Wisuda merupakan sebuah acara atau perayaan yang identik dengan kelulusan setelah menempuh jenjang pendidikan. Acara wisuda sebagai simbol upacara kelulusan, lahir dan telah menjadi sebuah tradisi sejak abad ke-12. Pada mulanya, wisuda dilakukan oleh perguruan tinggi untuk menghormati dan merayakan mahasiswa yang telah merampungkan pendidikan dan mendapatkan gelar akademik. Namun beberapa tahun terakhir, wisuda tidak hanya diadakan sebagai perayaan kelulusan pada perguruan tinggi. Dari jenjang SMA, SMP bahkan TK yang pada dasarnya masa pra sekolah untuk anak, diadakan perayaan wisuda sebagai acara kelulusan.
Perayaan wisuda yang diadakan di berbagai jenjang pendidikan, membuat masyarakat terbagi menjadi tim pro dan kontra. Mungkin sebelum membahas hal yang menjadikan masyarakat pro dan kontra, bisa kita gali terlebih dahulu tentang pemakaian baju toga dengan jubah dan topi khasnya. Baju toga disebut sebagai pembeda antara kaum intelektual dengan orang biasa. Perguruan tinggi yang mewajibkan penggunaan baju toga sebagai busana wisuda pertama kali adalah Universitas Oxford dan Universitas Cambridge. Sementara itu, memasuki abad ke-19 berbagai perguruan tinggi di Amerika melakukan penyamaan terhadap penggunaan jubah atau baju toga dan membedakannya antara lulusan sarjana dan lulusan doktor.
Busana wisuda yang didesain sedemikian rupa untuk sebuah perayaan dianggap sakral. Meskipun sederhana akan tetapi memiliki makna tersendiri. Baju toga yang berbentuk seperti jubah berwarna hitam, mengandung makna bahwa para wisudawan telah berhasil mendapat ilmu pengetahuan sebagai sebuah pencerahan. Wisudawan juga dianggap mampu mengalahkan bayang-bayang dari kurangnya ilmu.
Sementara pada topi wisuda yang berbentuk persegi berarti simbol dari sebuah buku yang menjadi rujukan ilmu pengetahuan. Bentuk persegi juga bermakna bahwa seorang sarjana harus berpikir secara rasional dengan menggunakan berbagai sudut pandang yang berbeda. Pada topi wisuda juga dihiasi dengan tali yang tersambung dengan bagian tengah topi. Saat prosesi wisuda, biasanya ada ritual pemindahan tali koncer yang pada awalnya berada di sebelah kiri akan dipindahkan ke sebelah kanan. Hal ini dianggap sebagai simbol yang bermakna perpindahan dari penggunaan otak kiri menjadi bagian otak kanan saat berpikir.
Ketika tengah menempuh pendidikan, mahasiswa banyak menggunakan otak bagian kiri untuk berpikir. Otak kiri mempunyai fungsi untuk berpikir secara logika dan kritis, sehingga sangat berperan saat menjadi mahasiswa. Sementara otak bagian kanan berhubungan dengan inovasi, imajinasi dan kreativitas. Otak bagian kanan akan lebih berperan saat mahasiswa terjun langsung dan menerapkan ilmunya kepada masyarakat luas.
Setelah mengetahui berbagai makna dan filsosofi dibalik penggunaan toga wisuda sebagai busana perayaan kelulusan, pemakaian toga tersebut memang seharusnya hanya untuk lulusan perguruan tinggi yang telah meraih sebuah gelar sarjana. Akan tetapi, pemakaian toga ini seakan menjadi normalisasi saat upacara kelulusan. Tidak hanya digunakan di perguruan tinggi, namun di berbagai jenjang pendidikan.
Hal yang menjadi perhatian khusus adalah ketika kelulusan anak TK yang sekarang ini banyak menggunakan toga wisuda untuk upacara kelulusannya. Para orang tua seakan diajak berlomba-lomba untuk merias anak mereka semenarik mungkin. Pada saat acara berlangsung, tentu tidak hanya anak-anak yang berpenampilan semenarik mungkin. Namun para orang tua juga biasanya menyiapkan baju atau hijab yang seragam. Jika hal tersebut menjadi sebuah tradisi, tentu wisuda pada anak TK juga akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dari masyarakat yang kontra, menganggap bahwa hal tersebut terkesan berlebihan, bahkan dianggap memberatkan. Pada dasarnya TK adalah jenjang pendidikan pra sekolah dan anak-anak pun belum terlalu paham untuk apa perayaan tersebut dilakukan. Sementara pada masyarakat yang pro, menganggap bahwa sah-sah saja melakukan perayaan wisuda pada kelulusan di berbagai jenjang pendidikan. Toh tidak semuanya akan merasakan jenjang pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Penulis: Dina Fitriana
Editor: Alifah