Kata “seks” biasanya terkesan sebagai kata yang sensitif, sehingga saat orang membicarakannya maka reaksi dan ekspresi orang yang mendengarnya pun beragam. Keberagamannya sangat tergantung pada konteks kata “seks” itu dibicarakan. Akan tetapi common sense, jika ada polling untuk merepresentasikan kata “seks” maka akan menyeruak pendapat bahwa kata itu identik dengan aktifitas hubungan seksual/kelamin antara laki-laki maupun perempuan (atau sesama jenis), urusan ranjang, sesuatu yang erotis dll. Padahal sesungguhnya pengertian seks adalah perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jadi singkatnya seks identik dengan apa yang sering disebut jenis kelamin yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Jadi seks bersifat permanen dan kodrati.
Melakukan aktifitas seks atau hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya merupakan salah satu point dari the basic needs manusia. Aktifitas seks ternyata memiliki fungsi penting karena tidak semata-mata untuk “refreshing jiwa”, tetapi ada misi mulia yakni untuk meneruskan keturunan (dalam ranah keluarga) dan mempertahankan eksistensi manusia sebagai khalifah di Bumi (dalam ranah masyarakat). Meskipun aktifitas seks diakui sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi aktifitas tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Dalam Agama Islam pun, aktifitas seks hanya dapat dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya telah terikat dalam perkawinan. Dengan kata lain Allah SWT telah menetapkan secara tegas siapa dan kepada siapa hal itu oleh dilakukan (subjek), kapan hal tersebut dilakukan (tempus) dan tempat hal tersebut dapat dilakukan (locus). Singkatnya ada adab, etika serta sanksinya.
Aktifitas seks pada hakekatnya merupakan kegiatan bernilai sakral (suci) dan mampu menyatukan dua manusia untuk mencapai “nilai spritualitas” yang bermuara pada ajakan untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Dalam bahasa umum, kenikmatan aktifitas seks disebut sebagai surga dunia. Aktifitas seks yang tidak sah sering disebut perbuatan zina. Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya berbuat fajir (nista).Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena syubhat. Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah syubhat dan kepemilikan budak.
Berkaitan sebagai sesuatu yang sakral, maka Allah SWT-pun telah menetapkan hukum yang tegas berkaitan dengan aktifitas seks tersebut, sebagaimana firman Allah SWT
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra [17]: 32).
Dari surat tersebut, jelas bahwa Allah SWT melarang keras aktifitas seks yang tidak sah (berzina). Hal itu tercermin dari kata-kata “janganlah kalian mendekati zina”, apalagi jika melakukan zina, sebab zina adalah perbuatan dosa besar. Imam Ath-Thabari menambahkan, bahwa zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena zina adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah SWT, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya ke dalam neraka Jahannam.” Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa Allah SWT mengabarkan tentang akibat perbuatan zina. Bahwasanya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan, karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. Hukum Allah SWT terhadap pelaku zina juga sangat jelas dan keras, tidak saja cukup dicambuk, dirajam (dilempar batu) hingga mati, tetapi juga menjamin pelakunya sebagai menjadi penghuni kekal di neraka jahanam (al-Furqân/25: 68-69).
Dalam konteks negara Indonesia, maka hukum positif juga melarang aktifitas seks yang tidak sah sebagai tindak pidana (kejahatan) yang dikenaikan sanksi yang jelas dan tegas pula, meskipun tidak sekeras hukum Allah SWT. Ketentuan hukum positif terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan aktifitas seks yang tidak sah antara lain : Pasal 284 KUHP tentang perzinahaan. Tindak pidana ini terjadi jika salah satu atau kedua pelakunya sudah menikah atau disebut mukah (overspel), sanksinya paling lama 9 bulan. Perzinahan menurut KUHP adalah delik aduan, artinya kasus tersebut dapat diproses hukum jika ada yang melaporkan dan dapat dihentikan jika ada yang mencabut kasus tersebut.
Sedangkan ancaman hukuman bagi aktifitas seks yang dilakukan tanpa persetujuan pihak korban (pemaksaan) maka dikategorikan sebagai tindak pidana pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, ancaman hukuman penjaranya paling lama adalah 12 tahun. Sedangkan untuk tindak pidana pencabulan dengan korban aktifitas seks adalah di bawah umur yang diatur dalam Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum cukup umur 15 tahun), maka ancaman hukuman penjara paling lama 9 tahun dan Pasal 293 (pencabulan terhadap orang yang belum dewasa) dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun.
