“Kopi hitam kalih mbah!” Kataku sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.
Si penjaga warung mengangguk dan bergegas mengambil cangkir dan lepek, kemudian meracik kopi dan gula.
“Lama ndak kesini, Nak Ade?” Tanya Mbah Harjo usai menyerahkan kopi yang asapnya mengepul dari cangkir.
“Iya mbah, lagi banyak kerjaan,” jawabku.
Warung sederhana dari gedek bambu ini adalah langgananku. Letaknya paling bawah dari arah masuk ke agrowisata. Pemiliknya adalah Mbah Harjo. Sudah lama ia membuka warung di sini. Usianya mungkin sudah 75-an, terbaca dari raut mukanya yang sudah berkeriput, taburan flek di sekitar pipinya, kedua telinga yang melebar, suara yang sudah tak lagi tegas.
Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Tapi jalannya agak pincang, orang-orang sekitar tak ada yang tahu asal-usulnya. Ia seperti menyembunyikan jati dirinya.
Kali ini aku mengajak Rudi, teman kerjaku, melepas penat, mengisi paru-paru dengan oksigen segar. Berwisata adalah sebagian dari ritualku mengusir segala beban yang memeluk dan membelenggu kepala. Malam semakin larut, satu persatu pengunjung meninggalkan warung ini. Tinggal aku dan Rudi. Mereka pindah ke atas, ke dekat kafe yang ramai, menikmati sinar rembulan.
“Tumben pakai baju koko, baru ya Mbah?”
Mbah Harjo terkekeh mendengar pertanyaanku. “Ndak Nak Ade, baju ini memang jarang sekali Mbah pakai. Ini peninggalan dari orang yang sangat Mbah hormati”
“Ooh begitu Mbah.”
“O iya, rumah Nak Ade dekat pantai tho?”
“Betul Mbah. Kenapa memangnya?”
“Ndak, ndak papa. Apa masih banyak preman di sana?”
“Kayaknya sudah nggak ada mbah.”
“Ya syukur kalo mereka sudah insaf. Ndak ada gunanya pekerjaan seperti itu. Sia-sia. Dulu Mbah ini juga kenal dengan salah satu preman di situ. Preman yang paling ditakuti dan paling kejam. Bahkan dulu peluru ndak mampu menembus badannya. Orang-orang situ memanggilnya Rahmad. Tapi pada akhirnya setiap orang bakal ngunduh wohing pakarti, menerima akibat dari perbuatannya. Ndak ada yang bisa lepas dari itu.”
“Maksudnya orang itu sudah mati Mbah?”
“Bukan Nak Ade, orang itu masih hidup. Tapi hidupnya dihantui oleh rasa bersalah. Sebab, banyak nyawa yang telah berakhir di tangannya. Sekarang dia sedang menunggu akhir hayatnya dengan selalu memohon ampun kepada Tuhan. Dia juga merasa beruntung, sebab ada orang yang telah mengantarkannya kepada cahaya petunjuk. Kembali ke jalan yang lurus. Orang itu juga dianggapnya sebagai sahabat sekaligus guru.”
“Kira-kira kisah hidupnya seperti apa Mbah? Dan siapa yang berhasil merubahnya?”
“Namanya K. H Musthofa Ibrahim. Beliau adalah salah satu pemilik pondok pesantren, orang yang dihormati dan bijaksana. Perawakannya tinggi, berjenggot, dan senantiasa memakai sandal jepit sebagai alasnya. Setiap orang yang bertemu beliau pasti dibantu dalam hal apapun termasuk Rahmad.”
****
Rahmad, preman kejam yang selalu menindas orang-orang di sekitarnya. Bunyi langkah kakinya membuat gemetar orang yang mendengarnya. Badan kekar, kulit sawo matang, rantai yang melingkar di lehernya, celana robek, baju lengan pendek, dan sepatu bootsnya menambah kesangaran. Belum lagi pisau yang selalu ia bawa sebagai senjata apabila ada orang yang tak mau memberikan uang. Bukan hanya preman pasar sebutannya, ia juga dijuluki raja bandit diantara para anak buahnya.
