Tanggal 21 April kita peringati sebagai hari Kartini. Lalu, siapa yang tak kenal dengan sosok R.A Kartini? Seorang tokoh perempuan yang begitu besar pengaruhnya dalam memperjuangkan kesetaraan wanita dan pria. Karena pada zaman dahulu, wanita selalu ditempatkan pada posisi yang pasif dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, melalui perjuangannya ia memberikan pendidikan untuk perempuan di sekitar tempat tinggalnya.
Kartini acapkali menulis surat untuk teman-teman Belanda-nya dan bercerita mengenai perjuangnnya. Surat-surat itulah yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah karya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang,” oleh seorang keturunan Belanda, Armjin Pane. Selanjutnya, pada tanggal 21 April 1964 ditetapkanlah Hari Kartini oleh Presiden Soekarno melalui Kepres No 108 Tahun 1964, karena perjuangan semasa hidupnya.
Perjuangan Kartini tak terlepas dari peran suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat seorang Bupati Rembang yang ternyata tidak seburuk yang ia pikirkan. Sang Adhipati ternyata amat mendukung perjuangan Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia, termasuk dengan memberinya kepercayaan untuk mengelola sekolah putri di kompleks kantor bupati. Semenjak itu pula, perempuan pada akhirnya dianggap memiliki hak dan kapabilitas yang sama seperti laki-laki.
Helen Cixous, seorang tokoh pemikir postmodern pernah mengatakan jika ia memiliki impian bahwa perempuan harus menulis. Karena melalui tulisan tersebut, perempuan dapat menyuarakan isu-isu kaum serta lingkungannya. Terutama isu-isu mengenai keterlibatan perempuan dalam politik, pendidikan hingga sosial masyarakat.
Tokoh perempuan yang juga sangat getol dalam menyuarakan isu-isu perempuan pada zaman kolonial selain R.A Kartini yaitu Ani Idrus. Perempuan asli Minangkabau ini merupakan seorang jurnalis yang begitu aktif menyuarakan isu-isu perempuan dan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Karya pertamanya yang bercerita tentang seorang gadis di Batavia dalam majalah Pandji Poestaka di Batavia, berhasil dimuat pada tahun 1930. Keberhasilan Ani itu membuat dirinya lebih bersemangat untuk mengembangkan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis.
Ani Idrus juga berhasil menerbitkan majalah menyoal isu perempuan pada bidang sosial, politik, hingga ekonomi. Melalui majalahnya tersebut, Ani bercita-cita menebarkan semangat dan memberikan informasi perempuan-perempuan hebat Indonesia. Namun sayangnya, keterlibatan Ani dalam Dunia Wanita ini hanya sampai 1961. Ani kemudian diberi mandat untuk menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia di Medan. Tidak sampai di situ, dirinya juga cukup aktif dalam dunia politik yang kemudian berhasil mengantarkannya menjadi anggota DPRD Sumatra Utara. Ia juga sempat menjadi Wasekjen Front Nasional Sumatra Utara mewakili golongan perempuan.
Problematika Perempuan Dalam Bingkai Sosial
Permasalahan mengenai perempuan memang nyata adanya, seperti kasus di New York, Amerika Serikat tahun 1857. Saat itu, para buruh perempuan di sebuah pabrik garmen melakukan unjuk rasa atas tidak meratanya gaji antara buruh perempuan dengan buruh laki-laki serta diskriminasi yang mereka terima. Namun, aksi tersebut berakhir ricuh karena aparat kepolisian setempat yang bertindak represif dengan menyerang buruh perempuan. Padahal, buruh perempuan tersebut memiliki peran yang cukup besar dalam pembangunan bangsanya pada saat itu.
Sama halnya dengan kasus Marsinah di Indonesia. Marsinah merupakan aktivis buruh perempuan orde baru yang menyuarakan aspirasi mengenai haknya sebagai seorang buruh. Kisahnya banyak diadopsi dalam dunia perfilman. Di mana ia bersama rekan-rekannya memprotes perihal tidak meratanya gaji yang diterimanya kepada pimpinan.
