Sukar melongok kondisi ibu pertiwi pra Pemilu 2019 ini. Ujaran kebencian, fitnah, saling tuding, radikalisme, persekusi hingga problem intoleransi tidak hanya menjadi hantu yang bergentayangan, tapi hantu itu sudah merasuk ke dalam tubuh setiap komponen masyarakat, entah rakyat kecil maupun masyarakat berkerah. Keadaan ini memaksa Indonesia untuk mundur jauh ke belakang, dimana seolah-olah nafsu harimau lebih diutamakan daripada hati nurani dan sikap kemanusiaan.
Kesukaran melihat buruknya wajah toleransi di Indonesia bebuntut pada keresahan-keresahan saya berikutnya. Menengok dialektika teman-teman seperguruan di Workshop Sejuk juga ikut membuat hati seolah tidak percaya, tidak mampu memahami, dan tidak habis pikir. Mereka ini berjibaku melontarkan pengalaman-pengalaman mereka soal potret keberagaman di daerah masing-masing. Pengalaman mereka ini menarik, dan saya tidak mampu menemukannya di kampung halaman saya.
Dua orang teman, kebetulan keduanya berasal dari Aceh, mereka bercerita panjang lebar. Tentu semua orang tahu apa yang tengah mereka ceritakan. Aceh sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menegakkan syariat Islam menjadi topik perbincangan. Terlebih perkara hukuman-hukuman bagi orang yang melanggar syariat Islam. Itu akan menjadi bahan kajian yang menarik.
Tidak hanya dari Aceh, kawan lain dari Medan, menerangkan di tempatnya berdomisili sangat sulit untuk menciptakan keharmonisan antar umat beragama. Kemudian timbul pertanyaan mendasar, sesulit itukah mewujudkan toleransi? Kenapa masyarakat sering gaduh dan tersulut emosinya ketika agamanya “dihina”? Apa yang membuat mereka intoleran?
Saya rasa fungsi Workshop Sejuk pun untuk menjawab pertanyaan itu semua. Kebetulan Workshop ini diselenggarakan di Kota Semarang yang toleransinya cukup kentara. Minggu (03/2) pagi, saat itu matahari sedang manja-manjanya menampakkan diri, tidak disangka saya dan rombongan diantarkan sopir angkot menuju Gereja Santo Athanasius Agung. Bagi saya, ini bukan kali pertama menyambangi gereja, dan bersilaturahim dengan saudara kita. Namun, bagi sejawat saya yang kebetulan dari Aceh menjadi pengalaman baru.
Pukul 10 pagi, entah ada kegiatan atau sudah selesai, saya tak tahu, karena tidak ada satu pun tanda-tanda masih adanya aktivitas peribadatan disana. Kemudian saya dan rombongan diarahkan ke Rumah Retret Nasaret, letaknya tidak cukup jauh dari gereja tadi. Meski tidak jauh, andai tetap memaksakan untuk jalan kaki, mampu membuat kedua kaki setidaknya nyeri dan pegal-pegal. Ketika masuk ke dalam, seorang lelaki berperawakan tinggi dan berambut gondrong sudah siap menyambut kedatangan kami. Saya tidak mengira, lelaki itu adalah seorang Romo terkenal, bahkan popularitasnya tidak hanya di Kota Semarang, tapi ke seluruh penjuru nusantara. Namun saya baru mengenalnya, sesaat panitia menyebut namanya, Romo Aloysius Budi Purnomo.
Saya semakin dibuat terheran-heran melihatnya mengenakan kain bermotif batik khas Kota Pekalongan, kota kelahiran saya. Romo Budi ternyata aktif dalam kancah kerukunan umat beragama, beliau sering bergumul dengan pelbagai umat beragama. Mendengar nama Habib Luthfi terucap dari mulut Sang Romo, cukup menjawab keheranan saya melihat Romo Budi memakai kain batik. Saya hampir tidak pernah melihat para elit pejabat, tokoh terkemuka, dan politikus bergumul dengan masyarakat lintas agama secara intens, seperti apa yang ditunjukkan Romo Budi.
Selagi orang-orang masih sibuk bicara dan memperdebatkan soal keberagaman dan mengkampanyekan toleransi sebesar-besarnya di mimbar-mimbar, seminar, workshop, sampai pertemuan di dalam ruangan khusus, Romo Budi sudah memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kaum intelektual dan pembelajar yang menobatkan diri mereka sebagai pelaku toleransi (agent of tolerance) justru menghabiskan waktu mereka hanya untuk menggembar-gemborkan keberagaman, mengkhotbahkan pancasila, dan menjunjung setinggi-tingginya Hak Asasi Manusia, sehingga lupa untuk mengaplikasikan toleransi ke kehidupan bermasyarakat.