Setiap harinya, Rahmad dan beberapa anak buahnya berkeliling mengitari pasar. Meminta jatah ke para pedagang sebagai uang keamanan, dalihnya. Jika tak mau memberikan maka akan ada bekas merah menyakitkan di seluruh badan. Ada baiknya kehilangan uang daripada kehilangan nyawa karna uang. Tak ada orang yang berani melawannya. Setiap yang melawan akan dihakimi oleh anak buahnya. Tak ada pula orang yang berani melaporkan perbuatan mereka. Taruhannya nyawa.
Usai mendapatkan uang di pasar, mereka tak langsung berhenti. Memalaki orang-orang yang lewat pun akan dilakukan apabila uang yang didapat kurang. Uang tersebut akan digunakan untuk membeli minuman keras sambil berjudi di malam harinya. Kegiatan tersebut terus menerus dilakukan Rahmad dan anak buahnya.
Hingga suatu hari anak buahnya lari terbirit-birit akibat kepergok mencuri perhiasan. Ia tak mampu menghindari kejaran masa. Ia dihakimi dan dimasukkan ke penjara. Rahmad yang mengetahui hal tersebut hanya diam saja dan menganggap bahwa dia bukan anak buahnya. Tidak ada alasan ia harus menolong. Dari situlah, anak buah Rahmad semakin menghilang. Mereka menganggap kekuatan yang dimiliki Rahmad tidak akan digunakan untuk menyelamatkan hidup mereka. Rahmad kesal. Ia marah mengetahui banyak anak buahnya menghilang. Berhenti menjadi anak buah Rahmad bukanlah suatu kebebasan yang mudah. Lagi-lagi nyawa yang terancam.
“Aaaarrggghhhhhhh…” Ucap Rahmad sambil mengobrak abrik barang-barangnya.
“Siapa? Siapa lagi yang mau pergi dari sini? HAHH” sambil menunjuk satu-satu muka anak buahnya yang tersisa.
“Jangan berani-beraninya kalian mengkhianatiku. Atau kalian sendiri yang harus tanggung akibatnya. PAHAM”
“Paham” jawab ketiga anak buahnya.
Rahmad meninggalkan basecamp tempat mereka berkumpul. Ia pergi menuju suatu tempat yang bisa membuatnya tenang.
Jauh dari keramaian, berada di sudut kota, sunyi merupakan ciri tempat yang tak ingin orang lain tahu. Disana ia meratapi hidupnya yang tak bahagia. Padahal ia merasa memiliki kekuatan penuh untuk mendapatkan uang. Memiliki banyak anak buah yang mengikuti. Namun, semua itu tak sanggup menghilangkan rasa sepi dalam dirinya. Tak disadarinya, air mata menetes. Saat itu, ia benar-benar merasa lemah.
Rahmad mengangkat kepalanya. Menghapus air mata yang sempat menetes. Di ujung jalan, dekat dengan tempat ia duduk, terlihat seseorang sedang menatapnya. Sontak ia berdiri dan berniat menghampiri. Namun orang tersebut hanya mengangkat satu tangannya dan tersenyum layaknya tanda perkenalan lalu pergi. Tak paham dengan apa yang dilakukan oleh orang aneh itu, Rahmad hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal dan kembali duduk termenung.
Keesokan harinya, Rahmad mengulangi hal yang sama yaitu duduk termenung di tempat sunyi itu. Ia tak memiliki keinginan untuk beraksi di pasar. Ia pun sudah memberitahu kepada anak buahnya bahwa selama beberapa hari ke depan, mereka akan beraksi tanpa adanya Rahmad. Uang hasil rampasan pun diserahkan seluruhnya ke anak buahnya. Namun lagi-lagi, keselamatan anak buah bukan tanggung jawabnya.
Selama beberapa hari di tempat tersebut, Rahmad selalu melihat seorang yang selalu mengawasinya dari kejauhan. Hari ini pun sama, ia melihat orang yang tidak asing.
“Tunggu!!! Jangan pergi!!! Ada yang perlu dibicarakan” teriak Rahmad dan langsung menghampiri. Rahmad mendekati orang tersebut. Ia menatap dari ujung kaki hingga kepalanya. Seakan-akan ingin mendeteksi jati diri orang yang ada dihadapannya.
