Hidup sebagai warga di salah satu negara yang menjunjung tinggi budaya Timur itu bisa dibilang susah-susah gampang. Banyak banget hal-hal di keseharian yang diatur sama undang-undang yang tak kasat mata alias hukum sosial. Kalau seseorang sudah kena pelanggaran sekali, hmm yaudah deh siap-siap saja bakal jadi objek gunjingan warga. Dan ya, namanya manusia yang jadi tempat salah dan lupa, gunjingan ini cuma bakal diobral kalo seseorang itu ngelakuin kesalahan saja. Kalau orangnya berprestasi? Ya masyarakat sekitar paling cuman ber-oh ria saja.
Gimana, Sis? Sudah mulai ngerti kan poin-poinnya?
Selain adanya hukum sosial atau yang biasa disebut norma tata krama, di negara itu juga masyarakatnya didominasi sama berbagai stigma, apalagi bagi para perempuan. Bahkan stigma itu bisa muncul dalam berbagai sifat. Ada yang sifatnya penghakiman, ada yang sifatnya pewajaran, ada juga yang sifatnya itu sebagai tekanan dan pengwajiban.
Loh, kok sifatnya cenderung jelek semua ya? Lah emang iya, Sis! Di KBBI, kata stigma diartikan dengan ciri negatif yang menempel pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya. Jadi ya wajarlah kalau yang diurai di sini pun sisi jelek ya semua.
Menghakimi
Sifat stigma di masyarakat Katulistiwa ini sengaja aku tulis pertama. Bukan apa-apa sih, cuma aku ngerasa ini banyak banget dirasain sama beberapa perempuan, termasuk aku. Contoh kasus dari stigma ini tuh umumnya dilihat dari segi fisik. Misal, kalau ada anak perawan yang rambutnya diwarna-warni, beuh, dijamin deh pasti kebanyakan para orang tua langsung menganggap kalau dia gadis yang nakal, urakan, bengal, dan susah diatur.
Itu baru warnain rambut. Apalagi kalau si cewek itu bikin tato, tindik, dan sejenisnya. Yah makin liar juga stigma yang masyarakat kasih. Padahal sejatinya kan mengubah penampilan fisik itu termasuk hak asasi individu. Terlepas dari boleh tidaknya oleh suatu agama, itu menjadi sah-sah saja dilakukan, tho?
Pewajaran
Nah, kalau yang ini juga merugikan pihak perempuan nih, Sis! Masyarakat cenderung melegalkan dan mewajarkan sesuatu berdasarkan jenis kelaminnya saja. Dan pastinya juga kalau sifat ini berat sebelah! Masih bingung? Ini nih aku kasih contohnya.
Dalam satu keluarga, terdapat dua orang anak beda kelamin. Satu cewek dan satunya cowok. Mereka sudah sama-sama cukup umur, nih. Waktu sekolah, si anak cowok itu dibolehin saja pulang lewat jam 7 malam. Sementara si cewek, maksimal jam 5 sudah harus sampai di rumah.
Terus, waktu udah masa kerja, diumur sekian tahun si cewek harus sudah nikah. Sementara si cowok? Terserah dia mau nikah diumur berapa. Kan harus nyari modal dulu, katanya.
Loh kok gitu? Ya iya. Diakui atau tidak, memang begitu adanya. Kasus pertama, kenapa si cewek maksimal sampai jam 5? Padahal kegiatan di sekolah sama beratnya dan nggak mandang kelamin. Jawabannya cuma satu. Ya karena dia perempuan. Coba kalau dia laki, pasti bakalan beda. Itu juga yang jadi jawaban buat kasus kedua.
Wajarlah kalau anak cowok pulangnya sampai malem, pusing di sekolah, main dulu sama teman-temannya. Itung-itung buat refreshing. Loh? Emangnya yang ngerasain pusing cuma murid laki-laki saja? Emangnya yang butuh refreshing cuma mereka? Haduh! Bikin kesel kan stigma ini.
Ketidakwajaran ini bakal makin meliar kalau di umur 25 masih ada perempuan yang belum menikah. Julukannya juga makin banyak dan bikin sakit hati! Perawan tua! Ini julukan kalau si perempuan itu belum ada yang nanyain sampai di umur segitu. Pemilih. Nah, kalau ini kebalikannya. Biasanya perempuan dikasih gelar ini kalau dia udah beberapa kali ditanyain, tapi ditolak terus.
