Pondok pesantren merupakan sistem pendidikan berbasis pengkajian ilmu keislaman. Pendidikan pesantren telah lama berfungsi sebagai pembentuk kultur muslim Indonesia yang berbeda dengan peradaban Islam di negara lain. Peradaban pesantren diyakini memiliki keterikatan mendalam dengan kultur historis pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Penerimaan masyarakat lokal terhadap ajaran Islam tidak dapat dipisah dari dakwah para ulama yang menekankan paradigma multikulturalisme. Model dakwah tersebut berhasil mengharmoniskan kultur lokal dengan ajaran Islam secara imbang.
Pada sisi lain sistem pendidikan agama yang terkonsentrasi di pondok pesantren, mampu menarik perhatian masyarakat untuk mendelegasikan anaknya belajar ilmu agama kepada kiai pesantren. Hanya saja, pondok pesantren tempat membentuk manusia berpengetahuan telah mendapat gejolak negatif dengan munculnya kasus kekerasan pada anak atau santri (Warsidi 2022). Pendisiplinan tubuh menggunakan kekerasan justru menjadi sesuatu yang dianggap normal dan terus meningkat (KEMENPPPA 2023). Pengabaian terhadap lingkungan pendidikan yang ramah anak tentu tidak sejalan dengan harapan orang tua santri dan sistem pendidikan saat ini.
Fakta sosial di atas menunjukkan aspek penting yang tidak boleh dianggap sepele oleh orang tua, pengasuh pondok pesantren kaitannya dengan perkembangan positif anak. Hal mendasar yang mendorong kecerdasan dan kesehatan mental (mental health) tidak lain adalah kesejahteraan sosial anak. Iklim sosial sebagai faktor eksternal berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan hak dasar anak di antaranya: hak hidup, tumbuh kembang, partisipasi, dan perlindungan (Anissa, Agus, and Muhammad 2015: 47).
Pembacaan tindak kekerasan di pesantren menjadi bahasan penting untuk memahami pesantren ramah anak. Hal ini dikarenakan berdampak langsung terhadap pondok pesantren secara luas. Sisi lain, pemahaman orang tua mengenai lingkungan sosial dan proses belajar anak menjadi relevan jika orang tua turut serta mengontrol kondisi anak. Dengan begitu, tanggung jawab orang tua tidak terputus, ikatan sosial antara lembaga pendidikan dan keluarga santri juga menentukan pesantren ramah anak.
Sebelum menjelaskan dua aspek di atas penting kiranya menguraikan pengertian sederhana pesantren. Secara etimologi kata sant berarti “manusia baik” dengan suku kata ira yang juga berarti “suka menolong” (Wahjoetomo, 1997: 5). Sementara terminologi pesantren terbentuk dari awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Zamakhsyari Dhofier, menengarai pengertian umum pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia (Dhofier, 2011: 41).
Iklim Sosial Santri
Praktik menyantrikan anak di Indonesia secara umum dilakukan saat anak rampung pendidikan sekolah dasar (formal), namun kondisi ini bergantung masing-masing keluarga. Dalam bersosial di pesantren, santri baru diharuskan beradaptasi dengan lingkungan pesantren yang mempertemukan sikap dan perilaku antar santri yang berbeda kultur. Kondisi demikian memungkinkan setiap santri memiliki ikatan sosial yang erat di segala aspek dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Sikap saling menyayangi dan menghormati antar anggota santri terbentuk secara alami dan bertahap. Tentu saja, memiliki rasa saling membantu menjadi pondasi dasar dalam bersosial, tidak terkecuali tolong menolong dalam memahamkan ilmu-ilmu di pesantren. Karena pada dasarnya mereka memiliki tujuan dan maksud yang sama yaitu mencari dan mengkaji ilmu agama secara mendalam. Lingkungan sosial yang demikian mendapat penjelasan dalam salah satu ayat al-Qur’an sebagai berikut.
Firman Allah SWT.
…وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya.
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhya Allah amat berat siksaan-Nya. QS. Al-Maidah [5]: 2.
Dalam uraian tafsir Al-Misbah, kandungan ayat ini meliputi tiga hal yaitu larangan melanggar syiar-syiar Allah, toleransi sosial dan interaksi sosial. Menurut Quraish penggalan akhir ayat tersebut menjelaskan prinsip menjalin kerjasama dengan siapapun dengan asas dan tujuan mendapatkan kebajikan dan ketakwaan. Pesan utama ayat berupa saling tolong menolong untuk kemaslahatan dan menghindarkan bencana di muka bumi(Shihab, Vol III 2005: 9-14).
Penjelasan di atas dapat dihubungkan dengan interaksi sosial di pesantren sebagai prinsip bersosial santri, perlu ditegaskan bahwa santri tidak hanya dibimbing guna memiliki kualitas ilmu agama yang tinggi, tetapi juga kesalihan individu terutama pengamalan tuntunan al-Qur’an dalam sosialnya. Apabila setiap santri memahami sekaligus mengamalkan prinsip tolong menolong yang termaktub dalam ayat, maka memungkinkan terbentuk iklim sosial pesantren yang baik dan ramah.
Integritas Kiai
Istilah kiai menjelaskan seorang yang ditokohkan masyarakat yang memiliki ilmu agama dan fungsi sosial di masyarakat tempat tinggalnya, selain itu terdapat orang yang mengunjunginya untuk mendapat penjelasan ajaran Islam dan mengirimkan anak-anaknya belajar ilmu agama. Adapun beberapa tolok ukur penokohan kiai di antaranya: pengetahuan agama, kesalehan moral spiritual, keturunan, dan jumlah murid yang dimiliki (Steenbrink, 1994: 109).
Sosok kiai memiliki kedudukan penting dalam menentukan arah gerak umat Islam dalam mengamalkan ajaran syariat secara baik terutama santi-santrinya. Kiai memiliki peranan penting dan strategis tidak terkecuali menjadi panutan santri. Hubungan kiai dan santri terwujud dalam ikatan yang dekat melalui kegiatan belajar mengajar seperti ngaji sorogan, bandongan atau wetonan, halaqoh, tahfidz, dan bahtsul masa’il (Faridah, 2019: 85).
Hubungan yang begitu dekat santri dan kiai menentukan karakter santri. Pemikiran, perilaku, dan tindakan yang dilakukan kiai menjadi contoh paling praktis dibandingkan pengetahuan dari proses belajar di madrasah. Namun demikian setidaknya dapat dipahami perilaku dan tindakan santri terbentuk dari dua aspek penting yang saling berkaitan yaitu mencontoh kiai baik dari perilaku dan pemikirannya dan ilmu pengetahuan yang ditransmisikan kiai.
Tidak dapat disangkal, mayoritas muslim Indonesia mengakui kontribusi besar pondok pesantren dalam melahirkan banyak generasi berilmu sebagian lain menjadi tokoh bangsa. Namun kenyataan saat ini berbeda dengan konteks masa lalu, tindak kekerasan di lingkungan pesantren, baik aturan tertulis maupun tidak yang menggunakan motif pendisiplinan anak mendapat pengkajian kembali secara ketat. Menurut hemat penulis pembentukan generasi bangsa yang memiliki integritas moral melalui pendidikan pesantren, bisa jadi terhambat karena adanya tindak kekerasan pada anak (santri) baik secara fisik maupun verbal.
Penulis: Imam Muhajir Dwi Putra
Editor: Alifah Marwa