Saya sebetulnya jenuh melihat kondisi perpolitikan di Indonesia. Apalagi saat ini tengah memasuki tahun politik. Itu artinya kita sebagai warga Indonesia yang baik dan penurut akan tambah bingung dan malas mengikuti berita politik. Pada akhirnya dikhawatirkan rasa malas itu sampai pada bilik pemilihan, dan menjadikan warga Indonesia enggan mencoblos salah satu kandidat alias golput.
Ini yang kurang diperhatikan oleh pemerintah, terutama dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) harusnya tidak melulu mengurusi persoal administrasi pencalonan pemimpin, juga tidak perlu selalu menggegerkan masyarakat dengan pelanggaran-pelanggaran politik dan kampanye calon yang muncul sebelum waktunya, dan seringnya bersifat serampangan.
Ya, serampangan. Kasus yang kerap menyinggung ranah politik cenderung serampangan dan tidak ada manfaatnya. Mari kita mulai preteli satu per satu kasusnya. Dimulai dari permulaan tahun 2018 yang geger dengan puisi ibu konde kita, Sukmawati yang membacakan puisinya itu langsung membuat publik geger. Tapi siapa yang tahu kalau kasus ini menyinggung politik? Hanya segelintir orang, termasuk saya pun tidak pernah mempersoalkan kasus puisi Sukmawati ini. Meski bagi sebagian orang ada yang mengatakan kalau puisi Sukmawati hanya untuk cari sensasi saja.
Selang beberapa waktu, belum habis isu puisi Sukmawati, muncul Ganjar Pranowo Calon Gubernur Jawa Tengah yang membacakan puisi berjudul “Kau Ini Bagaimana, Atau Aku Harus Bagaimana” karya KH. Ahmad Mustofa Bisri di sebuah acara di salah satu stasiun televisi di Indonesia. Dilansir situs tirto.id, Ganjar diperkarakan oleh Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) lantaran salah satu bait puisi yang dibacakannya dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Bait bertuliskan “Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat” dianggap merujuk ke panggilan azan.
Padahal sebelumnya, dikutip dari mojok.co puisi yang diciptakan Gus Mus di tahun 1987 ini pernah dibacakan oleh banyak orang, seperti Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar dan Ketua MUI NTT Abdul Kadir Makarim. Selain dua orang itu, Mantan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid yang kerap dipanggil Gus Dur pun pernah menyinggung soal Tuhan dan pengeras suara sebagai humor dalam salah satu acara Kongkow Bareng Gus Dur beberapa tahun silam.
Saat puisi itu dibacakan Gus Mus, tidak diperkarakan, saat dibacakan mantan menteri, juga tidak dipersoalankan, bahkan saat dijadikan humor oleh Gus Dur, tak dipolisikan. Namun kenapa saat Ganjar yang bicara semua jadi heboh? Tak lain ini karena Ganjar adalah seorang Calon Gubernur Jawa Tengah, dan kebetulan juga dia seorang petahana. Maklumi saja, semua perkara yang sedikit saja kena sentuhan politik dapat dipastikan akan menjadi perbincangan hebat, sereceh apapun perkara pasti jadi masalah. Jangankan puisi, lha wong sepeda, air mineral, bahkan roti saja jadi masalah je. Di Indonesia ini makan roti saja bisa jadi kafir, apalagi puisi.
Meski demikian, kasus Ganjar akhirnya mandek alias tak diteruskan. Duduk perkaranya saja tidak jelas, bagaimana mau melaporkan je.
Dilansir tirto.id, Ketua FUIB, Rahmat Himran menunda hingga membatalkan pelaporan Ganjar. Ia ternyata baru menyadari kalau puisi yang dibacakan Ganjar bukan karya sang calon gubernur itu sendiri, melainkan karya KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Loh, doi ndak berani sama Gus Mus? Ini kalau tidak ditunggangi oknum politik, mana mau memperkarakan puisi yang dibacakan Ganjar. Saya sendiri tidak yakin kalau sekelas FUIBÂ baru tahu kalau puisi itu karya Gus Mus. Bagaimana dengan anda?
Selepas Ganjar ada nama Prabowo Subianto yang dengan lantang berujar kalau Indonesia akan bubar di tahun 2030. Meski Prabowo mengungkapkannya berdasarkan penelitian dari luar negeri, tetap saja ini merujuk pada serangan oposisi terhadap kerja pemerintah sekarang. Seperti diungkapkan Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas melalui situs cnnindonesia.com, bahwa pernyataan Prabowo ini merupakan bentuk peringatan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa tentang potensi-potensi konflik.
