lpmalmizan.com – Sembilan poin…
Delapan poin…
Yeayy….
Riuh ricuh sorak penonton menggema, bersahutan dengan suara pemberitahuan siapa yang menjadi pemenang perlombaan panahan kali ini.
Erika Maharani berhasil menjadi juara pertama dengan selisih tiga poin dari Alena Wardhani dalam ajang Bima Archery Championship.
Suasana arena semakin ramai saat beberapa pendukung turun tribun. Mereka mengucapkan berbagai ucapan selamat menunjukkan betapa bangganya mereka pada sang juara hari ini. Berbeda dengan seseorang yang sedang menunduk menatap busur kesayangannya. Ia menghela nafas, menguatkan diri, kemudian berlalu menjauh dari hiruk pikuk lautan manusia.
“Dicariin ternyata kamu di sini, nih kenapa medalinya ngga diambil sih?” Ucap Erika sambil mengenakan medali perak kepada sahabatnya, Alena.
“Makasih ya, tadi tiba-tiba kena panic attack aja,” jawab Alena bohong.
Selama menggeluti olahraga panahan kurang lebih lima tahun, ia selalu menjadi bayangan dari sang juara, Erika. Banyak event perlombaan sudah ia ikuti dan hasilnya akan tetap sama. Orang-orang kerap memuji persahabatan yang terjalin di antara mereka.
Namun di antara rentetan pujian itu, Alena kerap kali merasakan perasaan iri dan kecewa. Dalam benaknya, Alena selalu bertanya, mengapa harus ia yang menjadi juara kedua? Apakah selama ini usahanya kurang? Pertanyaan itu kerap kali menyita waktu tidurnya yang tak seberapa.
“Erika, Alena, ikut coach sebentar.” Pelatih memanggil, kemudian baik Alena maupun Erika mengikuti sang pelatih menuju ruang ganti.
“Kerja bagus untuk kalian berdua, memang kalian tidak pernah mengecewakan coach. Erika, pertahankan apa yang sudah kamu raih dan Alena, tingkatkan lagi kemampuanmu. Emosimu sering tak terkendali dan itu akan mengganggu konsentrasi, jadi atasi hal itu.”
“Baik coach, Siap coach” Ucap Alena dan Erika bersamaan.
“Besok kalian harus berlatih kembali untuk pertandingan pada minggu mendatang. Sekarang kalian bisa istirahat, coach pamit dulu,” pelatih menepuk pundak mereka berdua sebelum berlalu pergi.
Keesokan harinya, Alena dan Erika berlatih bersama. Keduanya nampak sangat serius, netranya menajam berfokus pada bidikan nomor sepuluh. Slap, ujung panah mereka sama-sama mendapat poin sempurna. Tiga percobaan, anak panah menancap dengan kuat di angka sepuluh. Pandangan Alena beralih ke arah jam dinding, pukul 14.10 WIB artinya dua puluh menit lagi kelasnya dimulai.
Alena buru-buru mengemasi barang bawaan, jarak tempat pelatihan ke kampusnya hanya lima menit jika menggunakan kendaraan bermotor. Alena menyempatkan diri untuk minum terlebih dahulu, naas botol air mineralnya jatuh tak sengaja terkena tas. Alena panik namun karena takut akan terlambat, ia membiarkan saja tumpahan itu. Itu hanya sedikit, aku akan kembali dan membersihkannya nanti-pikir Alena.
Kelas Alena sudah selesai lima belas menit yang lalu, kini dirinya sedang menunduk menatap sepasang sepatunya. Alena tak berani mengangkat pandangan untuk menatap pelatihnya. Tubuh Alena bergetar antara menahan tangis dan rasa penyesalan. Setelah kelasnya selesai, Alena mendapat telfon dari pelatih yang mengatakan ia harus secepatnya datang ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Alena merasa ada sesuatu yang akan menimpanya dan benar, ketika tungkainya sampai di depan ruangan UGD, terlihat pelatihnya yang duduk sambil menatap nanar pintu.