“Mus, panggil saja saya pak Mus.” Kata orang tersebut sambil tersenyum
“Mau apa anda kesini? Anda mengikuti saya? Atau anda ingin menangkap saya? Siapa anda sebenarnya?” tanya Rahmad mengintrogasi.
“ha ha ha” tawa lirih dari pak Mus. “Saya hanyalah salah satu warga desa sini. Saya tidak bermaksud mengikuti anda. Pekerjaan saya memang disini. Disini banyak rumput yang bisa digunakan sebagai pakan ternak saya. Tapi kebetulan setiap saya kesini pasti ada anda. Yang sedang duduk dan menangis” terang pak Mus.
Mendengar ceritanya, Rahmad merasa malu karena ada orang yang mengetahui bahwa ia sedang menangis. Tak tahan dengan rasa malunya, ia langsung pergi meninggalkan pak Mus.
“Nak, dengarlah. Batu yang keras tetap saja dapat dibentuk meskipun oleh air yang menetes.” Ucap pak Mus kepada orang yang sedang memunggunginya tersebut.
Mendengar ucapan tersebut, Rahmad langsung meneteskan air mata dengan derasnya. Seakan ia mengetahui makna yang terkandung dalam ucapan tersebut.
Sejak itulah, hidupnya penuh kegelisahan. Merasakan berbagai penyesalan yang mendalam sebab perlakuan yang dilakukannya semasa dulu. Merasa ada yang aneh dengan dirinya, ia mencari pak Mus. Ia yakin bahwa pak Mus mengetahui alasan kegelisahan yang selama ini Rahmad rasakan. Dalam pencariannya, ia selalu merasa menyesal akan hidupnya. Mempertanyakan kenapa ia hidup di dunia. Sebelum akhirnya ia bertemu dengan pak Mus.
Setelah beberapa hari ia mencari pak Mus, hari ini adalah pertama kalinya ia bertemu pak Mus dalam posisi yang lemah. Merasa tidak punya kekuatan lagi meski untuk berjalan. Pak Mus pun menyambut hangat kehadiran orang asing ini. Sudah tidak tahan dengan apa yang ada di isi kepalanya, Rahmad langsung mempertanyakan seluruhnya ke Pak Mus. Pak Mus tersenyum mendengar keluh kesah Rahmad.
“Tinggallah disini beberapa waktu dan coba cari jawaban atas pertanyaanmu,” kata Pak Mus menanggapi. Rahmad hanya mengangguk dan menerima tawaran tersebut.
Selama berbulan-bulan Rahmad tinggal bersama pak Mus dan anak-anaknya, ia merasa banyak yang berubah dalam dirinya. Kehidupan yang rumit menjadi terasa gampang. Kesunyian yang terasa terisi dengan kehangatan yang diberikan oleh keluarga pak Mus. Pertanyaan yang ada dibenak Rahmad lama-lama sudah menemukan jawabannya. Kehidupan Rahmad berubah secara keseluruhan. Hingga akhirnya, Rahmad memberikan sebuah keputusan yang sangat besar.
“Pak Mus, saya akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan saya di mata hukum. Saya akan menyerahkan diri saya dan mengakui seluruh perbuatan kejam saya. Saya sudah yakin itu Pak Mus.” Kata Rahmad. Pak Mus hanya tersenyum mendengar perkataan Rahmad.
Usai mengatakan hal tersebut, Rahmad langsung bergegas untuk melaporkan dirinya sendiri. Atas perbuatannya, Rahmad dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Ia pun menerima hukuman tersebut.
Tidak ada beban dari Rahmad untuk menjalani hukuman tersebut. Ia merasa memang inilah yang harus dia dapatkan. Dukungan dari pak Mus senantiasa membuatnya kuat untuk melalui ini semua. Namun, dua tahun terakhir, pak Mus sudah tidak terlihat menjenguk Rahmad. Hanya salah satu anak dari pak Mus saja yang sesekali menengoknya di penjara. Setiap kali Rahmad bertanya tentang keberadaan pak Mus, pasti tidak akan dijawab oleh anaknya. Namun, hal tersebut tidak membuat Rahmad patah semangat. “Mungkin saja pak Mus sedang sibuk mengurus hal lain” pungkasnya dalam hati.
