“Memangnya kamu mau dihargai berapa?”
Pertanyaan itu acapkali terdengar, ketika seseorang menjawab perkataan lawan bicara untuk menghargai obrolan mereka yang diacuhkan di depan banyak orang, yang kemudian membuat orang di sekitar tertawa. Saat itu mungkin beberapa orang tidak terlalu memikirkannya karena menganggap hanya candaan biasa saja. Atau mungkin kamu sering mengucapkan kalimat seperti ini:
“Lambat banget jalannya kayak cewek,” atau
“Cengeng banget jadi cowok kayak cewek aja.”
Komentar tersebut juga masuk ke dalam list perkataan yang sering terdengar untuk candaan bagi laki-laki. Yang kemudian menimbulkan gelagat tawa sekitar. Pelaku yang melontarkan komentar tersebut sadar atau tidak, ia sebenarnya tengah melakukan humor seksis. Dimana humor seksis dilontarkan untuk memperkuat hubungan antar individu satu dengan lainnya dalam sebuah komunitas atau pergaulan (Christopher J Hunt).
Perasaan dari objek candaannya tak dihiraukan oleh si pelaku. Pelaku seksis hanya memikirkan bagaimana orang sekitar menanggapi humor yang dilontarkan. Humor seksis merupakan lelucon yang tujuannya merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender. Dimana humor ini termasuk dalam kategori penghinaan, atau disparagement humor yang maknanya merendahkan beberapa kelompok sosial.
Di lansir dari laman website Yayasan Pantau humor seksis ini lebih sering terdengar dan dilontarkan kepada perempuan maupun gender lain yang dianggap minoritas dalam sebuah komunitas. Hal tersebut terjadi karena adanya hegemoni maskulinitas yang berkuasa, sehingga memunculkan subordinasi di dalam isu gender. Bahkan, menurut Susan Krauss Whitbourne, seorang profesor emerita Universityof Massachusetts Amherst berpendapat bahwa humor seksis merupakan sebuah upaya untuk menutupi pandangan merendahkan perempuan agar diterima secara sosial.
Humor Seksis adalah Gaya Bercanda Kuno
Faktanya bahwa jokes atau humor seksis sudah ada dalam komedi lama sekitar abad ke- 21. Di dalam artikel karya Ian Wilkie, seorang dosen pertunjukan di University of Salford bahwa dalam komedi lama menjadikan bentuk tubuh, ras, warna kulit, kepercayaan, seksualitas di sertai dengan ungkapan seksis dan misoginis sebagai bahan bercanda adalah hal biasa. Seperti, beberapa episode dalam kartun Sinchan yang kerapkali digambarkan sedang menggoda perempuan.
Susan Krauss menegaskan kembali bahwa dalam konteks humor seksis dan perempuan mendengarkan bahkan dijadikan sebagai sebuah objek kelakar seksis. Mereka cenderung menanyakan pada dirinya sendiri. Apakah itu seksisme atau hanya berusaha bercanda tapi gagal? Menurutnya ambiguitas ini kecil kemungkinannya untuk perempuan menghadapi laki-laki yang melontarkan lelucon seksis.
Bahkan, ada hal yang mengejutkan ketika masih ada sebagian perempuan yang tidak merasa terganggu ketika dilontarkan candaan berbau seksis. Bahkan ada kemungkinan bagi seseorang akan ada dalam titik, ia semakin tidak paham apakah perkataan yang dilontarkan bercanda atau tidak. Lantas bagaimana jika seorang perempuan atau objek humor seksis lainnya mendapat perlakuan demikian?
Pertama, berhenti untuk ikut tertawa saat mendengarnya. Ketika seseorang tertawa ketika mendengar humor seksis, maka ia setuju dengan candaan yang di dengarnya. Kedua, Menegur si pelaku. Apabila tidak ada seorang pun yang berani menegur si pelaku. Maka, ia tidak akan sadar bahwa telah melakukan candaan seksis untuk menjatuhkan orang lain.
Bahasa dan Cerminan Budaya Kelakar
Humor seksis menunjukkan bahwa lelucon sehari-hari di antara masyarakat ternyata masih berkonten seksis dan misoginis. Dimana di zaman serba digital ini, kelakar tersebut makin menjadi-jadi. Seperti jokes seksis dalam video yang diunggah oleh Kemal Pahlevi, seorang aktor sekaligus stand up comedian Indonesia di akun Youtubenya. Dengan konten berbau seksis dan melecehkan, ia menyebarkan teaser video tersebut di Twitter.
Lelucon seksis masih dianggap wajar dalam tatanan kehidupan bersosial bahkan dalam budaya populer sekarang ini. Terlebih humor yang dilontarkan untuk perempuan. Sherryl Kleinman, seorang pengajar sosiologi di University of North Carolina yang berpendapat bahwa bukan tanpa sebab bahasa lebih memberi previlese kepada laki-laki dibanding perempuan. Hal tersebut terjadi karena peran perempuan dalam kehidupan sosial sering dikesampingkan, sehingga ujaran bahkan candaan terkadang di atur oleh laki-laki.
Alih-alih sekadar merepresentasikan realitas, bahasa juga menjadi peneguh realitas itu sendiri. Dimana kata-kata sering di gunakan sebagai sarana dalam mengartikan pemikiran. Kleinman dalam bukunya “Why Sexist Language Matters.” Mengekpresikan bagaimana keberadaan seksis dalam bahasa sehari-hari, dan mencoba menawarkan pemikiran baru.
Persetujuan antar laki-laki tersebut, untuk membuat humor merendahkan perempuan pada akhirnya menjadi satu norma sosial yang diterima dalam berbagai konteks bermasyarakat. Pada akhirnya semakin sering orang mengatakan, “itu kan cuma lawakan,” semakin besar pula kemungkinan seksisme dilanggengkan dalam macam-macam konteks.
Editor: Daniel Alif