Minggu pagi yang cerah untuk memulai hari. Pagi ini, aku berencana untuk berlibur bersama salah satu temanku, Ira. Aku dan Ira merupakan teman satu kampus. Kami berencana pergi ke Curug Bidadari yang menurut Ira sangat indah, letaknya berada di Lereng Gunung Slamet. Jarak rumahku dan curug tak terlalu jauh, kurang lebih hanya satu setengah jam perjalanan saja. Aku tak berangkat bersama Ira, karena kami berencana akan bertemu di sana.
Aku memulai perjalanan dengan bermodalkan maps yang ada pada smartphone-ku, tanpa ragu aku mengikuti petunjuk arahan dari suara maps tersebut. Aku sudah mencapai 80% perjalanan. Namun, tiba-tiba smartphone yang aku gunakan lowbat dan mati.
Padahal smartphone tersebut merupakan satu-satunya petunjuk agar aku dapat sampai di curug. Dengan rasa kebingungan, aku mulai mencari bantuan untuk menunjukkan arah curug tersebut. Sepuluh menit aku mencari orang yang melewati tempat ini, namun nihil, aku tak bertemu siapapun di sini. Hingga aku sempat berpikir untuk pulang saja dan tak menyusul Ira ke Curug Bidadari.
Saat rasa putus asaku membuncah, aku menemukan secercah harapan. Aku bertemu dengan seorang ibu-ibu yang berpenampilan rapi dan berdandanan menor. Dengan nafas tersengal-sengal, ibu itu menghampiriku. Belum sempat beliau berucap satu kata pun, aku menodong beliau dengan pertanyaan, “Bu, tahu Curug Bidadari nggak ya?” tanyaku cepat.
“Oh iya, tahu, ayo kita ke sana, aku tunjukkan jalannya.”
Belum sempat kupersilahkan beliau untuk naik motorku, beliau sudah duduk anteng di jok belakangku.
“Pegangan ya bu, jalannya lumayan curam.”
“Ya.”
Dengan cepat kutancapkan gas, tak sabar rasanya untuk sampai di Curug Bidadari.
“Ini ke arah mana lagi ya, Bu?” Tanyaku untuk memastikan arah kita.
“Uhm, ke kanan, belok kanan ya.” jawab ibu itu dengan ragu-ragu.
Begitu terus hingga satu jam perjalanan kami, beliau tampak gugup ketika aku bertanya arah. Ada perasaan mengganjal dalam hatiku, “Mengapa dari tadi belum sampai ya? Padahal kan kalau lihat di maps, perjalananku hanya kurang dari 15 menit, seharusnya saat ini aku sudah sampai dong ya?” gerutuku dalam hati.
Perasaanku mulai tak enak, daripada aku tersesat semakin jauh, kutanyakan kepada si ibu itu, “Bu, kok kita nggak nyampe-nyampe ya? Ini kita mau ke Curug Bidadari, kan?”
“Sabar, sebentar lagi, satu kali tikungan lagi kita sampai kok. Kamu jangan cerewet deh, lebih baik ikuti saja arahan saya.”
Satu tikungan yang dikatakan ibu itu sudah terlewati, namun bukanya melihat Curug Bidadari, aku malah dituntun Ibu itu untuk berhenti di sebuah hajatan. Dengan perasaan kesal dan menggerutu, kutanyakan pada beliau apa maksudnya melakukan ini, “Maaf bu, ini curugnya di mana ya? Kok kita malah di hajatan?”
“Lha ini, saya sudah sampai, kamu tadi mau nganterin saya ke sini toh? Kalau curugnya ya nggak disini, udah kelewat jauh tadi, di bawah sana.”
“Bu, jelas-jelas dari tadi saya minta tolong buat ditunjukkan arah curug. Kenapa tiba-tiba saya malah dipaksa nganterin ibu kesini? Kapan juga ibu tadi bilang mau dianterin?”
“Loh, jadi kamu nggak ikhlas nganterin saya? Nanti saya kasih tahu arah ke curug yang kamu mau itu.”
“Udah, nggak usah bu. Satu jam lebih saya muter-muter di jalan, ternyata saya cuma dimanfaatkan ibu aja buat nganterin ke sini. Saya pulang aja.”
Dengan perasaan dongkol, aku bergegas memacu sepeda motorku. Aku merasa dimanfaatkan, seharusnya dari tadi aku sudah sampai di curug, namun keegoisan ibu itu membuatku terpaksa harus berlama-lama di jalanan. Sejenak aku menepi dan mencari warung terdekat untuk melepas penat dan numpang ngecharge handphoneku yang mati tadi.
Kunyalakan kembali handphoneku, dan kulihat sudah banyak pesan yang kuterima dari Ira. Ira pasti kecewa karena aku tak datang-datang ke sana. Aku segera menjelaskan semua insiden yang terjadi padaku hari ini. Lalu, Ira malah memintaku untuk meng-share lokasiku saat ini, tanpa berlama-lama, kukirimkan lokasi terkiniku.
15 menit berselang, Ira sudah sampai di warung tempatku beristirahat. Ia ternyata bermaksud menjemputku agar kami tetap bisa ke Curug Bidadari bersama-sama. Berhubung Ira sudah mau bersusah-susah menjemputku, aku pun memutuskan untuk mengikuti Ira dari belakang.
Ternyata curug Bidadari sudah cukup dekat dari warung tempat singgahku tadi, hanya berjarak 15 menit saja kita sudah sampai di Curug Bidadari. Rasa kesalku lumayan terobati akan indahnya Curug Bidadari. Tanpa ragu, aku bergegas untuk berlari dan menuju tepian curug.
“Huaaah, ternyata beneran cakep banget yaa, Ra.”
“Iya dong, udah pasti. Nggak nyesel kan ke sini?”
“Iya, nyesel ke sini sih enggak ya, nyesel di sasar-sasarin sama itu ibu-ibu sih masih tetep iya.”
“Hahaha, lagian, ada-ada aja.”
“Ya udah deh, biarin aja. Manusia aneh. Nggak tahu malu banget.”
Kami pun mengakhiri liburan hari ini dengan memakan Pop Mie dan gorengan mendoan. Rasanya menyenangkan pada akhirnya bisa sampai di tempat ini dan sedikit memaafkan beberapa hal yang sudah terjadi hari ini.
Penulis: Karimatun Nisa
Editor: Arjun Naja