Alena menahan diri untuk tidak menangis, hingga kedua kakinya tak mampu lagi menopang badannya. Alena terduduk lesu pada dinginnya lantai rumah sakit. Ia menyesal menganggap remeh apa yang terjadi di arena latihan tadi hingga akhirnya kabar buruk datang bukan menimpanya secara langsung, melainkan menimpa Erika. Memberanikan diri untuk membuka ruang inap Erika, netranya langsung bertubrukan dengan netra Erika yang tampak memerah selepas menangis.
“Erika, aku…”
“Pergi!” Tidak sempat meneruskan kalimatnya, suara dingin Erika mengintrupsi. Tatapan mata Erika menusuk tajam relung hati Alena.
“Kamu sengaja kan Len? Kamu berniat buat aku cidera, iya? Kamu iri karena aku selalu jadi nomor satu dan kamu jadi nomor dua? Sebegitu inginnya kamu menang dari aku hingga pakai cara kotor kaya gini?”
Meskipun sedikit bergetar, suara Erika lantang terdengar di kedua telinga Alena. Alena menatap tak percaya pada sahabat yang selalu bersamanya selama lebih dari tujuh tahun itu. Alena tersenyum, kemudian mendekat ke arah ranjang Erika.
“Aku tidak habis pikir, ternyata serendah itu aku di mata kamu. Pertama, aku minta maaf. Meskipun aku yakin, kata maaf itu tak ada artinya buat kamu. Kedua, tidak pernah ada sedikitpun terlintas di benakku buat nyelakain kamu. Sungguh Ka, aku tidak sengaja dan tidak berpikir jauh kalau hal itu buat kamu sampai cidera seperti ini.”
Erika memalingkan wajahnya menatap jendela, sungguh ia tak paham dengan dirinya sendiri hingga mulutnya mengujar kata-kata yang melukai Alena.
“Pergi Len, good luck buat pertandingannya. Tentunya empat kata terakhir hanya diucapkan dalam hati Erika. Alena membalikkan badannya menuju pintu, Erika tahu bahwa Alena tengah menahan tangisnya. Hal itu terlihat dari bahu Alena yang bergetar dan sesekali isakan terdengar ketika Alena berjalan menjauh dari Erika.
Alena menatap pantulan dirinya di cermin, hari ini adalah hari yang ia nanti. Event perlombaan panahan Piala Gubernur yang diadakan hanya dua tahun sekali. Ini adalah kali pertama Alena mengikutinya. Berbeda dengan Erika yang berhasil menempati posisi juara kedua, maka dari itu tahun ini Erika bertekad untuk merebut tempat pertama. Mengingat hal itu Alena tersenyum pedih, sejak hari kejadian hubungan di antara keduanya merenggang dan hari itu adalah terakhir kali mereka bertatap muka.
Pertandingan berjalan lancar, sebentar lagi Alena bertanding untuk memperebutkan posisi ketiga karena pertandingan sebelumnya ia kalah. Alena mendapat panggilan telefon beberapa menit yang lalu dari ibunya yang berada di Semarang, memberi kabar bahwa adiknya masuk rumah sakit dan akan dioperasi karena penyakit lambungnya semakin kronis. Mendapat kabar itu, Alena sempat drop, beruntung pelatihnya langsung memberi dukungan sehingga ia bisa mengatasi keadaan.
Kedua tangan Alena berkeringat dingin, ia khawatir karena saat ini poinnya tertinggal dari lawan. Tersisa tiga kesempatan agar Alena dapat memenangkan pertandingan kali ini. Alena bersiap untuk memanah, “Dasar licik, seharusnya ia malu telah mencelakai Erika supaya menang, tapi masuk final saja tidak sampai.” Perkataan salah satu teman di tempat pelatihannya itu tanpa permisi datang mengganggu Alena, hingga ia tak sadar anak panahnya telah menancap di angka tujuh. Di antara lautan manusia di tribun, netra Alena tak sengaja menatap eksistensi seseorang. S-e-m-a-n-g-a-t k-a-m-u b-i-s-a itulah kata yang berhasil ia tangkap dari gerak bibir sahabatnya. Menarik nafas mencoba untuk tenang, Alena berhasil menangkap energi positif yang Erika berikan hingga ia bisa fokus kembali dengan dua kesempatan yang dimiliki. Pada akhirnya, Alena berhasil mendapat posisi ketiga.
