lpmalmizan – Banjir merupakan salah satu bencana alam yang seharusnya bisa diprediksi dan diantisipasi kehadirannya. Namun tidak dengan banjir yang melanda daerah pesisir Pulau Jawa.
Banjir tidak hanya terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi di musim penghujan, namun pada musim kemarau banjir juga bisa terjadi karena naiknya permukaan air laut ketika laut sedang pasang. Banjir ini akrab disebut dengan banjir rob, yaitu bencana alam yang dianggap lumrah namun lambat laun kian mengkhawatirkan apabila tidak segera diatasi.
Salah satu daerah pesisir Pulau Jawa yang sering terjadi banjir rob adalah Kota Pekalongan, kota dengan gelar “World’s City of Batik”. Bisa dilihat bahwa akhir-akhir ini banjir di Kota Pekalongan kembali menjadi sorotan media massa lokal hingga nasional.
Banjir yang terjadi tak lain disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di awal tahun 2022 hingga naiknya permukaan air laut dikarenakan pasang laut yang melebihi batas tanggul pantai.
Memang tak sedikit prediksi bahwa Kota Pekalongan kelak akan terendam air akibat kenaikan muka laut yang melebihi dataran pesisirnya. Studi Departemen Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan penemuannya pada 2018 silam bahwa bahaya eksploitasi tanah Pekalongan terlambat disadari.
Hal tersebut mungkin berkaitan dengan dugaan bahwa pantai utara jawa dikenal dengan pondasi tanah lunak, dimana ketika lapisan ini membentang disitu pula tanah perlahan akan tenggelam.
“Bahaya ekploitasi tanah yang terjadi di Pekalongan terlambat disadari, sebagian wilayah kota amblas sedalam 10-34 cm pertahun,” ungkap Heri Andreas selaku peneliti Geodesi ITB.
Anita Kusumorini selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Pekalongan mengatakan bahwa secara alamiah struktur tanah di daerah pesisir pantura adalah tanah endapan muda.
Tanah endapan muda tersebut secara proses alami akan mengalami pemampatan seiring berjalannya waktu dengan berkurangnya kadar air di dalam tanah. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan banjir yang terjadi di Kota Pekalongan disebabkan oleh proses alam tersebut.
Lalu apabila banjir yang terjadi dikarenakan oleh proses alamiah, mengapa tidak ada antisipasi dari pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut?
Sepertinya masalah berpangkal dengan isu sanitasi dan air bersih warganya yang mencoba diatasi dengan menyedot air tanah secara berlebihan (eksploitasi). Di tengah lonjakan populasi penduduk yang cepat, pemerintah Kota Pekalongan tetap mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Padahal penggunaan air dengan jumlah yang banyak untuk kebutuhan dasar dan industri seharusnya bisa diambil dari aliran sungai yang kemudian dialirkan ke berbagai pelosok. Sehingga pemanfaatan air tanah tidak berlebihan.
Namun pada kenyataannya, pemanfaatan aliran sungai yang ada di Pekalongan justru sebaliknya. Pemanfaaatan sungai malah digunakan sebagai aliran pembuangan limbah kotor industri hingga limbah rumah tangga. Sehingga air sungai yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mendorong industrialisasi dan membantu kebutuhan warganya, kini sudah berubah fungsi
Hal tersebut menurut saya menjadi masalah yang harusnya tidak dianggap remeh dan sepele. Perlu diingat bahwa ketika eksploitasi air tanah tidak dibarengi dengan pengelolaan air yang baik, maka lapisan-lapisan yang dapat menampung dan mengalirkan air dalam tanah secara alami di perut bumi (akuifer) perlahan akan mengering dan memadat. Akibatnya permukaan tanah pun perlahan-lahan akan menurun secara cepat dan tidak terkendali.
Sepertinya pemerintah pusat bersama pemerintah daerah Pekalongan harus terus mengkaji ulang mengenai kebijakan-kebijakan dalam mengatasi banjir yang terjadi tiap tahun ini. Dan salah satu kebijakan yang menyita perhatian publik adalah pembangunan tanggul yang terbentang sepanjang kurang lebih 7 km.
Tanggul tersebut hanya memberikan tambahan waktu bagi pemerintah untuk menyediakan pengganti sumber air tanah, yang diduga sebagai pemicu utama dari penurunan muka tanah yang terlalu cepat dari yang seharusnya. Hingga saat itu terjadi, warga di pesisir tetap akan mengandalkan air tanah.
Menurut saya tanggul tersebut hanya merupakan sebuah benteng raksasa yang dibangun agar pemerintah bisa mengulur waktu lebih lama, untuk berpikir kembali bagaimana dan apa solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini.
Karena secara logika apabila permukaan air laut tiap tahun mengalami grafik di atas permukaan tanah yang terus mengalami kenaikan, keefektifan tanggul tersebut akan dipertanyakan kembali dan apakah akan menjamin keamanan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar tanggul?
Justru mungkin menjadi wilayah yang berbahaya untuk ditinggali karena kemungkinan dari resiko yang akan dihadapi apabila tanggul tersebut jebol atau mengalami kebocoran akan berakibat fatal dan kerugian yang didapat akan cukup besar.
Memang untuk menghentikan pengambilan air yang sudah ada, jika belum ada subtitusi penggantinya hal tersebut akan sangat sulit. Dan sepertinya di Pekalongan sendiri masih belum mampu, dikarenakan secara infrastruktur dan teknologi akan diperlukan anggaran yang sangat besar.
Mengenai tanggung jawab dan wewenang penuh Pemerintah Kota dan Pemerintah Daerah dalam penanggulangan bencana yang tercantum jelas dalam UU No. 24 Tahun 2007, tetap saja seharusnya kesadaran diri dari masyarakat warga Pekalongan dalam menghadapi permasalahan banjir ini juga sangat dibutuhkan.
Penulis : Muhammad Hammam
Editor : Erna Hidayah