Apalah arti Merdeka. Ketika hal itu yang sering dikatakan pemuda-pemuda didalam gedung megah sana dengan jas warna-warninya, merdeka bebas berekspresi, bebas menyuarakan pendapat, bebas belajar dengan lantang, mereka menyuarakannya ketika hal sensitif itu diusik oleh pihak lain. Merdeka adalah bebas dari penjajahan, penghambaan dan berdiri sendiri. Tapi apakah hal itu juga bisa berlaku untuk mereka yang memikirkan makan esok hari saja masih bingung.
Apakah merdeka masih berlaku atau hanya bisa dinikmati mereka yang dirasa mampu untuk menikmatinya. Tidakkah miris, kita yang biasa berdiskusi dengan pikiran kritis tapi sikap tak lebih dari makna apatis. Melihat teman yang putus kuliah karena biaya saja kita tak bias apa-apa, Melihat nenek-nenek renta disamping pintu minimarket saja hanya kau lambaikan tangan dengan senyum sok iba. Terkadang negeri ini memang terlihat lucu, maka tak bisa disalahkan Indonesia berada dibawah jajahan negeri lain selama 145 tahun.
Adakah yang lebih penting kita bahas selain tumpang tindih kepentingan ketika ketimpangan sosial tak pernah kita hiraukan. Ada banyak hal di sekitar kita berkaitan sosial yang dirasa menyedihkan. Bahkan hampir setiap hari kita jumpai hal-hal kecil namun terkadang kita sendiri tak menyadarinya. Seperti waktu itu, ketika sedang di warung rujak didepan perpustakaan kota ada seorang ibu setengah baya menggendong sebuah kipas angin dari kejauhan terlihat dengan wajah pucatnya. Ibu itu menghampiri setiap orang yang ia temui di sepanjang jalan menawarkan kipas angin bekas miliknya.
Adalagi satu keluarga yang tidur diatas gerobak, dibawah kolong jembatan, bersumber rejeki dari sisa-sisa sampah yang kita konsumsi dan lain sebagainya. Kini sudah hampir 73 tahun Indonesia merdeka, pemuda-pemuda yang lahir dari rahim orang yang mampu tumbuh sehat sedangkan di pelosok ujung timur sana tak sedikit mereka tumbuh dengan perut buncit dan kekurangan gizi. Mungkin secara de jure Indonesia sudah merdeka namun secara de facto kita belum sepenuhnya merdeka. Nyatanya masih banyak persoalan mengenai pengangguran, ketidakadilan, kemiskinan disekitar kita. Dalam konteks moral value sebuah kemerdekaan inilah yang masih susah ditumbuhkan dikalangan pemuda.
Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. seperti itulah yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun bukankah kekuasaan sepenuhnya suatu bangsa ada ditangan rakyatnya, maka perubahan yang besar juga pasti lahir dari tangan rakyat. Meski begitu, tidak bisa hal tersebut hanya dipasrahkan dan ditanggung oleh pemerintah saja. Negeri ini lahir dari budaya gotong royong maka negeri ini juga akan besar karena budaya itu.
Tak sedikit tulisan yang membahas tentang kemerdekaan namun reaksi publik menguap seperti riak kecil ditengah lautan. Terkadang saya rindu akan beberapa sosok seperti munir, wiji tukul yang merelakan kenyamanan dirinya agar membuat orang lain lebih nyaman. Coba kita bayangkan apabila ada banyak sosok seperti mereka yang muncul ditengah kita dengan berbagai latar belakang berbeda, pendidikan yang berbeda, dari berbagai lapisan sosial masyarakat, mungkin hal itu akan menciptakan gelombang kemerdekaan yang dibutuhkan saat ini.
Layaknya dua sisi mata uang maka arti kemerdekaan dan pemasalahan sosial tidak bisa dipisahkan. Semua orang bebas merdeka, maka semua orang bebas merasakan kemegahan kemerdekaan. Setiap manusia terlahir oleh rasa simpati dan empati masing-masing, maka sangat diyakinkan bisa muncul sosok munir-munir lainnya. Kita hanya perlu menanggapiya bukan mengesampingkannya.