Pada era digital saat ini, film menjadi hiburan yang wajib bagi semua kalangan. Baik anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Film yang dijajakan oleh rumah produksi kebanyakan memang menjual cerita-cerita yang sedang digemari masyarakat agar segmentasinya tepat sehingga laku di pasaran. Film umum akan berbeda dengan film dokumenter. Film dokumenter akan mengambil cerita khusus, bukan untuk menarik penonton sebanyak mungkin akan tetapi guna mempertontonkan kejadian real yang ada di lapangan. Misalnya, film asimetris.
Asimetris adalah film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc–Ekspedisi Indonesia Biru yang mengangkat fakta lapangan di Kalimantan terkait bencana kabut asap. Film ini menceritakan bagaimana masyarakat Kalimantan yang menjadi korban komoditas utama ekspor Indonesia yaitu kelapa sawit. Dapat dilihat dari fil tersebut, baik dari segi  lingkungan, ekonomi, hingga keadaan warga yang terpapar dampak adanya perluasan wilayah pertumbuhan kelapa sawit tersebut.
Menanggapi hal ini, mahasiswa IAIN Pekalongan diprakarsai oleh LPM Al-Mizan dan UKM Gemalawa mengadakan nonton bareng (baca: nobar) dan diskusi film asimetris di Auditorium IAIN Pekalongan pada Sabtu malam (31/3). Nobar tidak hanya diikuti mahasiswa umum namun juga KPOP (Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda) cabang Pekalongan.
Salah satu anggota KPOP mengatakan bahwa Asimetris ini gambaran liberalisasi modal. Keberpihakan pemerintah adalah kepada pemilik modal, bukan kepada warga. Selain itu pemerintah juga tidak bisa mengontrol perdagangan atau pasar. Dengan isu nasional yang semacam ini, seyogiyanya mahasiswa mejadi tergugah kepada isu-isu lokal khususnya terkait lingkungan. Bagaimana mahasiswa jaman sekarang menyikapi pembangunan PLTU di Batang dan PLTB di Purwokerto? Sudahkah kita melek akan dampak pembangunan pemerintah? Atau minimal rob yang acap kali datang di Pekalongan?
Salah satu analisa dari anggota SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) dalam diskusi tersebut adalah bahwa fakta yang ada, Kalimantan bisa jadi korban dari pemetaan wilayah Indonesia. Jawa yang digadang-gadang sebagai Kota Industri pun sudah nampak akibatnya, seperti pembangunan pabrik semen di Rembang, NYIA (New Yogyakarta International Airport) di Kulon Progo, PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di Batang dan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bumi) di Purwokerto. Tidak melulu jauh ke sana, Pekalongan dengan tradisi robnya juga tak luput dari sorotan mahasiswa. Dengan problem yang demikian, langkah konkret apa yang bisa mahasiswa upayakan untuk menyelamatkan lingkungan dari dampak pembangunan?
Asimetris memang membuat mahasiswa sadar diri betapa butanya mereka terhadap isu lokal, sayangnya film ini hanya mengambil sudut pandang dari warga sekitar terkait isu yang diangkat. Asimetris tidak menyertakan bagaimana pihak pabrik menanggapi isu warga sebagai pekerja di kebun kelapa sawit dengan penghasilan pas-pasan, dan pemerintah terkait dampak lingkungan serta perencanaan perluasan wilayah kebun kelapa sawit yang akan ditambah sekitar 9 kali Pulau Bali. Jika hal ini ikut diangkat, asimetris tentu akan lebih berimbang (cover both side).
Lantas, sudahkan Anda melihat solusi apa yang tepat untuk permasalahan demikian?