Kekerasan seksual sering kali muncul di antara kita, korbannya bahkan bukan lagi hanya didominasi oleh perempuan. Laki-laki juga banyak menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kekerasan seksual ini bisa saja dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, laki-laki terhadap laki-laki, perempuan terhadap perempuan maupun perempuan terhadap laki-laki. Sayangnya kasus kekerasan seksual ini tercatat sudah banyak terjadi dengan lingkup yang sangat luas. Kampus menjadi instansi pendidikan yang paling banyak ditemukan kasus kekerasan seksual, baik itu kampus berbasis Islam maupun kampus umum. Kampus juga menempati urutan ketiga sebagai lokasi tindak kekerasan seksual menurut survei dari Kemendikbud Ristek.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasaan seksual, yang pertama adalah diskriminasi. Jika kita telusuri, kekerasan seksual merupakan buah dari diskriminasi gender atau ketidaksetaraan gender. Masyarakat berpandangan bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki si pemberi perintah dan perempuan si patuh. Padahal, seharusnya perempuan dan laki-laki mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Faktor kedua adalah relasi kekuasaan. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, maka orang tersebut akan lebih berani bertindak. Sedangkan korban yang berada dalam posisi lebih rendah akan merasa kurang percaya diri dan cenderung tidak berani menyampaikan keluhannya. Faktor yang terakhir adalah budaya kekerasan. Sayangnya, saat ini belum semua orang mempunyai pemikiran yang sama tentang apa itu kekerasan. Terkadang kekerasan menjadi hal yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik disadari atau tidak.
UIN Gusdur sebagai salah satu PTN berbasis agama juga tidak luput dari kasus kekerasan seksual tersebut. Unit Layanan Terpadu (ULT) Setara UIN K.H. Abdurrahman Wahid sendiri mencatat ada 12 pengaduan kekerasan seksual. Sembilan di antaranya merupakan pengaduan oleh perempuan sementara sisanya adalah laki-laki. Saat ini perempuan masih menjadi populasi korban tindak kekerasan seksual terbesar dibandingkan korban laki-laki. Meskipun begitu, Â korban laki-laki juga tercatat pernah melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Namun perspektif masyarakat masih menganggap perempuan adalah korban dan pelaku utamanya adalah laki-laki.
Sementara berdasarkan jenis aduan, kekerasan seksual ini dibagi menjad empat, yaitu kekerasan seksual karena toxic relationship (dua pengaduan), Kekerasan berbasis gender online (lima pengaduan), pelecehan seksual (tiga pengaduan), serta gangguan kesehatan dan psikologis dampak perceraian (satu pengaduan). Empat kasus di antaranya memerlukan layanan bantuan hukum. Empat kasus ini masuk pemeriksaan lanjut oleh majelis pemeriksa dan dilaporkan ke pimpinan. Putusan sidang Dewan Kehormatan Etik sudah ada, namun hingga saat ini salinan resminya belum disahkan ke ULT. Sementara itu tujuh kasus memerlukan layanan konseling dan satu kasus lainnya membutuhkan layanan kesehatan.
Teknis pengaduan kekerasan seksual di UIN Gusdur adalah pelapor/korban mendaftarkan laporannya ke bagian pendaftaran ULT dengan menunjukkan identitas, mengisi blanko dan menyertakan dokumen pendukung laporan. Pihak ULT nantinya akan menerima laporan, memeriksa kelengkapan laporan, membentuk majelis pemeriksa, mengundang pelapor/korban, saksi dan terlapor, kemudian menetapkan hari sidang, melakukan pemeriksaan sidang, pembuktian dan memberikan putusan yang berupa rekomendasi pimpinan. Kemudian Tim Majelis Pemeriksaan membuat kajian. Jika hasil kajian menyatakan terlapor terbukti maka Tim Majelis Pemeriksaan merekomendasikan ke rektor untuk dilaksanakannya sidang dewan etik.
Rektor UIN Pekalongan telah mengesahkan SK nomor 773 Tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus dan SK nomor 774 Tahun 2020 tentang Standar Operasional Prosedur Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus. SK ini menjadi pedoman dalam merubah lingkungan kampus menjadi zero toleran terhadap kekerasan seksual. Sk ini juga berfungsi sebagai pijakan dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di UIN Gusdur.
Korban dan pelaku kekerasan seksual di kampus bukan hanya perlu hukum, namun juga perlu edukasi. Penindakan terhadap pelaku memang sangat penting, namun di sisi lain membangun lingkungan yang aman dari kekerasan seksual juga tidak kalah penting. Edukasi merupakan tindakan preventif dan dinilai cukup ampuh untuk mencegah tindakan-tindakan negatif di lingkungan kampus. Hal ini dapat diwujudkan dengan beberapa strategi, di antaranya adalah afirmasi yang membutuhkan kebijakan dari kampus seperti dimunculkannya mata kuliah tertentu, kemudian integrasi yaitu dengan mengintegrasikan mata kuliah dengan nilai kesetaraan, dan dengan strategi penelitian.
Kasus kekerasan seksual di kampus banyak sekali terjadi, baik itu terlapor atau tidak, secara online maupun secara langsung. Kekerasan seksual diakibatkan dari diskriminasi, relasi kesetaraan dan budaya kekerasan. Korbannya bukan hanya berasal dari kaum perempuan, namun juga laki-laki. Selain hukum, edukasi penting dalam pencegahan tindak kekerasan seksual di kampus. Dengan adanya ULT Setara di UIN Gusdur sebagai unit pelayanan dan konseling yang terintegrasi ini dapat menjadi sarana untuk mengurangi jumlah tindak kekerasan seksual yang meledak di lingkungan kampus dan juga penanganan bagi korban serta pelaku.
Penulis: Alifatul Qaidah
Editor: Faiza Nadilah