lpmalmizan.com – Napas berat berhembus sesaat setelah jemari lentik itu menekan tombol send pada salah satu aplikasi. Aplikasi yang menjadi ruang bagi para manusia bumi yang tak punya tempat untuk disinggahi. Selang beberapa detik, malam sunyi itu menjadi ramai, ditemani denting deretan notif masuk. Notif yang dipenuhi dengan berbagai kalimat kagum atas komentarnya di salah satu akun yang memposting cerita hidupnya-yang sayangnya begitu mengenaskan.
Senyuman getir tercipta dari bibir mungil berwarna merah muda itu saat membaca salah satu balasan yang ditujukan untuknya. Katanya, “Kamu keren banget, I hope to be like you someday.” Sabita Derana, begitulah nama yang tertulis di pojok kiri akunnya, dengan jumlah pengikut 5.680 orang menunjukkan betapa aktifnya Sabita. Tak jarang, para pengikutnya membagi ceritanya secara pribadi. Sabita Derana di mata orang-orang adalah perempuan tangguh, pintar, bijak, dan baik hati, hampir sempurna bukan?
Dieratkan cardigan rajut itu agar semakin menutupi tubuh dinginnya, sorot mata gadis itu mulai menutup perlahan, dia membiarkan angin dari jendela kamar menerobos masuk dan bebas menyapa kulit putihnya. Pikirannya melalang buana, semuanya palsu. Mereka keliru.
Sabita terlalu pintar menciptakan topeng yang begitu tebal-sampai tubuh ringkih yang hampir mati itu tak ada yang mengetahui. Korban bullying, diselingkuhi, dibenci sang ayah karena dianggap menjadi penyebab mamanya mati, hingga dilecehkan oleh seorang lelaki yang ia percayai, yaitu sahabatnya sendiri di bangku SMA. Ditambah selama 2,5 tahun belakangan, Sabita divonis mengidap gangguan mental.
Banyak sekali manusia yang beranggapan bahwa seiring waktu kita akan dibentuk menjadi semakin kuat, semakin hebat. Bak balita yang hanya bisa merangkak, lalu akhirnya dapat berlari. Tetapi dunianya seperti terbalik, Sabita yang tadinya dapat berjalan ringan tanpa beban, kini berdiri pun rasanya ia tak mampu. Raganya hanya terisi seonggok nyawa, paras ayunya terlihat lelah menyembunyikan segala resah dan lelahnya.
Bulir bening mengalir di pipi putih itu, saat menyadari bahwa rumahnya tidak sesempurna seperti yang ia bangun di hadapan orang-orang. Kosong. Sabita kesepian, gadis 19 tahun itu butuh pelukan. Dibiarkan raungan tangisnya mengiringi denting notif yang masih terus berdatangan. Menciptakan melodi yang terdengar menyesakkan.
Tangisnya keluar semakin deras saat bunyi knop pintu terdengar. Bunyi sepatu pantofel yang melangkah dengan tergesa memenuhi kamar itu, disambut dengan harum khas parfum laki-laki yang menyapa indera penciumannya saat sang empu mendekap tubuhnya. Raharka, kakak laki-laki satu-satunya. Alasannya masih tetap ada di kamar ini sampai sekarang. Manik hitam milik Raharka sempat melirik layar laptop yang masih setia menyala, diusapnya lembut kepala adik kesayangannya.
“Gapapa. Gapapa buat nangis sepuasnya kalau emang kamu mau nangis. Pasti capek banget, kan? Abang di sini. Sabita nggak sendirian.”
Raharka, setidaknya hanya dia manusia yang paling Sabita percaya untuk saat ini. Satu-satunya manusia yang tidak menuntut Sabita untuk jadi apa-apa. Pernah ia bertanya saat umurnya menginjak 17 tahun, “Harapan Abang untuk Sabita di ulang tahun kali ini apa?”
“Abang nggak mau beratin pundak Sabita dengan harapan, cukup jadi Sabita yang apa adanya, cukup jadi Sabita adeknya Abang,” jawabnya yang membuat Sabita termangu kala itu.