Selain sebagai serangan dari oposisi, mana mungkin ini akan jadi viral kalau yang mengucapkan itu bukan dari lawan politik Joko Widodo (Jokowi). Jelas ini membuat Jokowi tak kalah mengeluarkan argumentasinya yang bertolak belakang dengan ucapan Prabowo. Dilansir okezone.com, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dalam memandang kedepan itu harus optimistis. Memandang kedepan juga berarti memberikan harapan lebih baik kepada anak-anak muda dan rakyat. Kata Jokowi sesulit apapun tantangannya, sesulit apapun hambatannya, harus ada rasa optimisme.
Itu menunjukan rivalitas keduanya masih berlanjut. Sejak pemilihan presiden 2014 silam, rupa-rupanya Prabowo kembali ingin menjadikan dirinya sebagai pesaing terkuat Jokowi. Alih-alih demikian, sampai sekarang hanya segelintir kawan, baik dari partainya ataupun koalisi saja yang lantang mendeklarasikan Prabowo sebagai Calon Presiden 2019, namun Prabowo sendiri belum mendeklarasikan dirinya secara resmi. Walau begitu, dia sudah mulai bergerilya menyerang lawan politiknya dengan pidatonya yang selalu berapi-api. Ini baik jika ditinjau dari politik, tentunya bagi politik dirinya sendiri, bukan politik secara keseluruhan. Jika gerilya politik seperti ini secara masif digaungkan, justru lagi-lagi akan membuat masyarakat bingung, dan akan melahirkan sikap masa bodoh terhadap calon presiden atau apapun itu. Betul nggak?
Kalian tahu #2019GantiPresiden? Atau #DiaSibukKerja? Jika kalian mengikuti timeline berita di media sosial. Ambil contoh, di twitter hastags tersebut masih ramai dipergunjingkan. Yang satunya ngotot ingin ganti presiden, dan yang lainnya gigih mempertahankan seseorang untuk jadi presiden. #2019GantiPresiden mulanya hanya ramai di sosial media. Namun belakangan #2019GantiPresiden mulai merambah ke aksi nyata, akhir April lalu bahkan ada di acara Car Free Day di Jakarta, dan 6 Mei kemarin, ada ratusan relawan yang mendeklarasikan gerakan nasional #2019GantiPresiden di pintu masuk Monas dekat Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat (www.merdeka.com, pada 6 Mei 2018).
Aksi itu terbilang sia-sia. Apalagi sejauh ini kita semua belum tahu secara pasti siapa yang akan menjadi pesaing Jokowi di Pilpres 2019 nanti. Adanya hanya bakal calon presiden. Artinya aksi massa #2019GantiPresiden masih belum menentukan sikapnya, karena sejauh ini hanya Gatot Nurmantyo (Mantan Panglima TNI), Sohibul Iman (Presiden PKS), dan Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra) yang jadi bakal calon pesaing Jokowi dalam Pilpres nanti. Namun itu juga ada syaratnya, seluruh tokoh tersebut harus mampu mengimplementasikan Pancasila dalam memimpin bangsa.
Aksi tersebut disinyalir muncul juga karena kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi yang lamban membangun Indonesia, termasuk infrastruktur yang kwalitasnya kurang memadai. Selain itu mereka juga muak dengan pencitraan yang kerap dilakukan presiden Jokowi (tirto.id, pada 7 Mei 2018). Tapi ya kali hanya karena muak kaya gitu sampai jadi aksi? Wajar sih karena ini Indonesia, yang mau apapun pasti rame, apalagi yang ada hubungannya dengan politik.
Beberapa peristiwa rame diatas setidaknya menunjukkan kalau politik di Indonesia masih ada, tapi politik yang serampangan. Tidak seperti politik dan pesta demokrasi luar negeri yang seringnya sepi-sepi saja. Tapi politik serampangan semacam ini juga bisa menjadi bumerang bagi negara. Bisa-bisa masyarakat bukannya bersimpati, malah bisa saja dengan kejadian-kejadian yang cenderung mengadu domba itu malah jadi antipati, dan ujungnya banyak yang memilih untuk golput. Dan apakah itu yang kita inginkan?