Namun, akibat aksinya tersebut Marsinah tiba-tiba menghilang selama 3 hari dan ditemukan ketika sudah tak bernyawa di sebuah gubuk dusun Jegong dan mengalami tanda-tanda penyiksaan disekitar tubuhnya. Sayangnya, hingga saat ini pelakunya tak pernah terungkap. Kisah tersebut merupakan secuil gambaran bagaimana seorang perempuan menyuarakan hak-haknya tanpa diskriminasi.
Dilansir dari sebuah tulisan di platform digital Greatmind.id yang juga banyak menyuarakan aspirasi mengenai perempuan, ketika perempuan memiliki keinginan, cita-cita yang harus dicapai maka dirinya akan dicap keras kepala, terlalu idealis dan banyak kemauan. Kontroversi tersebut memang ada bagi sebagian perempuan yang memiliki idealisme dengan lingkungan yang kurang mendukung.
Terlebih stigma tersebut terbawa hingga ke faktor hubungan, teringat seorang teman yang menceritakan bahwa ia belum menikah hingga usia 30 tahun karena disibukkan dengan pendidikan dan karirnya, sehingga ia memilih untuk belum menikah untuk sementara waktu. Dirinya sebagai seorang wanita karir single acapkali mendapat pernyataan dari tetangga hingga keluarganya, “Pantas saja belum memiliki pasangan, kamu sibuk dengan karir dan bisa melakukan semuanya sendiri.”
Ketimpangan Gender di Indonesia
Jika kita berbicara pandangan mengenai perempuan dalam bingkai sosial, beberapa penelitian menjelaskan jika perempuan muda dianggap rentan berisiko, apalagi setelah menikah dan melahirkan. Namun nyatanya hingga detik ini perempuan-perempuan di luar sana selalu dapat menemukan cara-cara dan ruang baru untuk menentang pemikiran lama. Potensi yang dimilikinya ternyata dapat mendorong perubahan sosial bahkan hingga perekonomian.
Diskriminasi yang diterima oleh perempuan ditunjukkan oleh data Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang berada di angka 99,99 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) bernilai 72,1. Ketimpangan Gender di Indonesia sendiri pada tahun 2017 apabila dalam lingkup ASEAN tertinggi ke empat yang sebelumnya ada Myanmar, Laos dan peringkat pertama ada Kamboja.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih tertinggal dari segi pendidikan, kesehatan hingga ekonomi dan bisa berdampak pada kelangsungan target kesetaraan dalam pembangunan. Meskipun saat ini sudah banyak pemimpin daerah seorang wanita, bahkan keterlibatannya dalam dunia politik cukup diperhitungkan, namun tetap saja seorang perempuan mengalami tantangan tersendiri terkait peran yang diembannya.
Mengapa Harus Idealis?
Tidak ada salahnya untuk menjadi idealis, karena hal tersebut dapat memicu tingkat kepercayaan diri seseorang untuk melakukan sesuatu dan turut andil dalam berkontribusi di tengah masyarakat dengan catatan tidak berarti memaksakan kehendak kepada orang lain untuk percaya. Tidak peduli mereka lajang, berkeluarga, seorang bos atau seorang karyawan, menjadi perempuan idealis bukan sebagai status sosial, akan tetapi menjadi dirinya sendiri. Seseorang yang nyaman dengan dirinya sendiri mereka akan lebih memahami apa kelebihan dan kekurangannya. Sehingga dirinya dapat mengerti bagaimana perasaan, pemikiran, kondisi tubuh serta jiwanya. Karena kesetaraan antara perempuan dan laki-laki kini bukan hanya tentang jenis kelamin, menjadi superior atau inferior. Akan tetapi dapat berbagi kesempatan dan pilihan yang sama atas aspek-aspek yang ada di masyarakat.
Editor : Winda Luthfia A