Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memutuskan bebas kepada Haris dan Fatia pada (8/1/24), setelah sebelumnya didakwakan atas kasus pencemaran nama baik yang menyebutkan istilah lord luhut serta tuduhan keterlibatan kepemilikan tambang kepada Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di Intan Jaya Papua dalam kanal youtubenya. Ia dijerat sebagaimana Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Hakim dalam pertimbangan vonis menggunakan adagium hukum yaitu Cogitationis Poenam Nemo Patitur yang artinya tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena apa yang dipikirkannya. Serta, menukil pendapat ahli dari Roky Gerung “kebebasan bersifat absolut dan kebebasan berpendapat tidak dapat dibatasi kecuali apabila kebebasan itu sudah menunjuk hidung yang dikritisi”.
Melansir dari artikel literasi.com yang berjudul Pengadilan Bebaskan Haris Azhar dan Fatia dalam kasus “Lord Luhut” menjelaskan bahwa Majelis Hakim menilai bahwa perbincangan Haris dan Fatia dalam video podcast berjudul “Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!!” tidak termasuk dalam kategori penghinaan dan pencemaran nama baik. Perbincangan tersebut merupakan telaah, komentar, analisis pendapat, dan penilaian atas hasil kajian cepat yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil. Selain itu, Majelis Hakim juga menilai bahwa penggunaan kata “lord” dalam video podcast tersebut tidak dimaksudkan untuk menghina Luhut, melainkan untuk merujuk pada status Luhut sebagai pejabat negara. Selain itu, Majelis Hakim juga menilai bahwa penggunaan kata “lord” dalam video podcast tersebut tidak dimaksudkan untuk menghina Luhut, melainkan untuk merujuk pada status Luhut sebagai pejabat negara.
Kasus tersebut menambah daftar panjang tentang kebebasan berpendapat yang berujung ke meja hijau. UU ITE menjadi pembelaan atas pihak yang merasa dirugikan. Misalnya saja, kasus Baiq Nuril yang dilecehkan oleh kepala sekolah yang dimana guru tersebut mengunggah bukti pelecehan dan ia dikenakan pasal UU ITE. Kasus tersebut naik sampai ke tingkat kasasi serta dijatuhi vonis enam bulan penjara dan denda Rp.500 juta subsider tiga bulan kurungan penjara kepada terdakwa putusan tersebut dibacakan oleh majelis Mahkamah Agung (MA).
UU ITE dianggap sebagai pasal karet, mengapa terjadi demikian? Karena tidak adanya batasan yang jelas terhadap unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut Rudiantara yang merupakan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada Kabinet Kerja (2014-2019) mengatakan “Yang salah bukan pasal 27 ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari pasal 27 ayat 3 tersebut,” ujarnya. Akibat kesalahan penerapan tersebut, lanjut dia, sebanyak 74 orang telah menjadi “korban” dari UU ITE tersebut.
Rudiantara juga mengatakan bahwa revisi adalah salah satu solusi agar tidak lagi ada korban akibat salah penerapan pasal. Solusi kedua adalah melakukan pembicaraan dengan aparat penegak hukum agar lebih hati-hati dalam menerapkan pasal ini di UU ITE.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebebasan berpendapat masih ada? Jawabannya adalah masih. Kemenangan Haris Azhar adalah kemenangan bagi kita semua, kebebasan berpendapat, berekspresi, di depan umum tidak dibatasi demi memastikan berjalannya proses-proses demokrasi di Indonesia. Namun, ketika kebebasan berpendapat dikekang lalu berujung ke persidangan menjadi ancaman serius bagi siapapun dan apa pun pekerjaanya. Komika stand-up comedy, conten creator, jurnalis dan lain sebagainya. Apalagi aktivis HAM seperti Haris Azhar dan Fatiya Maulidiyah, alih-alih ingin menyuarakan tentang kebenaran malah dilaporkan atas pencemaran nama baik. Hal ini membatasi kebebasan berpendapat dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Lalu bagaimana cara kita mengungkapkan pendapat namun tidak didakwa atas pencemaran nama baik? Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan terdapat enam macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pertama, Penistaan Pasal 310 ayat (1); Kedua, Penistaan dengan surat Pasal 310 ayat (2); Ketiga, Fitnah Pasal 311; Keempat Penghinaan ringan Pasal 315; Kelima, Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah Pasal 317 dan Keenam Perbuatan Fitnah. Mengenai penjabaran per pasalnya bisa dibaca di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (KUHP).
Penulis: Arif Hilman Z.