Khusus untuk tindak pidana pencabulan dengan korban anak masih dibawah umur (18 tahun) saat ini hukumannya semakin diperberat dan dinyatakan sebagai kejahatan seksual, dengan ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 81 hingga 82 UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yakni denda paling banyak 5 milyar, pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan bagi pelaku yang masih ada hubungan kerabat, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan atau aparat yang menangani perlindungan anak, maka hukuman ditambah 1/3 dari ancaman pidana yang ada, namun apabila perbuatan pelaku tenyata korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, selain itu juga pelaku dikenaikan pidana tambahan berupa pengumuman identitas jika termasuk kategori tindak pidana yang diatur dalam Pasal 74D dan memenuhi Pasal 81 ayat (5), hukuman kebiri dan pemasangan chip jika pelaku memenuhi ketentuan Pasal 81 ayat (4) dan (5).
Dari paparan diatas, maka aktifitas seks itu ada adab, etika serta sanksinya, maka aktifitas seks tidak boleh dilakukan secara gegabah. Harus dipahami bahwa aktifitas seks merupakan sesuatu yang suci dan bernilai ibadah untuk menjaga eksistensi manusia, maka seks ta(bu) atau pendidikan seks menjadi sesuatu yang relevan untuk ditransformasikan sedini mungkin. Tujuan seks ta(b)u tersebut tidak lain adalah agar akhlak dan martabat manusia tetap terjaga dari hal-hal yang dosa.
Sayangnya, dalam realitas masyarakat bicara tentang aktifitas seks (hubungan kelamin) dan hal-hal lain yang melekat didalamnya sering dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan “saru”.Kata yang berbau “Seks” tidak boleh dibicarakan dalam forum terbuka melainkan harus secara bisik-bisik, tidak vulgar dan sembunyi, pengetahuaan tentang seks hanya domain orang dewasa sehingga tidak boleh dibicarakan dan didiskusikan kepada anak kecil. Pemahaman yang keliru inilah yang berkorelasi tinggi memunnculkan permasalahan sosial budaya dalam masyarakat yang berujung pada maraknya kasus kejahatan seksual, aborsi ilegal, pembunuhan dan pembuangan bayi, seks bebas, kehamilan di luar nikah (tidak diinginkan), menyebarnya penyakit kelamin yang menular-HIV/Aids dll. Ujung-ujungnya persoalan sosial budaya yang menyeruak ke permukaan adalah terjadinya degradasi moral.
Pemahaman yang keliru inilah yang harus “dibongkar” melalui pendidikan seks yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, komprehensif serta melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dari berbagai displin ilmu. Dengan demikian transformasi nilai-nilai tentang pendidikan seks tidak saja menjadi domain tokoh agama saja, tetapi juga menjadi domain bidang ilmu kesehatan, psikologi, pendidikan, sosial budaya yang saling berkolaborasi dan bersinergi untuk memberikan pemahaman yang benar berkaitan dengan seks.
Pendidikan seks pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, serta komitmen agama agar tidak terjadi “penyalahgunaan” organ reproduksi tersebut. Dengan demikian, pendidikan seks ini bisa juga disebut pendidikan hidup berkeluarga. Menimbang dari urgenitas dari pendidikan seks, maka seyogyanya dia diberikan sedini mungkin kepada anak oleh orang tuanya, sebab keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama yang paling tepat untuk mentransformasikan nilai-nilai yang terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan seks sebagai alat-alat reproduksi berikut fungsi-fungsinya, kemudian beranjak pada masalah kesehatan reproduksinya dan lain sebagainya.
Pentingnya pendidikan seks diberikan sedini mungkin, disebabkan banyaknya manfaat dari pendidikan seks, antara lain adalah : pertama, menjadi ruang diskusi sehat antara anak dan orang tua sehingga makin mendekatkan hubungan emosional antara keduanya; kedua sebagai wahana untuk memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja; ketiga, mampu mengurangi ketakutan dan kecemasan anak sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab), keempat, dapat membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi; kelima, memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga; keenam, memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual bagi anak; ketujuh, memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya; kedelapan, untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan, kesembilan, memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orangtua, anggota masyarakat; dan kesepuluh, membekali anak untuk sayang, arif dan bijak pada tubuhnya sendiri.
Apabila kegiatan pendidikan seks dilakukan sejak dini maka akatifitas seks tidak akan banyak disalah-artikan dan disalahgunakan. Pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan seks bukan lagi menjadi domain dari sekelompok orang saja, tetapi harus menjadi common sense yang harus di-share demi kemaslahatan umat. Seks tidak lagi menjadi barang yang tabu dan saru, tetapi sesuatu yang harus diketahui oleh banyak orang, semakin banyak orang yang “tahu” seks (baca paham tentang adab, etika dan sanksi), maka aktifitas seks yang bernilai suci tersebut tidak akan disalahgunakan.