Masyarakat bilang sih kalau terlalu pemilih itu nggak baik, nanti disangka matre, kalau pakai bahasa Jawa tuh istilahnya royal, iko-iko, ndengalem. Seng penting lanange biso luru-luru (kerja) bae wes. Ora usah iko-iko jaluk seng kerjane kantoran (semacam PNS atau yang kerjanya di kantor dan pakaiannya selalu rapi).
Yah, padahal kan after marriage life nggak sesederhana itu. Bukan matre atau gimana, cuma mau realistis saja sih. Kalau bisa dapat yang lebih mumpuni dalam penghidupan, kenapa milih yang pas-pasan? Kalau bisa ada sisa buat ditabung, kenapa harus milih sama yang sekedar cukup? Ya, kan? Di zaman yang semakin melambung kebutuhan perut kayak gini, mana ada sih orang yang mau diajak susah? Kalau para lelaki belum bisa mapanin diri, kenapa perempuan yang disalahkan?
Tekanan, Pengwajiban dan Keharusan
Biasanya terjadi dalam ranah sosial, pembagian kerja, dan berhubungan sama kodrat. Di lingkungan sosial, perempuan cenderung dituntut untuk melakukan sesuatu hanya karena dia perempuan. Dan kadangkala ketiganya itu dijadikan satu tumpuk. Pembagian kerja untuk perempuan pun bukan cuma dalam bentuk tertulis dan terstruktur saja.
Di negara dua musim ini, tugas-tugas domestik rumah tangga secara otomatis dibebankan ke pihak perempuan. Terus kalau sudah begitu, kodratnya juga dibawa-bawa buat penguat alasan. Misalnya, perempuan itu harus pinter masak sama beres-beres rumah. Kenapa gitu? Ya karena nanti dia yang bakalan sibuk di rumah kalau sudah menikah.
“Perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh nantinya cuma bakal ngurusin rumah saja.”
“Perempuan itu harus rajin bebenah rumah. Nggak boleh males!”
“Perempuan kok bangunnya siang?”
“Jadi perempuan itu harus lemah lembut, penurut, hemat. Jangan urakan!”
Itu baru segelintir kewajiban yang berat sebelah bagi perempuan. Sisanya masih banyak banget. Intinya, perempuan itu harus menjadi sosok yang paling mendekati sempurna dari keinginan masyarakat. Sebagaimana bentuk bulat yang selamanya bakal kayak gitu, maka apa yang dianggap sebagai sosok perempuan pun ya harus yang seperti itu. Lemah lembut, penurut, pinter beres-beres, selalu bangun pagi, dan lain sebagainya.
Seolah-olah perempuan nggak dikasih kebebasan buat ngejalanin hidupnya sendiri. Bahkan buat sekedar ngomongin isi kepala, yang ada nanti malah dinilai pembangkang. Intinya, perempuan itu harus penurut dalam segala hal.
Tapi anehnya lagi, perempuan juga bakal dinilai buruk kalau terlalu mendalami ciri khas perempuan. Berdanda, misalnya. Masyarakat di sini cenderung mikir negatif kalau ngelihat ada cewek yang seneng banget bersolek. Dinilai berlebihan lah, disangka perayu atau pun penggoda lah, dijudge cewek centil, ganjen, bahkan sampai ke julukan jalang.
Dan yang bikin nggak habis pikir lagi nih, perempuan kalau nggak dandan juga dicela. Apalagi kalau dandanannya kayak cowok. Yah makin menjadi deh!
Beberapa contoh kasus di atas bukan sesuatu yang mengada-ada. Dan penjelasan yang aku cantumin juga nggak sekedar karangan belaka. Sebagai seorang perempuan, aku meyakini kalau setidaknya semua perempuan di negeri kepulauan ini merasakan setidaknya satu dari sekian banyak stigma tersebut.
Standar seorang perempuan di sini ternyata cukup tinggi juga, ya. Perempuan harus mewujudkan keinginan masyarakat seperti yang biasanya ada. Tingkat kefeminiman seorang perempuan juga diatur sedemikian rupa. Diberi garis pembatas yang cukup tipis. Kalau melenceng sedikit saja, maka stigma negatif langsung berputar di lingkungan sekitar.
Aku tau, kita, perempuan yang ada di sini adalah perempuan yang kuat. Tetap semangat para perempuan!