Bu, Bapak sudah pergi, di dalam keranda, disopiri warga.
Semenjak kepergian bapak, ibu adalah bunga yang layu, menguncup, seperti kehilangan air yang menyiraminya pagi dan sore hari. Dan aku, adalah teman sejati ibu, yang tidak dapat jauh meninggalkan ibu seorang diri. Anak semata wayang, saat di mana aku merasakan kebahagiaan waktu muda mereka.
Dahulu, ibu adalah orang yang paling manja di rumah ini. Entah sama bapak atau sama aku. walaupun aku anak perempuan dan satu-satunya. Ibu tetaplah seperti anak kecil yang didewasakan oleh umur.
Belakangan ini, ibu suka sekali sendirian di teras. Aku yang khawatir dengan dirinya, hanya bisa duduk diam di dalam, dekat pintu ke luar. Sesekali, saat cemas menghampiri diriku soal ibu, buru-buru aku menengoknya, lalu ibu pasti melirik dengan mata sayunya, lalu memberikan senyum kepadaku.
Dedaunan tidak serasi dengan ibu, hanya awan yang ikut murung. Gerimis berbisik di dahan pohon, atap-atap rumah, para orang tua yang menyuruh anaknya pulang. Ibu merengkuh senyumnya lebih manis saat melihat orang lewat, namun hanya sebentar, lalu hilang melesat.
“Bu, di dalam saja yuk. Di sini dingin, nanti Ibu sakit.”
Ibu meraih tanganku secara perlahan, ia menurut. Aku merangkul dan memegang erat jemarinya. Ibu teramat lambat dan sayu. Jalannya tidak semudah dahulu, usia telah memakan langkah bahagianya. Dan aku, anak semata wayang yang akan menemaninya.
Aku teringat ibu belum makan, aku ke belakang, mengambil untuknya. Saat kembali, ibu sudah selonjoran di sofa, punggungnya beralaskan bantal yang tadi ada di pojok. Aku mendekat, menaruh makanan di meja, aku mengurut-ngurut kakinya sebentar, agar dirinya rileks dan mau membuka mulutnya.
“Bu, Ibu belum makan sejak pagi… Ibu tidak kasihan sama Bapak?”
Ibu perlahan menengok, ia memegang tanganku, dan mengangguk. Aku baru sadar, bahwa cinta bisa sedalam ini menyakitkan dirinya. Walaupun entah bapak sudah di mana, ibu tetap menganggap cinta bapak seperti hujan, yang turun tanpa henti.
Suap demi suap makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Aku merasa bahagia, hari ini mulut ibu lebih mudah untuk mengunyah makanan. Ucapanku tadi begitu manjur. Saat-saat ia mulai lama mengunyah dan asik membiarkan makanan ‘berumah’ di mulutnya. Aku megurut-ngurut kakinya, terkadang tangannya.
Tangan ibu mendekat ke kepalaku, membelai rambut panjangku, mengusap-usap kepalaku. Diriku langsung berubah, trenyuh. Mataku adalah cermin yang menggeliat masuk ke dalam perasaan ibu. Diriku durjana, merasa tahu segala perasaan ibu.
Ibuku memegang tanganku, aku memerhatikan. Ibu mengangkat tangan, dirinya memang berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Kata bapak, “Ibu adalah bunga desa yang bisu, cintanya tidak terucap seperti kebanyakan orang dengan mulut, dan marahnya tidak seberisik yang lain.”
Setelah aku memerhatikan, ibu menyampaikan seperti ini kira-kira, “Kamu jangan sedih, Ibu akan selalu bahagia, entah masih ada Bapak atau tidak, saat Ibu masih punya kamu, Ibu akan terus bahagia.”
Air mataku menggenang di danau buatan Tuhan yang disebut kelopak. Sedikit demi sedikit, debit air di danau tersebut tumpah, kiriman dari kepala dan rasa. Aku mencoba menghapus, sebelum banjir menggenang pipiku, sayangnya ibu telah dahulu membuat tanggul dari tangannya. Bukannya berhenti, debitnya seperti badai yang tidak terhenti, dan aku malu, lalu bersandar ke salah satu pundaknya.
Saat ini, aku telah berganti menjadi seperti Ibu, yang rapuh. Ibu memegang tanganku, mengusap-usap pundakku. kulitku terasa dingin, ibu terus mendekapku, seperti dahulu aku merasakan gendongan darinya, nyaman, hangat, dan tidak mau turun.
Ibu mencolek ku, ia menggerakan tangannya, “Nak, kamu tidak bekerja? Biasanya jam segini kamu sudah bekerja.”
Aku berbisik ke arahnya, “Tidak, Bu. Aku ingin bersama Ibu. Di sini, melihat Ibu tersenyum bahagia.”
