https://lpmalmizan.com – Pendidikan merupakan sebuah kontruksi untuk mengarahkan sebuah bangsa menjadi lebih terdidik dan lebih cakap akan terhadap segala perubahan. Pendidikan kian terasa sangat penting dalam menentukan sebuah kualitas dari suatu bangsanya, apakah bangsa itu akan menjadi bangsa dengan kelas teri atau sebaliknya menjadi bangsa besar yang cakap akan segala perubahan peradaban. Pentingnya pendidikan untuk menentukan kualitas bangsa juga bisa ditinjau dari segi historis, bahwa terdapat contoh konkret yang bisa kita nyatakan secara bersama-sama bahwa pendidikan terasa sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa. Contoh konkretnya ialah negara Jepang. Pada saat Jepang mengalami kekalahan dari sekutunya Amerika Serikat (AS) yakni pada tahun 1945 yang mana waktu itu Jepang menjadi sasaran dari bom Hiroshima dan Nagasaki.
Kekalahan Jepang atas sekutu sungguh tak bisa dimungkiri, dan tak hanya itu segala aspek sosial yang ada di Jepang sudah pasti mendapatkan imbas yang luar biasa. Namun dari kejadian tersebut terdapat kisah menarik yakni bahwa pada waktu kekalahan itu juga, seorang kaisar Jepang yakni Hirohito langsung mengumpulkan para jenderalnya sembari menanyakan berapa guru-guru yang tersisa pasca pengeboman terjadi. Tindakan kaisar Hirohito tersebut menjadi berhasil saat bisa mengumpulkan 45.000 guru yang tersisa. Alasan Hirohito mengumpulkan guru-guru yang tersisa ternyata mempunyai tujuan yang amat penting, yaitu menurutnya Jepang tak mungkin bisa menyalip kemajuan dari Amerika tanpa bantuan dari sektor pendidikan. Hari ini bisa kita lihat bahwa negara Jepang sudah kembali muncul dan menjadi negara yang maju imbas dari ditekankannya bidang pendidikan.
Cerita di atas hanyalah untuk menggambarkan betapa pentingnya sebuah pendidikan untuk menentukan generasi yang akan datang. Walaupun sudah terdapat kisah yang konkret yang menggambarkan akan pentingnya pendidikan, namun di Indonesia sendiri sektor pendidikan masih mengalami banyak hal yang harus diperbaiki. Salah satunya ialah mengenai komersialisasi di bidang pendidikan. Komersialisasi pendidikan merupakan suatu kegiatan yang dengan secara terang melakukan praktik-praktik tidak semestinya dalam bidang pendidikan, praktik yang tidak semestinya tersebut tidak lain ialah mempergunakan pendidikan sebagai ladang bisnis. Kegiatan komersialisasi pendidikan tersebut bisa kita lihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa biaya pendidikan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan sebesar 10-15%. Tak hanya itu, banyak dari program studi juga mematok biaya yang tak main-main besarannya, bahkan sampai 100 jutaan. Lebih lanjut, biaya masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur mandiri juga tidak sedikit kampus yang mematok uang pangkal dengan skala besar yakni puluhan juta rupiah. Itu saja baru di tahap pendaftaran, belum lagi biaya yang harus dikeluarkan selama perkuliahan. Peristiwa komersialisasi pendidikan tersebut sudah pasti hanya akan memberikan akses pendidikan kepada orang-orang kaya, orang-orang miskin kian sempit mendapatkan akses pendidikan yang semestinya. Padahal dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” lebih lanjut di ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Sudah sangat terang bahwa praktik ataupun kegiatan yang menyangkut komersialisasi pendidikan bertentangan dengan amanat konstitusi UUD 1945, namun naasnya praktik tersebut masih berjalan dengan lancar bahkan kian sempurna. Padahal jika kita melihat anggaran pendidikan yang digelontorkan dari APBN bukanlah dalam nominal yang kecil. APBN menggelontorkan 20% untuk sektor pendidikan, 20% dana dari APBN bukanlah dana yang kecil. Di tahun 2023 tercatat bahwa APBN yang digelontorkan untuk pendidikan mencapai angka Rp612,2 triliun. Dana di atas 600 triliun bukanlah dana yang kecil, namun yang menjadi persoalan ialah kenapa dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut biaya pendidikan terus naik 10-15% setiap tahunnya. Apakah dengan dana APBN yang digelontorkan tersebut kurang mampu untuk membiayai setiap orang dalam mendapatkan akses pendidikan, jika hal itu terlalu jauh maka apakah dengan anggaran APBN sebesar 600 triliun masih tidak bisa mengurangi biaya pendidikan yang ada di Indonesia. Persoalannya bisa kita temukan dalam hal tersebut.
Jika kegiatan ataupun praktik-praktik dari komersialisasi pendidikan selalu dibiarkan saja, itu menunjukkan bangsa ini merupakan bangsa yang tidak taat dengan konstitusi, sebab konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Tak hanya itu, persoalan tersebut juga menunjukkan bahwa masa depan hanya bisa diraih oleh orang-orang kaya dengan artian orang yang mampu menempuh biaya pendidikan yang mahal. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga mengeluarkan data surveinya yang menyebut bahwa hanya 8,5% penduduk Indonesia yang kuliah, dan 65% hanya tamatan SMP. Itu berarti terdapat persoalan serius di dalam sektor pendidikan, yang padahal pendidikan itu sendiri merupakan sebuah alat penting untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Namun di Indonesia sendiri pendidikan tidak hanya ajang untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas, tetapi pendidikan merupakan sebuah sektor yang dengan gampang bisa dijadikan ladang bisnis.
Dengan demikian untuk orang-orang miskin akan lebih mengeluarkan tenaga yang ekstra untuk mendapatkan akses pendidikan. Yang harus dikeluarkan untuk orang-orang miskin ialah semangat belajar yang tinggi untuk mendapatkan beasiswa, lebih naas lagi ketika orang-orang miskin tak bisa mendapatkan beasiswa dan ketika menempuh pendidikan tinggi ia akan lebih berusaha mendapatkan uang untuk bisa membayar pendidikannya, lebih pahit lagi orang-orang miskin juga seperti di ujung bukit yang bisa jatuh kapan saja. Dengan artian orang-orang miskin rentan putus pendidikan di tengah jalan hanya karena ketidakcukupan biaya untuk meneruskan pendidikannya. Berbeda dengan orang kaya yang ia mempunyai uang yang bisa untuk membayar biaya pendidikannya. Sudah tentu orang kaya akan lebih minim risiko putus pendidikan di tengah jalan hanya karena persoalan biaya.
Penulis: Khanan Saputra
Editor: Alifah Marwa