Prestise Romo Budi sebagai tokoh agama masyarakat Katholik Kota Semarang mampu menumbuhkan dan mengembangkan bibit-bibit toleransi di kota ini. Setiap Hari Minggu, Romo Budi selalu mendapat kesempatan untuk berkhotbah di hadapan para jemaat. Momentum seperti ini berpeluang besar menanamkan ajaran perdamaian dan toleransi kepada umat Katholik. Apa yang dilakukan Romo Budi secara masif jelas akan memiliki dampak yang signifikan. Gaya komunikasi jarum hipodemik mampu diterapkan oleh Romo Budi secara apik, apalagi setiap Minggu beliau berjumpa dengan jemaat.
Menanamkan toleransi yang aplikatif kepada masyarakat ternyata lebih ampuh daripada sekadar pidato. Tengok saja para jemaat langganan Kapel Rumah Retret Nasaret langsung mampu mengimplementasikan toleransi tepat setelah peribadatan selesai. Para jemaat mengajak saya untuk menikmati hidangan yang ada dan duduk bersama mereka. Sebuah kesempatan yang bisa jadi mustahil di dapat jika sudah keluar dari Semarang.
Perjalanan berlanjut, sekira pukul 14.30 WIB, angkutan kota melesat ke arah Kampung Pecinan di dekat Pasar Johar, kebetulan sedang ada Pasar Imlek Semawis. Pasar ini merupakan pasar lintas agama di kampung pecinan Semarang, karena antara pedagang dan pengunjung berasal dari berbagai agama. Namun pasar tetaplah pasar, agak sulit menemukan toleransi di tempat itu.
Fokus saya kemudian beralih ke seorang laki-laki tua yang tengah duduk di emperan Kelenteng Ling Hog Kyu, satu diantara 11 kelenteng di kampung pecinan ini. Dia sedang duduk santai saja sembari diwawancari teman saya, kemudian, saya ikut duduk menyimak apa kisah yang tengah diterangkan bapak itu. Dia seorang penjaga kelenteng, namanya Sadana. Sungguh, lagi-lagi saya dibuat terpana mendengarkan kisah Sadana yang menyebutkan Kota Semarang ini aman dan punya rasa toleran. “Di Semarang gak ada itu bakar-bakar kelenteng atau apa,” lincahnya jawaban Sadana.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada konflik agama di Semarang. Penjaga kelenteng yang cukup veteran itu menjelaskan, di tahun 1982 sempat terjadi polemik keagamaan, itu pun bersumber dari provokasi oknum yang tidak bertanggung jawab. Beruntungnya itu mampu diredam dan dilupakan, dan masyarakat kembali hidup bersama dan berdampingan antar umat beragama. Melihat dua konteks itu, tidak menutup kemungkinan Kota Semarang mampu menjadi pelopor toleransi di Indonesia dan Jawa Tengah khususnya.
Nuansa toleransi yang kental di masyarakat Kota Lumpia, mengingatkan saya pada kota kelahiran saya, Kota Pekalongan. Kota Batik bahkan mempunyai sebuah lokasi yang mampu menjadi simbol keberagaman. Lokasi yang memuat empat rumah ibadah sekaligus (Masjid, Kelenteng, Gereja, dan Wihara) terletak juga di dekat pusat perekonomian dan hiburan masyarakat. Ini menandakan bahwa Kota Pekalongan juga mampu untuk ikut mempelopori pertumbuhan idiom dan praktik toleransi di Indonesia, terlebih Jawa Tengah.
Namun itu bukan perkara mudah, survei LSM eLSA tahun 2018 menunjukkan tren intoleransi dalam lingkup Jawa Tengah masih riskan, dan justru cenderung meningkat dari tahun 2017. Setidaknya ada 21 satu kasus bernuansa keagamaan, dan rata-rata wujudnya berupa penolakan-penolakan. Walau demikian, andaikata Semarang dan Pekalongan, ditambah Salatiga berani menginisiasi kehidupan masyarakat yang toleran, niscaya agent of tolerance menjadi lebih banyak.
Tidak perlu memedulikan tingkat provinsi atau nasional sekalipun, untuk urusan toleransi harus dimulai dari masyarakat perkotaan, dari otonomi daerah yang paling rendah dulu, baru kemudian dikembangkan dan diluaskan setingkat provinsi, bahkan nasional. Seumpama itu dilakukan dan berhasil, tentu toleransi akan membumi dalam perut ibu pertiwi dan dalam benak masyarakatnya. Toleransi jauh lebih bermakna jika diaktualisasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya menjadi bualan di setiap acara seminar dan workshop yang mustahil mau diingat, karena kata-kata akan terbang disapu angin.