Apa jadinya jika karya ilmiah dan puisi disatukan dalam satu karya? Apakah ada tips dan trik nya dalam penulisan Esai? Lalu, bagaimanakah para pesohor kita menuliskannya? Bila saja pertanyaan itu ditujukan langsung pada Muhidin M. Dahlan, pasti ia akan memberikan jawaban yang membuat kita terkagum-kagum. Melalui bukunya yang berjudul “Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Pesohor” dengan lugas Muhidin M. Dahlan memaparkan cara menulis esai ala pesohor. Sehingga perlu dipahami bahwa buku ini bukanlah buku teori maupun sebuah panduan formal dalam menulis essai.
Terdapat sembilan bagian penting yang dapat menuntun para esais agar lebih mengenal Esai. Pada bagian mukadimah, Muhidin M. Dahlan membuka tulisannya dengan memaparkan apa itu Esai, serta bagaimana awal mula lahirnya Esai. “ Adalah Michel de Montaidne, yang menerbitkan edisi pertama esainya pada paruh akhir abad 15 yang berjudul: Of the Vanity of Words. Montaidne memberikan “devinisi” esai sebagai “percobaan”, (hlm.11)
Dalam bagian yang lain juga dipaparkan tentang bagaimana gaya esai agar terlihat menarik dan tak mati gaya. Layaknya manusia yang memiliki ragam budaya, demikian pula dengan esai. Banyak sekali ragamnya, yang dalam buku ini hanya dipaparkan 16 macam gaya. Diantaranya adalah esai itu seperti surat, esai itu seperti puisi naratif dan lain sebagainya.
Nah, berkat kecermatan Muhidin M. Dahlan dalam menyelami dunia esai, kita juga diperkenalkan dengan cara menata judul dengan gaya menc(u)ari perhatian. Misalkan, satu kata saja ternyata cukup untuk menampilkan judul supaya terlihat menarik. Tak percaya? Buka saja majalah tempo di paruh tengah tahun 70-an yang banyak dituliskan oleh Goenawan Muhammad dalam karyanya yang berjudul catatan pinggir 1. Pasti kita akan menemukan judul-judul “hemat”. Seperti “minyak, tahanan, rumi, nasrudin dan lain sebagainya” yang tentu saja satu kata pun sudah cukup untuk mewakili keseluruhan isi esai.
Jika kita sudah membahas judul, tak enak rasanya jika tidak membahas tentang pembuka esai. Yups, tentu saja banyak cara untuk membuka sebuah esai agar tampil lebih menarik. Jalaludin Rakhmat dalam karyanya “Silaturahmi”dalam Refolusi Sufistik, ini membuka esainya dengan mulai bercerita mengenai berbedaan orang kampung dengan orang kota. Tak hanya itu, membuka esai pun bisa dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan.
“Membuka esai dengan pertanyaan mendapat keuntungan ganda. Kesatu, kita langsung ke jantung masalah, dan kedua, dengan bertanya tugas paragraf berikutnya terasa lebih “ringan” karena hanya ingin menjawab secara jitu pertanyaan yang sudah diajukan”(hlm, 119)
Tak lupa, Muhidin M. Dahlan juga membahas secara gamblang tentang bagaimana cara membuat paragraf pengunci dalam sebuah esai. Dalam hal ini Muhidin M. Dahlan juga memaparkan cara menutup esai, diantaranya adalah mempertegas pesan utama, memberi jalan keluar, bertanya dan berseru, mengandaikan, dan kembali ke langkah awal. Itulah kelima cara untuk menutup esai agar lebih berkesan bagi para pembacanya. Seperti Abdurrahan Wahid, “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang menutup tulisan esainya dengan penjelasan yang terang benderang dibagian akhir. Hal yang sama juga terjadi pada judul esai Sindhunata “Ambil dan bacalah” yang diulang lagi menjadi judul pengunci.
Hal paling menarik dalam buku yang diberi judul Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Pesohor ini adalah selain penjelasan yang gamblang serta didukung dengan banyaknya referensi. Quotes-quotes menarik milik para pesohor negeri pun mampu menjadikan buku ini berbeda dengan yang lain. Terakhir bukan hanya cara dan tips saja yang disodorkan. Akan tetapi Muhidin M. Dahlan pun telah berhasil memotivasi para esais pemula untuk lebih memperdalam tulisannya. Akan tetapi, Muhidin M. Dahlan tidak pernah menyinggung sedikitpun terkait dengan kesalahan-kesalahan dalam penulisan esai. Karena mungkin beliau beranggapan bahwa, semua esai adalah tulisan bebas, sederhana, dan mengikuti alur si pemilik cerita.
Judul buku : Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Pesohor
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Tebal : 193 Halaman
Terbit : Cetakan pertama, Februari 2016
Penerbit : I:BOEKOE, Jogyakarta
Resensor : Rizka Aprilliana