lpmalmizan–Ruang publik merupakan tempat perjumpaan dan titik temu antara manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda. Fungsi dari ruang publik adalah wadah berkumpulnya segala aktivitas baik individu maupun kelompok. Dimana pemanfaatan ruang publik dapat terjadi akibat adanya interaksi sosial. Interaksi sosial dapat terbentuk apabila terjalin hubungan yang baik antar manusia. Sayangnya, semakin canggih teknologi mengakibatkan sikap egoisme serta individualisme.
Sebuah ilustrasi yang dicetuskan oleh Presiden Ke-4 Negara Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid atau masyarakat lebih mengenalnya dengan Gus Dur. Gus Dur mengumpamakan negara ini bagaikan rumah dengan di dalamnya terdapat beberapa ruangan dengan banyaknya kamar, ruang tamu, serta halaman rumah.
Kamar perumpamaan dari sebuah ruang privat yang dapat digunakan oleh penghuni rumah. Setiap penghuni memiliki kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Dalam realitanya kamar merupakan simbolisasi dari agama, suku, etnis, dan yang lainnya. Akan tetapi, kebebasan semakin sempit ketika berada di ruang tamu dan halaman rumah. Sebab kedua ruang ini merupakan representasi dari ruang publik. Tempat perjumpaan bermacam latar belakang dari kamar-kamar yang berbeda. Oleh karena itu, membangun sikap toleransi merupakan faktor penting dalam membina hubungan di ruang publik.
Keterkaitan Ruang Publik dengan Bentuk Pemerintahan Republik
Apa yang membuat ruang publik memiliki peran penting dalam penerapan sikap toleransi di negeri ini? Pertama, gagasan pendiri bangsa ketika memutuskan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa tidak berbentuk negara kerajaan? Sebut saja seperti negara Belanda.
Kata ‘republik’ yang melekat di negara Indonesia bukan hanya sekadar pemanis saja. Pemerintahan republik menganut sistem demokrasi, dimana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Demokrasi merupakan sebuah hadiah atau penghargaan terhadap setiap pengambilan keputusan, persamaan di depan umum, dan juga hak-hak asasi manusia.
Lantas apa hubungannya dengan sistem pemerintahan di Indonesia? selama kurang lebih 350 tahun Negara Belanda menjajah Indonesia. Bisa dibayangkan bukan? Betapa menderita dan tertindasnya rakyat pada saat itu. Saat dimana rakyat tidak mendapatkan kedaulatan sebagai hak asasi mereka.
Dari sini sudah ditemukan dua alasan, mengapa pendiri bangsa memilih menjadi negara republik. Pertama, komitmen terhadap demokrasi. Dalam pelaksanaan untuk mengelola kekuasaan agar mengabdi kepada kepentingan bersama (publik). Kedua, sebagai penolakan terhadap sistem monarki yang menempatkan kekuasaan dipegang oleh raja dan diwariskan secara turun-temurun.
Bercermin lagi dari gagasan sumpah pemuda, dimana mengusung tiga kesatuan. Kesatuan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang sama. Sempat terlintas pertanyaan tidak, mengapa tidak menyebutkan satu kesatuan agama yang sama? Atau contoh lain, mengapa terjadi perubahan bunyi pada Piagam Jakarta sila pertama “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hal ini jelas menunjukan bahwa pendiri bangsa telah merancang supaya negara ini bersifat sekular.
Sama halnya dengan yang disampaikan Robert Hefner, profesor antropologi dari Boston University, dalam pidato kunci pembukaan International Conference on Indigenous Religion pada 1 Juli 2019 di University Club UGM yang menyatakan bahwa hak kewargaan masyarakat kepercayaan dan agama leluhur yang diperjuangkan merupakan sebuah realisasi dari cita-cita Pancasila dan pendiri Indonesia.
Sudahkah seluruh rakyat Indonesia mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya?
Dalam realitanya, banyak fenomena dimana kaum minoritas masih mengalami diskriminasi. Ahmad Najib Burhani, seorang intelektual muda Muhammadiyah menulis Buku “Dilema Minoritas di Indonesia” dimana isi buku tersebut menjelaskan bahwa pembahasan tentang dilema minoritas ini masih sangat signifikan dalam konteks kemerdekaan Republik Indonesia. Karena, kendatipun sudah 76 tahun merdeka, masih ada rakyat Indonesia yang belum menikmati kemerdekaannya. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan mengalami diskriminasi dan intoleransi. Mereka diantaranya ialah beberapa kelompok minoritas, seperti penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ahmadiyah, dan Syiah.
Sebut saja mereka pemeluk penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah organisasi yang berada di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Saat ini dalam kondisi yang lebih baik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2017 tentang inkonstitusonalitas pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di kartu identitas. Capaian ini merupakan hasil dari satu dekade lebih perjuangan pemeluk penghayat dan agama leluhur. Karena sebelumnya, pemeluk penghayat tidak mendapatkan haknya untuk mencantumkan keyakinan di kartu identitas.
Dari sini kita bisa melihat, apakah toleransi di negara ini benar adanya? Atau hanya sebuah diksi kata yang tidak ada implementasinya? Padahal sudah tercantum jelas pada Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dimana siapapun memiliki hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Selanjutnya kita beralih dalam ranah politik. Seperti sudah menjadi stigma masyarakat, bahwa seorang pemimpin harus seorang muslim. Lihat saja kasus-kasus pemilu sebelumnya. Sudah banyak tanggapan yang menilai “Gimana nasib negaramu kalau dipimpin oleh orang kafir?’ Dengan stigma inilah, masyarakat semakin tabu dengan pentingnya nilai demokrasi dan toleransi.
Hal ini pula yang kemudian menjadi strategi dalam ruang politik. Presiden Jokowi misalnya, mengapa memilih wakil Ma’ruf Amin? Beliau berasal dari organisasi masyarakat yang besar. Dengan jumlah anggota organisasi yang banyak, Jokowi dapat memanfaatkan hak suara dari mereka ketika pemilihan.
Terjadi ketimpangan bukan? Lalu apa makna dari toleransi itu sebenarnya? Jika ruang publik masih mendiskriminasikan satu golongan dan memberikan ruang yang begitu luas pada golongan yang lain. Oleh karena itu, sebagai warga Republik Indonesia, sudah seharusnya tidak memberi tempat kepada praktik intoleransi yang mengoyak persaudaraan kita sebagai warga negara. Seharusnya dilakukan sebagai warga negara yang baik ialah mengeratkan lagi apa makna dari Bhinneka Tunggal Ika.
Penulis : Rizky Rosyida
Editor : Aisa Khumairoh