Suasana rumah begitu hening, tanpa bapak yang berbicara, yang pulang memeluk hangat rumah. Kami berdua masih saling bersandar, aku bersandar pada ibu, ibu bersandar pada jemu.
“Bu, aku bersih-bersih rumah dahulu ya.”
Ibu mengangguk, tatapannya tetap kosong, namun senyumnya adalah penghantar semangat. Semua pekerjaan rumah aku lakukan, entah yang masih dilakukan ibu, atau dahulu yang dikerjakan bapak. Aku selesaikan semuanya.
Waktu binasa perlahan, aku asyik membersihkan rumah atau kenangan yang berserakan, sesekali aku sering menengok ibu sedang apa. Hanya ingin memastikan, bahwa dia baik-baik saja. Pekerjaan ini menyisakan kamar ibu dan bapak yang dibiarkan, kata ibu, “Kamar itu jangan dibersihkan, biarkan saja. Ibu ingin wangi Bapak tetap di sana.” Aku mengangguk. Di kamar itu, selalu ada kipas yang menyala, untuk mengeluarkan udara, dan pintu yang dibuka lebar.
Ibu mengetuk-ngetuk meja. Itu sebuah isyarat, ibu sedang memanggilku. Ibu meminta ambilkan vitamin, aku tidak tahu obat apa itu, karena obatnya sudah dipindahkan ke dalam plastik strip. Ibu dan bapak selalu meminumnya sehari sekali, aku pun tidak pernah disuruh untuk membelinya, saat sudah habis, besoknya sudah ada lagi.
Aku mengambil di kamar mereka. Saat aku masuk, hawa begitu berbeda setelah kepergian bapak. Meja kerjanya, dan hiasan foto-foto dirinya dibaringkan. Sepertinya ibu ingin berjuang melawan kesepian. Harum semerbak bapak masih ada di ruangan ini, kipas tidak hanya membawa pergi udara panas, namun juga menghempas lembaran kertas di meja bapak berceceran.
Aku memungutnya satu persatu, jangan sampai ada yang tertinggal. Aku mengintip apa yang ada di dalam kertas tersebut. Setiap lembaran berkop dan bercap rumah sakit, nama ibu dan bapak ada di sana. Mataku detektif yang mencari sumber masalah, di sana dengan jelas tertulis, Hepatitis B Kronis. Sebuah penyakit kanker hati.
Sekali lagi, Tuhan telah membuat bendungan di kelopak mata ku. Airnya jernih, tanggul tidak bisa menahannya lagi. Aku bertanya-tanya, kenapa mereka tidak bicara kepada ku? atau menyampaikan apa yang sedang terjadi? Saat di mana kematian bapak, aku anggap sebagai kewajaran karena usianya, dan saat ini apakah ibu sedang dijemput oleh bapak?
Aku menghapus air mataku dengan cepat, ibu mengetuk meja dengan kencang, lama kelamaan menghilang. Aku melihat obatnya, mengambil lalu ke luar, dan mengambil minum.
“Bu, ini obat dan minumnya.” Aku mengurut-urut tangannya, kakinya. Ibu diam. Diriku hampa sesaat, kulitku dingin seperti kulit ibu. aku mencoba mendekatkan jari ku ke leher, tangan dan detak jantungnya. Aku kehilangan. Bapak, lalu ibu. Deras hujan membawa roh ibu ke langit lebih cepat, sebelum aku berhasil mencegat.
Aku menangis tersedu-sedu. Semua menggelinjang mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Diriku lemas dan layu, semua begitu cepat dan tiba-tiba. Tetanggaku datang mengetuk pintu, ia saudaraku, yang tinggal tepat di samping rumah.
Ia langsung masuk saat melihat diriku seperti ini, ia bertanya apa yang sedang terjadi, ia menggoyang-goyangkan badan ibuku. memeriksa menyeluruh. Tetanggaku menelfon beberapa kerabat, dan memanggil para pengurus desa.
Aku duduk di bawah sofa, tepat di samping kaki ibu yang kaku. Tetanggaku memastikan tubuh Ibu baik-baik saja, sekaligus merogoh seluruh kantong ibu. Uang, obat-obatan, dan kertas. Tetanggaku membacanya sebentar, lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima dan lalu membacanya. Itu adalah surat untukku, yang ditulis oleh ke dua orang tuaku. Maaf, diriku belum kuat menuliskannya lagi. Yang bisa aku sampaikan sedikit, “Surat ini ditulis oleh Bapak, dan akan diberikan kepadamu setelah kepergian Ibu…”
Penulis: Alfiansyah Bayu Wardhana
Editor: Alifatul Qaidah