Aini pasti rindu kalian. Aku pun rindu kalian dan rindu dia. Semoga Allah senantiasa menjaga kalian dan Aini di dua alam yang berbeda. Amin.” Doaku pada waktu itu dengan derai yang hanya deras di dalam hati. Ya, Aini lah yang mengajariku menjadi sekuat ini, setabah ini. Ia yang membuatku bisa berdiri tegak, sesedih apapun, seberat apapun, sesulit apapun.
Aku berjalan santai menuju toko kelontong yang berada persis di depan makam. Membeli satu botol air mineral sambil membuka instagram. Men-stalking akun instagram Aini dengan kiriman terakhir empat tahun lalu. Sebuah potret bunga mawar hitam dengan caption selamat tinggal.
Aku memfoto gelang tali corak pelangi yang pernah diberikan Aini sebelum aku berangkat merantau. Lalu mempostingnya lewat instagram.
Sudah lama sekali sejak kamu pergi. Rinduku masih sebesar dulu. Jika tidak percaya, tengoklah di tempat kita biasa bertemu. Aku masih duduk di sana, berangan soal mimpi kita. Tulisku.
Separuh postingan instagramku memang berisi soal aku dan Aini. Barangkali suatu saat, dia kembali membuka akunnya dan menemukan bahwa sahabat kecilnya sedang merindukan dia.
Bir, jangan lupa besok rapat dengan Pak Sasmita. Jam 8 tepat. Persiapkan yang terbaik. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Dari Chintya. Rekan kerjaku.
Setelah lulus kuliah aku memang langsung bekerja diluar kota. Namun tiap tiga bulan sekali diakhir Minggu, aku selalu pulang. Menengok keluarga, rumah Aini yang tak lagi berpenghuni, dan pusara kedua orang tuanya.
Siap, Chin. Jangan khawatir. balasku kemudian.
Siklus hidup memang sedikit runyam. Ketika di tempat baru pun, dengan segala jenis teman yang membuat nyaman, namun tidak pernah ada satu orangpun yang bisa menyamai Aini. She is unique and different. Sebab dengannya aku bisa menangis sekencang yang aku sanggup. Tertawa selebar yang aku inginkan.
Sebelum aku larut dalam pikiran yang melulu perihal Aini, aku bergegas pergi untuk pulang. Hari rupanya makin sore. Namun aku dihentikan oleh satu pesan WhatsApp. Dari nomor tidak dikenal.
Hai Shabira. Bagaimana kabarmu? Sudah hampir empat tahun, ya? Maaf menghilang tanpa kabar. Jangan khawatir, aku masih baik-baik saja. Bir, aku membawa kabar bahagia. Minggu depan aku menikah. Doakan, ya. Dia laki-laki santun yang mirip sekali dengan bapakku. Hehe. Jika sempat, datanglah. Nanti alamat lengkapnya aku kirimkan. Salam sayang dari: Aini.
Kali ini aku jatuh terduduk. Air mataku menetes lagi setelah sebelumnya kering dan tak pernah bisa keluar. Aku mengamati foto yang dikirim Aini. Potret dirinya bersama calon suami. Cocok. Batinku. Aku bahkan tidak tau apa yang melingkupi perasaanku sekarang. Antara marah, kecewa, lega, bahagia dan lainnya. Selain perempuan tabah, Aini adalah perempuan paling kejam yang pernah aku temui.
Aku mengusap air mata kasar. Tersenyum kecil sambil mengetik sebuah balasan.
Aku ingin kamu bertanggung jawab atas segala sedihku karena ditinggal senyum serupa matahari terbitku, Ai. Tapi aku turut bahagia. Semoga matahari dan bulanmu bisa bersinar seterang dulu.
Pesan terkirim.
Setidaknya kini aku bisa lega. Memastikan Aini selalu tumbuh baik dan bahagia adalah salah satu janjiku setelah kepergian ibunya. Soal mimpi kami, semoga kelak masih terlaksana. Aini dengan suaminya dan kelak, aku dengan suamiku.