Kematian, hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan. Segala sesuatu yang hidup pasti akan mati, begitulah kalam Ilahi. Apapun sebabnya kematian pasti akan terjadi. Berapa keras kita menghindarinya kematian pasti akan datang juga, kapan pun itu dimana pun itu.
Kulihat rombongan orang berjalan di bawah panasnya matahari, berpakaian serba hitam mengisyaratkan sungkawa dan kehilangan. Kesedihan menyelimuti perjalanan mereka. Kaki terus mereka gerakan untuk maju. Mulut terus mereka gunakan untuk melantunkan tahlil. Laa Ilaha Illallah… Laa Ilaha Illallah…
Di barisan paling depan kulihat kendaraan hijau berjalan dengan empat roda manusianya. Keempat-empatnya seperti tertekan, keringat mengaliri seluruh badan. Basah pakaian serba hitam yang mereka kenakan. Entah karena panasnya matahari atau karena terlalu berat beban yang mereka bawa. Ada apa dengan pengendara mobil hijau ini? Melintas begitu saja dalam pikiranku.
Tepat di belakang kendaraan hijau yang terus berjalan di bawah teriknya matahari, kulihat berjalan pula seorang wanita yang menundukkan kepala dengan memakai hijab hitam dan pakaian serba hitam pula. Panas matahari membuat wanita itu berkeringat. Tidak hanya keringat, tapi juga lelehan air mata membasahi pipi. Dalam isak tangisnya tak henti-henti ia melantunkan kalimat tahlil. Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah… dengan penuh kesedihan dan kehilangan.
Wajah wanita ini kulihat sangat pucat. Melihat wajah tersebut aku seperti mendengar suara hatinya. Sedang meratapi nasibnya yang kini menjanda. Ditinggal pergi selamanya oleh suami. Semua memang kehendak Illahi. Walaupun sang istri tidak menginginkannya, tapi ini sudah menjadi kehendak Tuhan. Sebab, sesuatu yang buruk menurut kita bisa jadi itu hal yang  bagus menurut Tuhan. Tidak ada yang bisa menentang atau menghentikan kehendaknya. Kita hanya bisa melewati apa yang telah ditakdirkan. Dengan lapang dada ataupun dengan membenci kehendaknya, pilihan ada pada diri manusia sendiri.
Suami yang pernah melaksanakan janji suci dalam cinta sehidup semati kini telah tiada, betapa malang nasibnya kini. Menjalani kehidupan yang berat ini sendiri. Mengapa tuhan hanya mengambil suaminya? Kenapa tidak dirinya sekalian? Jika seperti ini tidak ada gairahnya untuk hidup. Kukira seperti itu yang ia rasakan ketika mataku melihat wajahnya yang pucat penuh kehilangan dan kesedihan.
Rombongan serba hitam penuh kesedihan itu terus berjalan dengan rapi walaupun tanpa ada yang memberi aba-aba. Terus berjalan menyusuri panasnya aspal. Dua menit kemudian mereka sampai di dekat jembatan kecil. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu lebar. Terlihat di bawah jembatan air mengalir tidak terlalu deras. Anehnya tidak kulihat kendaraan atau orang yang lewat selain mereka.
Sedetik kemudian kulihat rombongan hitam penuh kesedihan sudah berada di tengah jembatan. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Menggerakkan apapun yang dilewatinya. Suaranya bergemuruh merasuk ke telinga. Pohon menari-nari gila seolah akarnya akan tercabut terbawa angin. Seolah Tuhan Yang Maha Kuasa sengaja memerintah angin agar datang tiba tiba dengan kencangnya di tengah jembatan. Agar mengguncangkan jembatan dan orang-orang baju hitam di atasnya.
Rombongan serba hitam itu seketika terombang-ambing tak berdaya di tengah jembatan. Inilah kehendak tuhan yang lain. Apa daya manusia melawan kehendaknya. Jika tuhan menghendaki mereka semua terbang terbawa angin, maka angin akan dengan mudahnya menerbangkan mereka. Tapi skenarionya tidak seperti itu.
Pakaian serba hitam mereka berkibar-kibar terkena angin. Wajah mereka yang semula penuh kesedihan dan kehilangan langsung berubah. Kini wajah mereka lebih mengisyaratkan kebingungan dan sedikit rasa takut. Cemas juga tergambar jelas di wajah mereka. Roda-roda manusia yang berjumlah empat tadi mulai sempoyongan tanpa arah diterjang angin. Lantunan tahlil yang tadi kudengar sekarang berganti menjadi suara panik orang-orang pakaian hitam tersebut.
“Ada apa ini sebenarnya Pak Ustadz?” “kenapa bisa seperti ini pak ustadz?” “Bagaimana ini pak ustadz?” begitu mereka saling bergantian melontarkan pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka tujukan kepada orang tua berjubah yang memakai kopiah sebagai penutup kepala, juga tasbih besar hitam yang dililitkan di tangan. Orang yang dipanggil sebagai ustadz itu hanya terdiam tak bisa menjawab pertanyaan mereka. Wajah berkumis dan jenggot putih panjang itu hanya menampakkan kebingungan yang sama dengan mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di sini, kenapa bisa seperti ini. Sedikit rasa bingung juga merasuk dalam diriku ketika melihatnya.
Angin menerjang semakin kencang. Suaranya semakin bergemuruh. Keempat roda manusia semakin sempoyongan tak beraturan. Kain hijau penutup kendaraan terbuka, terbang terbawa angin. Kerangka besi kendaraan itu terlihat jelas oleh mataku. Di dalamnya ada sebalut kain putih, itulah sang pengendara.
Sedetik kemudian tanpa aku prediksi roda-roda itu sudah melepas kendaraannya. Jatuh kerangka besi beserta pengendara itu ke sungai. Keluar sang pengendara terbalut kain putih ke air. Bertambah rasa bingung dalam diriku.
“Tolong suami saya… tolong….” Tangis sang istri semakin menjadi.
Wanita berhijab dan berpakaian serba hitam itu berlutut dan menunjuk-nunjuk ke arah pengendara putih yang mulai hanyut. Melihat keadaan wanita tersebut orang pakaian hitam di situ hanya diam saja.
Rasa bingungku semakin memuncak. Terlebih orang tua berjenggot putih hanya mengusap dada sambil mengucap istighfar berulang-ulang. Kenapa mereka tidak langsung turun ke sungai. Toh air sungai terlihat tidak deras sama sekali.
Tampak jelas pengendara itu hanyut di air yang mengalir kecil. Terus hanyut dengan entengnya. Seolah yang ada di dalam balutan kain putih itu hanya sebuah bantal, bukan manusia. Kebingunganku berubah menjadi rasa muak. Tak percaya aku melihat hal sekonyol ini. Kuambil remot dan kutekan tombol warna merah. Seketika layar berubah menjadi hitam. Sembari berlalu mulutku sedikit mengumpat.
“Apaan ini maut kok jadi mainan.”
Penulis: Amin Nur Alfa
Editor: Arjun Naja