Lima tahun sudah Rahmad menjalani hukumannya. Orang pertama yang ingin ia temui adalah pak Mus. Ia teringat oleh selembar kertas yang diberikan oleh Hamid, putra pak Mus. Saat memberikan kertas tersebut, Hamid berpesan untuk tidak membukanya selama di penjara. Rahmad pun menyetujuinya. Seusai terbebas dari hukuman, ia langsung membuka surat yang diberikan oleh Hamid. Surat tersebut berisi sebuah alamat. Rahmad bingung, apa maksud dari ini semua. Namun Rahmad berniat untuk menuju ke alamat yang ada di surat tersebut.
Betapa kagetnya Rahmad saat sampai di suatu tempat yang dia tidak pernah dikunjungi meskipun sudah lama tinggal bersama Pak Mus, ternyata yang ia temui adalah sebuah Pesantren kecil di pelosok desa di lereng Gunung dekat Agrowisata. Ia kemudian diantar oleh Hamid. Ia diantar menuju belakang Masjid Pesantren. Ada sebuah kompleks makam keluarga disana dan ada satu makam yang bertabur bunga. Di nisan itu tertulis sebuah nama ‘K.H Mushtofa Ibrahim’.
“Inilah orang yang Mas Rahmad cari.” Kata Gus Hamid.
Rahmad tersungkur jatuh terduduk di samping makam. Kepalanya bagai dihantam palu. Badannya tiba-tiba gemetar dan ia mulai terisak-isak. Dalam isak tangisnya, ia berbisik lirih “Kanjeng Guru, maafkan aku… maafkan aku. Saya sungguh bodoh, tak mengenal siapa sesungguhnya dirimu.” Airmata Rahmad semakin deras sambil merangkul nisan itu dan menciumnya.
Ia terus saja menunduk. Entah perasaan apa yang dirasakan Rahmad, rasanya baru kali ini dia merasa sangat kehilangan. Padahal selama ini ia dikenal kejam, tak ada sesuatu yang ia takuti. Nuraninya terusik dan ia merasa sangat kesepian. Kini ia bagai anak kecil yang ditinggal orang tuanya. Saat itu pula ia berjanji akan berhenti dari pekerjaannya dan pindah ke desa ini. Ia ingin dekat dengan makam orang yang telah menuntunnya menuju kesadaran. Sebuah kesadaran untuk kembali kepada fitrahnya sebagai manusia. Sebagai hamba.
Gus Hamid diam saja di samping Rahmad. Sambil sesekali menepuk pundaknya. Mengisyaratkan agar Rahmad bersabar. Justru Gus Hamid yang malah menghibur. Gus Hamid tampak lebih tegar. Setelah tangis tamunya mereda. Gus Hamid mengajak Rahmad ke rumah.
“Beginilah gubuk reot saya mas.” Ujar Gus Hamid merendah.
“Ah, Gus bisa saja.”
“Monggo silakan duduk.”
“Iya Gus.”
“Sebelum meninggal, Bapak memberi beberapa wasiat pada anak-anaknya, termasuk saya sebagai anak tertua agar meneruskan perjuangan beliau menjaga pesantren ini. Beliau juga menitipkan sesuatu untuk sampean. Seakan beliau sudah tahu kalau suatu saat Mas Rahmad pasti ke sini. Sebentar, saya ambilkan.”
Gus Hamid beranjak menuju kamar dan membuka almari pakaian.
“Ini untuk Mas Rahmad. Sebagai kenang-kenangan dari almarhum bapak saya.”
Mata kelabu itu menatapku sekilas kemudian menerawang jauh. Aku melihat perubahan mimik wajahnya. Seperti ada beban penyesalan yang teramat dalam dan tak mungkin bisa dihapus. Entah kenapa ceritanya terlampau hidup, seolah semua perasaannya tercurah di sana. Mataku pun mengembun.
****
“Kurang lebih seperti itu kisah dari seorang Rahmad, Nak Ade” kata Mbah Harjo.
Hampir dua jam si pemilik warung ini bercerita. Aku hanya mendengarkan dan sesekali menanggapi dengan senyum, anggukan dan satu-dua pertanyaan. Malam semakin dingin. Kopiku telah habis. Tinggal ampasnya saja di dasar gelas. Usai membayar, aku dan Rudi berpamitan pada orang tua itu.
Editor : Daniel Alif