“Kalau kamu keinget sama ucapan almarhum bapakmu itu jangan dipikirin sampai dijadiin beban Nok.” Ucap Susi, Ibu Alena. Keesokkan hari setelah pertandingan selesai, Alena menghubungi Ibunya lewat sambungan video call. Alena tidak bermaksud untuk membicarakan keluh kesahnya, namun sebagai ibu tentunya Susi paham bahwa anak sulungnya tengah kesulitan.
Dulu, Alena dan ayahnya sempat bersitegang ketika Alena memutuskan untuk melanjutkan olahraga panahan di samping aktivitas perkuliahan. Ayahnya mengharuskan Alena untuk memilih salah satu karena menurutnya sebagai seorang perempuan tidak perlu berandai terlalu tinggi, jika hanya akan berstatus sebagai istri yang melayani rumah tangganya nanti.
“Tapi tetap saja Bu, Alen harus bisa bantu. Sebagai anak pertama, aku punya tanggung jawab untuk gantiin peran bapak. Aku sudah menimbang ini dari lama dan keputusanku untuk berhenti panahan sudah bulat. Lagipula, Alena paham kalau panahan bukan lagi hal yang ingin aku perjuangkan Bu.” Terdengar helaan nafas dari sang ibu.
Alena tahu ini adalah salah satu keputusan terberat yang pernah ia ambil. Tapi mempertimbangkan keadaan ekonomi keluarga yang membutuhkan biaya operasi untuk sang adik, Alena tahu inilah saatnya untuk membantu.
“Aku ketrima kerja Bu dan Alhamdulillah bisa menyesuaikan jadwal kuliah. Jadi ibu ndak perlu kirim uang bulanan nantinya. Ibu tahu kan dulu aku cuma ikut-ikutan Erika, walaupun awalnya Alena menikmatinya. Tapi saat ini, euforia itu ndak ada lagi Bu, toh lebih baik waktunya diisi buat kerja bisa dapet uang.”
“Ya sudah kalau itu keputusanmu, yang tahu kamu sendiri. Ibu jadi orang tua cuma bisa dukung, maaf ya nok kamu harus ngalamin ini.”
“Jangan bilang seperti itu, Alena sangat beruntung punya ibu yang tangguh. Sudah ya Bu, nanti hari Jumat aku pulang ke Semarang mumpung ndak ada jam kuliah sampai hari Minggu. Assalamu’alaikum.” Sambungan terputus hingga terdengar ketukan pintu kamar Alena. Pelukan hangat langsung ia terima ketika membuka pintu diiringi suara tangis milik Erika.
“Kenapa kamu mutusin berhenti Len? Aku juga minta maaf waktu itu asal nuduh kamu.”
“Iya aku juga minta maaf karena ceroboh waktu itu, walaupun sempat tidak sangka dengan perkataanmu. Tapi itu wajar, kamu pasti kecewa karena gagal ikut bertanding. Untuk masalah aku berhenti panahan, kamu pasti sudah mendengarnya tadi.”
Alena menepuk-nepuk pelan punggung Erika untuk menenangkannya. Alena menjelaskan alasan ia memutuskan berhenti panahan. Meski sempat tak menerima, Erika kini mencoba memahami kondisi Alena karena ia tahu menyerah pada impian juga membutuhkan keberanian yang besar. Erika percaya bahwa Alena paham betul apa yang harus dilakukannya sekarang.
Alena tahu, saat ini dua tebing permasalahan berada di antara dirinya, menghimpit hingga susah rasanya untuk melanjutkan apa yang dulu ia harapkan. Kini perjalanan harus ia tempuh dengan menyusuri deretan tebing, entah seperti apa ujung jalannya. Lautan luas yang indah atau gunung yang menjulang tinggi. Fokusnya saat ini adalah berjalan searah tanpa memandang puncak tebing.
“Kalau begitu, aku sebagai sahabat cuma bisa dukung kamu. Aku harap kita bisa jadi rival lagi di arena.”
Editor : Erna Hidayah