lpmalmizan – Pendidikan merupakan suatu proses perubahan sikap seseorang maupun kelompok menuju pendewasaan yang dilakukan dengan pelatihan serta pengajaran. Adanya pendidikan dapat memberantas buta huruf dan memberikan keterampilan serta kemampuan mental pada seseorang.
Seperti yang telah dicantumkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan, bahwa pendidikan adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara.
Nurkholis (2013) dalam penelitiannya berjudul Pendidikan dalam Upaya Memajukan Teknologi menyatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga berdampak pada SDM yang dihasilkan. Selain itu, masyarakat Indonesia hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah. Itulah sebabnya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas penting.
Dari sini dapat dilihat bahwa pendidikan di Indonesia belum memfokuskan tujuannya mau ke arah mana. Apakah tujuannya untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing atau hanya sekadar percobaan berulang tanpa perbaikan? Mari bahas satu per satu anak permasalahannya.
Berkaitan dengan ketersediaan pendidikan di Indonesia, pemerintah memang telah membuat rencana pendidikan gratis dan program wajib belajar 12 tahun. Namun kebijakan ini tidak semudah itu untuk mengatasi masalah pendidikan. Hal ini disebabkan oleh tidak tersebarnya alokasi dana program pendidikan secara merata.
Dilansir dari website Kementrian Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran, World Bank menemukan distribusi alokasi per siswa yang tidak merata. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Barat menerima alokasi sebesar Rp29 triliun atau Rp4,4 juta per siswa, dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat yang menerima alokasi sebesar Rp3 triliun atau Rp19 juta per siswa.
Dalam hal ini keluarga menengah ke bawah pun akan berpikir lebih matang untuk memutuskan lanjut sekolah/kuliahnya atau tidak. Pemerintah juga menjamin ketersediaan pendidikan untuk semua kalangan, namun kualitas tentu berbeda. Pendidikan di Indonesia berkualitas bagi mereka yang mampu. Sedangkan standarnya, kualitas pendidikan di Indonesia lebih menekankan untuk mencapai kepandaian siswa/mahasiswa tanpa menekankan pada pendidikan karakternya.
Studi yang dilakukan World Bank dan PROSPERA (dilansir dari website prospera.or.id Prospera adalah kemitraan antara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, yang didanai hibah)Â menunjukkan empat aspek masalah yang menjadi muara dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, di antaranya kewenangan pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru yang belum memadai, akuntabilitas yang rendah, dan kualitas monitoring evaluasi yang belum optimal.
Tidak jarang juga pendidikan sekadar menjadi sarana untuk mendapatkan ijazah. Padahal lebih dari itu, harusnya pendidikan mampu menjadi sarana bagi siswa/mahasiswa untuk membentuk karakter dan meningkatkan bakatnya dalam suatu pendidikan. Selain itu untuk menyiapkan generasi yang tanggap, kritis, dan memegang teguh nilai dan norma yang berlaku. Orang yang berpendidikan dilihat dari perilaku dan kesopanannya. Namun beberapa kali ditemui, orang berpendidikan hanya mengandalkan otak dan mengesampingkan rasa hormat dan kesopanan.
Pelaku yang banyak ditemui atas kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan tawuran juga dari kalangan remaja sekolah. Padahal se-usia mereka seharusnya lebih punya banyak waktu untuk mengembangkan diri dan membentuk karakter. Salah satu mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Abdul Latif menilai bahwa kenakalan remaja dan pergaulan bebas merupakan akibat dari pengaruh lingkungan, perkembangan teknologi, dan kurangnya perhatian dari orang tua.
Untuk itu perlu penanaman nilai-nilai yang mulia baik dari agama maupun budaya pada remaja. Nilai tersebut sebagai pedoman/rem/pijakan dalam menjalani kehidupannya. Menurutnya, fenomena ini juga ada kaitannya dengan pendidikan di Indonesia, karena kurang maksimalnya fungsi lembaga pendidikan dalam menjalankan perannya.
Atas adanya beberapa fenomena yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini, Latif kembali menilai bahwa Indonesia perlu menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang mulia pada peserta didik, baik siswa/mahasiswa. Penanaman nilai-nilai tersebut bisa dimasukkan pada materi pelajaran.
Dengan ini, peserta didik akan mempunyai kecerdasan dan akhlak yang baik. Untuk itu harapannya terhadap pendidikan di Indonesia yaitu, dapat mengalami kemajuan. Serta para guru maupun tenaga pendidik mempunyai semangat dalam menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik.
Lagi-lagi kaitannya dengan kualitas pendidikan itu sendiri. M. Badru Makhas, mahasiswa jurusan Hukum Ekonomi Syariah menilai bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong sedang. Hal ini disebabkan oleh masih banyak sekolah di pelosok sana yang kekurangan fasilitas penunjang belajar dan sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah. Ia kembali menyampaikan bahwa melihat keadaan Indonesia saat ini memang menyedihkan, bukan karena permasalahan sarana dan prasarananya saja.
Orang-orang yang seharusnya menjamin pendidikan di Indonesia justru mencuri hak-hak anak bangsa, dengan melakukan korupsi dana pendidikan. Padahal, seharusnya dana tersebut dimanfaatkan bersama untuk pengembangan kualitas pendidikan di daerah-daerah pelosok.
Kembali pada studi yang dilakukan oleh World Bank dan PROSPERA bahwa dari keempat aspek masalah kualitas pendidikan tadi, PROSPERA menyoroti permasalahan yang paling menonjol yaitu adanya disparitas kualitas pendidikan antar daerah dan rendahnya kualitas guru. Artinya mereka kekurangan pengajaran dan pembentukan karakter untuk disiapkan menjadi SDM yang mampu bersaing dan berkualitas. Dimana mereka tidak hanya terbentuk kecerdasannya, tetapi juga karakter dan kemampuannya. Hal ini bertujuan mereka lebih menghargai dan mampu mengolah sebaik mungkin potensi alam yang bisa dikembangkan di Indonesia.
Melihat tidak fokusnya arah pendidikan Indonesia semakin menimbulkan spekulasi, apakah pendidikan ini hanya sekadar memenuhi syarat ketersedian pendidikan bagi semua kalangan? Atau memang tujuannya untuk menghasilkan SDM yang berkualitas? Jika iya, mengapa tidak adanya pengembangan atas kualitas pendidikan di Indonesia? Bagaimana bisa menghasilkan SDM yang berkualitas jika pendidikan ini sebatas percobaan berulang tanpa perbaikan akan kualitasnya?
Penulis: Erna Hidayah
Editor: Nur Hidayah