Langkah Sabita terlalu kecil, membuat orang-orang pergi meninggalkannya. Namun alih-alih untuk berjalan lebih dulu, Raharka memilih menautkan jari jemari mereka. Menemani Sabita tanpa keluh, padahal dahinya jelas sudah penuh peluh. Beban hidup Raharka juga sama beratnya, tetapi hidupnya tidak akan begitu berat selama dia bisa memastikan ada Sabita di sisinya.
“Abang, Sabita lemah. Sabita cengeng, nggak bersyukur, maaf…” ucapnya tersendat-sendat.
“Nggak. Sabita masih manusia, buat ngerasain semua hal nggak mengenakkan itu bukan sebuah kesalahan. Kamu tumbuh dengan dibekali perasaan. Sabita juga tahu, nggak semua perasaan itu menyenangkan, ada beberapa yang memang begitu menyakitkan. Kalau perasaan menyenangkan aja boleh ditunjukkan, kenapa yang menyakitkan harus disembunyikan?” Kata Raharka dengan tangan yang masih setia mengusap surai hitam Sabita.
Benar. Menjadi apa adanya bukan sebuah kesalahan. Namun Sabita terlalu takut melakukannya, takut bentuk diri yang sebenarnya membuat orang-orang pergi.
“Sabita pembohong, Bang. Harusnya Sabita kuat sama seperti apa yang orang-orang lihat.”
Raharka ikut memejamkan mata, mengeratkan pelukan keduanya, berharap luka di hati Sabita dapat terbagi kepadanya. Hidup terlalu kejam untuk Sabita Derana, tumbuh tanpa sosok ibu dan figur seorang ayah, memaksa Sabita harus menjalani semuanya sendirian.
Sabita tahu rasanya ramai tapi sepi, ada tapi dianggap tak kasat mata, luka menghampiri bertubi-tubi tapi tak ada seorangpun yang perduli. Maka dari itu, Sabita berusaha menjadi dinding bagi orang-orang, sampai tak sadar bahwa tubuhnya hampir ambruk karena tidak punya tumpuan.
Semuanya tidak begitu berat lagi saat Raharka datang, lelaki yang terpaut usia 4 tahun darinya. Kejutannya, Raharka sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga dengan Sabita. Dia merupakan seorang anak yang diadopsi oleh kedua orangtuanya, sebelum sosok malaikat cantik itu lahir ke dunia. Meskipun begitu, Raharka berhasil membangun figur seorang kakak laki-laki yang baik.
Mengurai pelukan keduanya, netra hitamnya beradu dengan netra coklat milik Sabita. Begitu cantik, begitu tulus, tapi mata indah itu juga begitu menyesakkan untuk ditatap, ada beribu kebenaran di sana.
“Menjadi kuat bukan berarti nggak boleh nangis, nggak boleh ngeluh, nggak boleh sedih. Dengan Sabita masih di hadapan abang sekarang, udah nunjukin Sabita hebat. Hebat banget, keren banget. Sabita sekarang cuma lagi istirahat sebentar dari hal-hal yang udah ngebebanin pikiran Sabita dan hal itu nggak langsung ngebuat Sabita jadi lemah. Semua hal di bumi ini, ada jedanya Sabita. Layaknya matahari, dia nggak terus-menerus ada, kan? Tapi sinarnya tetap indah setiap kali muncul, hadirnya tetap berharga buat banyak orang.”
Sabita termangu, batu yang menghantam dadanya tadi perlahan tersingkir. Raharka tersenyum lembut, meloloskan kalimat yang disambut peluk erat Sabita setelahnya.
“Sabita tetap indah dan berharga dengan apa adanya. Terima kasih, karena tetap mau hidup di tempat yang sebenarnya kamu sendiri sudah sangat enggan. Sabita keren, hebat, cantik walaupun dengan air mata menghiasi wajah kamu.”
“Sabita cinta sama diri sendiri?” tanya Raharka.
Sabita mengangguk. Jelas. Karena hanya Raharka yang tidak pernah pergi walau sepahit apapun keadaan yang ia lewati, sejahat apapun perlakuan Sabita, sesering apapun Sabita membuatnya lelah.
“I love the same person, Sabita.”
Walau bukan adik kandungnya, Raharka akan mencintai Sabita selayaknya kakak mencintai adiknya. Menjaga gadis cantik itu sampai akhir hayatnya.
Penulis : Faiza Nadilah
Editor : Erna Hidayah