lpmalmizan.com – Konflik penambangan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo mungkin bukan suatu hal yang tabu bagi para pembaca di sini. Sudah bertahun-tahun, warga menjaga tanah mereka, melestarikannya dari penambangan batuan andesit yang direncanakan pemerintah.
Di tulisan kali ini mungkin saya tidak akan menjelaskan terlalu dalam mengenai konflik yang terjadi di sana. Saya akan sedikit menjelaskan sesuatu yang saya rasakan dan saya temukan ketika berada di desa tersebut.
Perjalanan di mulai dari Kota Yogyakarta yang menempuh kurang lebih tiga jam perjalanan. Saya bersama rombongan mendatangi desa tersebut dan ingin bersapa dengan solidaritas yang masih menetap dan menjaga desa tersebut. Ketika memasuki desa ini, saya diperlihatkan dengan hamparan hijau, pepohonan yang menjulang tinggi, dan sapaan ramah dari para warga Wadas.
Sedikit banyak saya mendengar cerita solidaritas yang sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan bergantian menjaga desa ini. Mereka semua berkumpul di sana dengan tujuan yang sama yaitu menjaga surga yang turun ke Wadas.
Mungkin tidak banyak dari kalian yang tahu tentang desa ini. Desa yang memiliki banyak hasil alam seperti bambu, durian, kemukus, vanilli dan juga kopi wadas. Semua hasil pertanian ini akan digantikan dengan kerukan, pengeboran dan pengeboman tanah untuk mengambil batuan andesit yang ada di dalam desa ini.
Desa Wadas sendiri dicantumkan sebagai lokasi bakal penambangan quarry untuk material pembangunan Bendungan Bener yang digadang-gadang menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara. Ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 tahun 2021 tentang pembaruan atas penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener.
Sebenarnya sebelum adanya SK Gubernur Jawa Tengah tahun 2021, Wadas sudah ditetapkan menjadi lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Penetapan ini tertuang dalam SK Gubernur Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener.
Tetapi kedua surat keputusan ini bertolak belakang dengan Pasal 61 ayat 2 huruf c Peraturan daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Purworejo Tahun 2011-2031 yang menyatakan bahwa Wadas tidak memiliki batuan andesit.
Di sisi lain Wadas juga ditetapkan sebagai daerah rawan bencana tanah longsor, yang akhirnya memutuskan para warganya menanam pepohonan bambu, jati dan kayu keras lainnya. Setelah hal ini dilakukan, Wadas tidak pernah mengalami bencana tanah longsor besar seperti tahun 1988. Tetapi, jika penambangan ini tetap dilakukan maka bencana longsor di Desa Wadas dapat terulang lagi seperti dahulu.
Banyaknya dampak kerusakan alam yang ditimbulkan membuat warga menolak dengan keras adanya penambangan. Penolakan warga belum ditanggapi postif oleh pemerintah.
Akan tetapi, pemerintah dibantu aparat kepolisian tetap datang ke desa tersebut, merusak, bahkan melakukan teror pada warga beberapa hari sebelum kedatangan saya dan rombongan ke sana.
“Kemarin banyak polisi di sana, ngerusak tanaman dan diinjak-injak semua. Saya sendiri juga takut lihatnya,” ungkap mbah Uti sambil menganyam besek. Semua kebutuhan warga dan penghasilannya berasal dari hasil pertanian. Jika proyek penambangan ini terjadi maka secara tidak langsung warga diusir dari tempat tinggalnya.
Kasus Wadas ini banyak mengundang solidaritas yang membantu warga menjaga Desa Wadas. Mereka semua tampak terorganisir dan merasakan semua keresahan warga. Mereka berkumpul bukan untuk misi yang sepele, karna menjaga alam dari kerusakan bukan hal yang bisa ditoleransi.
Surat demi surat digelontarkan pada gubernur Jawa Tengah menuntut sikapnya terhadap Wadas. Tetapi sampai saat tulisan ini dibuat, saya belum mendengar sikap dari sang gubernur.
Sebaliknya, dari segi pemerintahan pastinya juga punya tujuan dari proyek ini. Saya masih sangat yakin dengan keuntungan yang sangat besar diperoleh dari proyek ini. Pemerintah mengebor tanah Wadas karna di dalamnya terdapat sumber dari pembangunan Bendungan Bener.
Pemerintah pastinya juga punya rencana yang matang, saking matangnya sampai bilang kalau tanah di Desa Wadas sudah tandus dan sumber airnya yang kurang. Analisis dampak lingkungan (Amdal) dari proyek ini juga sudah ditetapkan, tapi warga desa tidak dilibatkan dalam prosesnya. Dari beberapa hal yang sudah dipaparkan tadi, sangat pantas apabila warga menolak penambangan ini.
Dikutip dari website wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi), bahwa penambangan quarry yang akan dilakukan di Wadas merupakan penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa).
Dengan demikian, warga dipaksa hidup berdampingan dengan kerusakan ekosistem dan kehilangan pekerjaan. Pada akhirnya, memaksa warga untuk pergi dari surga yang ada di desanya. Secara tidak langsung berarti warga diusir dan dirampas semua hak hidupnya.
Walhi juga menyatakan sikapnya yang dijabarkan melalui empat poin. Empat poin tersebut yaitu menuntut pembangunan proyek, pencabutan ijin lokasi, pembebasan warga dan juga menuntut pihak Kapolres Purworejo yang melakukan kekerasan pada warga Wadas.
Konflik yang terjadi di Wadas, membuat kita sadar akan pentingnya menjaga lingkungan di sekitar. Walau lingkungan sekitar kita tidak seindah dan sekaya surga Wadas tetapi keberadaannya pasti sangat berguna bagi generasi selanjutnya.
Saya hanya bisa mengirimkan doa dan semangat perjuangan untuk warga dan para solidaritas di Wadas. Saya juga bisa merasakan bagaimana atmosfer perjuangan diantara kawan-kawan semua saat saya berada di sana.
Saya sangat berharap bahwa pemerintah dapat membuka matanya dan mulai berpikir terhadap dampak negatif dari penambangan Wadas. Walau dipikiran mereka (red-pemerintah) hanya soal keuntungan dan duit saja, tapi setidaknya masih ada jiwa manusia di dalamnya.
Pada akhirnya, saya masih melihat bahwa semua warga Wadas menolak penambangan ini. Semua poster dan mural menghiasi jalanan Wadas dan perjuangan warga Wadas akan selalu berkobar sampai rencana penambangan ini dibatalkan.
Penulis : Salsabila Septi Ariyani
Editor : Aisa Khumairoh
Bagaimana dengan pekalongan, kali butek weteng wareg? Rindu daratan? Pasar borobudur? Hemmmm
#savewadas