Selama belasan tahun lahir di dunia, kemudian mulai mengerti tentang hak-hak yang sudah melekat bahkan ketika masih berada dalam kandungan. Di antara hak asasi manusia itu ialah hak asasi pribadi (personal right). Namun, bukan tentang hak asasi manusia yang akan kita bahas, melainkan hak kebebasan mengutarakan pendapat. Sejak zaman dahulu orang-orang telah bebas mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya. Kebebasan berbicara atau berpendapat merupakan kebebasan yang terkait pada sebuah hak untuk berpendapat atau berbicara bebas tanpa ada pembatasan apapun kecuali dalam hal menyebarkan keburukan.
Hak untuk berpendapat diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998 yang menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara, selain itu Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam pasal 14, 23, 24, dan 25, yang menyatakan perlindungan dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Di negara kita sendiri, kebebasan berpendapat upayanya telah diperjuangkan sejak zaman penjajahan Belanda. Raden Mas Sowardi Soerjaningrat alias nama lain dari Ki Hadjar Dewantara yang kita ketahui sebagai Bapak Pendidikan Indonesia menulis artikel yang menghentak pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913, berjudul Als Ik Eens Nederlande (Seandainya aku seorang Belanda) di koran De Expres. Tulisan ini merupakan reaksi rencana Pemerintah Hindia Belanda ketika meminta pungutan untuk perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya, tulisan Soewardi dianggap menghasut. Kemudian Belanda membungkam pendapat Soewardi dengan menangkap lalu memenjarakannya. Beberapa bulan kemudian, ia diasingkan ke Belanda selama enam tahun. Dari kejadian tersebut, kebebasan berpendapat terus diperjuangkan masyarakat Indonesia, termasuk saat memperjuangkan pembebasan dari penjajahan yang represif dan eksploitatif.
Namun, lain halnya dengan apa yang dihadapi oleh kita sekarang, dimana pemerintahan saat ini masih sangat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. Pembatasan kebebasan berpendapat menunjukan bahwa Indonesia tak lagi setia pada demokrasi, namun lebih menunjukkan gejala otoritarianisme. Jika dilihat sepanjang tahun 2021, setidaknya terdapat beberapa kasus penangkapan yang merupakan bagian dari pembatasan kebebasan berekspresi. Seperti halnya kasus perburuan pelaku dokumentasi, pemburuan sewenang-wenang terhadap pembuat konten, penangkapan terkait UU ITE, penangkapan masyarakat terhadap kritik kebijakan PPKM, dan yang terakhir adalah penangkapan terhadap kelompok yang membentangkan poster untuk menyuarakan aspirasinya di depan presiden.
Sebut saja ketika ramai kasus “JOKOWI : THE KING OF LIP SERVICE” yang diunggah oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, dimana cuitan ini kemudian menuai beragam reaksi, mulai dari reaksi komentar hingga upaya peretasan akun media sosial beberapa anggota BEM UI oleh pihak tak dikenal. Dalam unggahan itu, BEM UI menjabarkan tindakan Jokowi yang dinilai kerap kali mengobral janji manis tetapi realitanya sering kali tak selaras, cuitan tersebut lengkap dengan sejumlah foto Jokowi yang diedit.
Menanggapi kejadian itu, rektorat UI memanggil BEM UI untuk diminta klarifikasi. Selain itu Leon Alvinda Putra, selaku ketua BEM UI juga diminta rektorat UI untuk menghapus unggahan pada tanggal 26 Juni 2021 tersebut. Mengetahui kejadian itu, aliansi BEM Se-Indonesia hingga sejumlah LSM dan koalisi masyarakat sipil mengecam keras tindakan pemanggilan anggota BEM UI oleh pihak kampus untuk mengklarifikasi unggahan tersebut. Karena Hal ini dinilai sebagai upaya pemberangusan kebebasan berpendapat.
Beralih ke contoh lain, penerapan dan pemberlakuan UU ITE juga dianggap telah mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat. Apalagi, setelah terbit surat Kepala Polri tentang pemidanaan pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. Hal ini tentu saja membuat masyarakat tidak berani memberikan kritik terhadap kinerja pemerintahan melalui media digital. Seperti komentar yang sering diujarkan oleh warganet “No comment (tidak komentar) deh, takut kena UU ITE”, komentar lain warganet yang bisa kita jumpai diantaranya lagi ialah “UU ITE memantau kalian”. Alih-alih mereka hanya bisa menyaksikan simpang siur sesuatu yang bertentangan dengan pikiran mereka, tanpa berani memberikan tanggapan.
Apalagi melihat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, memungkinkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya secara mudah di dunia digital. Oleh sebab itu, seperti yang disampaikan oleh Sukamta, selaku Anggota Komisi I DPR (bahwa UU ITE harus direvisi untuk mengembangkan semangat awal menjaga ruang digital tetap bersih dan beretika. Padahal seharusnya UU ITE dapat melindungi berbagai kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan atau tulisan, dan kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan dari UU ITE itu sendiri. Kebebasan berpendapat di media digital harus tetap terjamin, tetapi tetap perlu diatur agar tidak keblabasan. Seperti halnya apa yang didambakan oleh masyarakat, dimana UU ITE diharapkan dapat membawa keadilan dan kenyamanan bagi kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dalam bingkai demokrasi Pancasila.
Berkaca dari peristiwa-peristiwa tadi, sudah sepantasnya upaya kebebasan berpendapat harus ditegakkan. Karena dengan terlindunginya kebebasan berpendapat, kita bisa menyampaikan, mencari, menerima, dan membagi berbagai macam informasi. Selain itu, kita juga bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, menuntut hak kita dan orang lain. Oleh karena itu, setiap pembatasan kebebasan berpendapat seharusnya telah diatur dalam undang-undang, dikomunikasikan dengan jelas sehingga bisa dipahami setiap orang.
Penulis : Rizky Rosyida
Editor : Aisa Khumaira