Dalam dunia perkuliahan kerap kali kita menyaksikan berbagai aksi anti korupsi yang digelar oleh organisasi mahasiswa. Aksi tersebut seperti seminar anti korupsi, Focus Group Discussion (FGD), atau bahkan melakukan aksi demo di depan gedung DPR. Mereka berkoar-koar menuntut para koruptor turun dari jabatnnya dan diadili secara hukum. Namun disadari atau tidak banyak dari mahasiswa melakukan praktik korupsi kecil di dalam perkuliahan. Hal tersebut terdengar sangat ironi namun memang nyata adanya.
Terdapat berbagai praktik yang mengarah ke tindakan korupsi yang dilakukan mahasiswa salah satunya monyontek. Perilaku ini tentunya akan merugikan kedua belah pihak, pihak pertama yakni si penyontek akan kehilangan kepercayaan diri atas kemampuan yang dimilikinya sebab mengandalkan jawaban orang lain. Sementara orang yang diconteki akan merasa dirugikan karena hasil dari usaha belajarnya  yang mungkin saja mengorbankan waktu bermainnya berkurang malah ditiru orang lain. Masih banyak lagi dampak negatif dari tindakan curang tersebut.
Selain menyontek terdapat pula tindakan mahasiswa sebagai bibit koruptor seperti plagiat karya orang lain, joki tugas, titip absen teman sekelasnya, gratifikasi kepada dosen, dan mungkin masih banyak lagi. Tindakan tersebut tentu akan mencederai nilai integritas seseorang. Pribadi yang berintegritas tidak akan mau melakukan tindakan kotor berupa korupsi. Ia akan tetap mematuhi peraturan yang ada dan menjunjung nilai kejujuran.
Motif dari perilaku curang tersebut karena si pelaku merasa tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga ia menghalalkan segala cara demi menggapai tujuan tersebut. Perilaku tersebut melanggar norma susila yang ada di dalam hati nurani seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk berbuat curang, suara kebenaran dalam hatinya sudah memperingatkan untuk tidak melanggar suatu kebenaran. Akan tetapi karena ambisi untuk mencapai tujuan tersebut begitu besar, ia melanggar apa yang dianggap benar oleh hatinya.
Bibit-bibit koruptor ini apabila dibiarkan begitu saja akan membahayakan masa depan negara. Karena generasi merekalah yang nantinya akan mengemban tugas sebagai pemimpin bangsa. Masih duduk di bangku perkuliahan saja sudah banyak melakukan kecurangan dan menghalakan segala cara untuk mencapai apa yang ditargetkan apalagi jika sudah menjabat di suatu lembaga mungkin lebih tinggi lagi tingkat kecurangannya. Untuk itu perlu adanya pendidikan anti korupsi yang tidak hanya dipelajari secara teori saja. Akan tetapi perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dilansir dari website unib.ac.id Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia mengungkapkan empat harapan peran akademisi dan perguruan tinggi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pertama, perguruan tinggi menjadi poros dalam inovasi dan riset, dalam arti kampus diharapkan sebagai pusat penelitian, data, dan beragam kajian anti korupsi. Kedua, perguruan tinggi menjadi Pool of Expert dengan menjadikan kampus sebagai rumah bagi para ahli untuk berpartisipasi sesuai dengan keilmuannya dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Ketiga, diharapkan menjadi pusat pengajaran anti korupsi dengan berperan aktif dalam upaya penyebaran nilai-nilai anti korupsi. Keempat, kampus diharapkan menjadi pusat pergerakan anti korupsi dengan mengembangkan budaya akademik sebagai basis gerakan anti korupsi.
KPK merilis sembilan nilai integritas yang bisa mencegah terjadinya tindak korupsi. Kesembilan nilai itu adalah jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Nilai tersebut apabila diterapkan dengan baik akan meningkatkan jumlah orang berintegritas di Indonesia. Dengan demikian tingkat koruptor di negeri ini dapat diminimalisir.
Penulis: Alifah Marwa
Editor: Nela Salamah