lpmalmizan.com– Dewan eksekutif mahasiswa fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah (DEMA FUAD) gelar Seminar Nasional dengan mendatangkan Wahfiudin Sakam (Mudir Aam JATMAN), Marlinda Irwanti Poernomo (DPR RI Komisi X), Caswiono Rusdy Cakrawangsa mewakili Yaqut Cholil Qoumas PP..GP.Ansor yang berhalangan hadir. Acara tersebut merupakan rangkaian dari Kongres AMDIN (Asosisai Mahasiswa Dakwah Indonesia) (8/10/2018).
Acara bertempat di Auditorium IAIN Pekalongan dengan melibatkan perwakilan peserta dari seluruh mahasiswa dakwah se-Indonesia.
Dengan mengusung tema ‘Radikalisme dan Politik : Peran dakwah sebagai penangkal Isu Sara dalam menjaga kebhinekaan,’ Wahfiudin Sakam selaku pemateri pertama memaparkan awal munculnya radikalisme. Dalam pemaparanya, Wahfiudin menjelaskan terlebih dahulu tentang sejarah radikalisme.
Radikalisme berasal dari istilah Latin, radix yang artinya akar. Sedangkan awal mula munculnya radikalisme adalah di Inggris, pada penghujung abad 18 dan awal abad 19. Hal ini dilatar belakangi oleh berkembangnya agama Protestan di Eropa hingga Katolik merasa terancam. Semua kelompok Protestan dikejar, dan diusir. Maka terjadilah eksekusi besar-besaran atas kelompok protestan.
Lebih lanjut, Wahfiudin juga memaparkan sejarah radikalisme di Indonesia. Indonesia membentuk BPUPKI (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Mei 1945. Pada saat itulah terjadi pertempuran Ide. Masing-masing mempunyai ide berbeda untuk merumuskan ideologi yang sesuai dengan Indonesia. Melalui banyak pertimbangan, maka terbentuklah ideologi pancasila sampai detik ini.
Namun sayangnya, sampai saat ini masih banyak sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi bangsa Indonesia. “Maka jangan heran jika orang putus sekolah banyak yang terpapar radikalisme. Mereka tidak tahu bagaimana susah payahnya mempertahankan NKRI,” ujar Wahfiudin ditengah-tengah pemaparannya.
Marlinda Irwanti Poernomo, anggota DPR sekaligus alumnus UIN Syarif Hidayatullloh Jakarta menambahkan bahwa di era revolusi industri 4.0 jumlah pengguna internet semakin bertambah. Dari sekitar 250 juta jiwa penduduk Indonesia, 137 juta jiwa adalah pengguna internet. Dimana pengguna terbanyak adalah kaum millenial. Dengan kemudahan akses internet penyebaran hoax semakin merajalela.
“Dalam satu menit berita-berita entah itu berita bohong atau berita benar, ada 9 juta konten tersebar,” tukas Marlinda dihadapan seluruh peserta seminar.
Masih dalam acara yang sama, Caswiono Rusdy Cakrawangsa selaku wakil Sekretaris Jendral PP.GP.Ansor pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, radikalisme menyasar pada kaum milenial, umumnya adalah kaum terpelajar. Maka dari itu, mahasiswa sebagai agen of change harus bisa menjadi garda terdepan dalam melawan radikalisme.
Disinilah peran dakwah seharusnya diperhitungkan. Dakwah harus mulai bergeser pada visualisasi. Dimana metode dakwah bukan hanya dengan ceramah, melainkan diajak untuk mengalami dan merasakan suatu kejadian. Sebab orang akan lebih terpengaruh pada apa yang mereka alami dan mereka rasakan.
Untuk menutup acara seminar, Wahfiudin Sakam kembali mengingatkan peserta agar tidak terputus dengan Allah. Baik secara personal secara komunal dalam membuat keputusan dalam hidup. Jika hal itu terjadi, maka manusia akan mengalami kesusahan. Maka dari itu libatkanlah Allah.
Selepas seminar, Dewi mahasiswa Psikologi IAIN Pontianak mengaku sangat senang dapat terlibat langsung dalam seminar nasional. “Kalau dikampus kan banyak organisasi-organiasi berpaham radikal, jadi bagus sih untuk menangkal pemahaman radikal itu.”
Setali tiga uang dengan Dewi, Indah mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam UIN Banten pun ingin membagikan ilmu yang ia dapat dari seminar nasional tersebut.