“Orang miskin itu nggak boleh mudah lapar, Mar,” ujarku sambil mengupas kulit singkong yang tadi pagi aku bedol.
Namaku Sur. Aku terlahir dari keluarga paling miskin di kampungku. Kurasa, tidak ada yang lebih miskin dari keluargaku yang rumahnya saja hampir ambruk. Kayu penopangnya sudah keropos dimakan rayap dan bisa kapan saja runtuh karena tidak mampu menopang atap anyaman blarak lagi.
Kemiskinan ini bahkan telah merenggut nyawa bapak saat aku duduk di kelas empat sekolah dasar dulu. Waktu itu bapak sakit keras, sementara kami tidak ada uang sama sekali untuk membawanya berobat. Keluarga kami pun sudah terlalu banyak terlilit hutang.
Sekarang aku hidup dengan ibu dan dua adik kembarku, tanpa adanya bapak yang dulu jadi satu-satunya tulang punggung kami. “Makanya, kamu kalau aku ajak makan selalu bilang sudah kenyang?” Maryati menatapku dengan matanya yang semakin terlihat sipit.
Aku hanya tersenyum. Aku sudah terbiasa untuk tidak makan. Makan juga bukanlah sebuah aktivitas yang biasa aku lakukan seperti orang lain, yakni sehari tiga kali. Kalau aku bisa makan tiga kali sehari, itu artinya pohon singkong di belakang rumahku sudah siap untuk dibedol.
Aku pun tidak pernah begitu merasa nelangsa hanya karena tidak bisa makan. Apalagi sampai meminta makan kepada tetangga dengan kalimat, “Aku sudah tidak makan sejak tiga hari lalu, Ni. Boleh aku minta nasi yang dijemur di belakang rumah?”
Walaupun kadangkala ada tetangga yang memberi nasi sisa cukup banyak dan bisa dimakan hingga sehari tiga kali oleh keluargaku. Kadangkala juga ada yang memberi hasil kebun mereka, seperti singkong, ketela, kentang, dan sayur-mayur.
“Perutmu berteman begitu baik denganmu, ya? Sampai dia terus pengertian dan nggak keroncongan saat kau lapar?” tanya Maryati yang masih penasaran dengan perutku. Aku saja tidak begitu peduli soal perutku akan kelaparan atau tidak.
“Itu kamu tahu. Perutku ini nggak seperti perutmu yang gampang merengek.” Maryati mendengus mendengar ejekanku.
Aku dan Maryati, kami berdua berteman baik sejak masih sekolah dasar. Sekarang Maryati sedang bersekolah di sekolah menengah pertama di pinggiran kota. Mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya untuk terus melanjutkan sekolah. Kehidupan kami berbeda. Maryati hidup dengan orang tua yang sangat berkecukupan. Bahkan saat sekolah dasar dulu, aku sering mencangking camilan yang dibeli oleh Maryati untuk aku berikan kepada kedua adikku.
Katanya kala itu, “Aku ingin kedua adikmu suka makan, jangan seperti kamu,” dengan tatapan mengancamku.
Bisa dibilang Maryati satu-satunya teman yang aku miliki. Teman-teman sekolah dasar lainnya enggan berteman dengan keluarga paling miskin di kampung. Aku tidak pernah peduli kalau tidak ada yang mau berteman denganku. Terbiasa tidak memiliki teman, tidak menjadi masalah besar di hidupku. Di lingkungan rumah saja, aku tidak memiliki teman satu pun dan aku baik-baik saja.
Tidak selesai dengan pertanyaan sebelumnya, Maryati masih ingin tahu mengenai kehidupanku yang sudah tidak ia temui sejak kelulusan sekolah dasar. Sejak Maryati masuk sekolah menengah pertama, ia tidak pernah sempat menemuiku. Selain kegiatan yang cukup menyita tenaganya, energinya juga habis tersita untuk perjalanan berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah karena jaraknya yang cukup jauh.
“Terus, soal kamu nggak melanjutkan sekolah, kamu punya alasan apa?” Kata Maryati, sedikit mengubah posisi kakinya kemudian menyenggol cangkul—yang biasa kugunakan untuk bekerja—jatuh ke arah kakiku.
“Selain mudah merengek, telat mikirmu masih saja belum sembuh ternyata,” ejekku, meraih cangkul yang jatuh dan membetulkan posisinya.
“Orang miskin juga nggak boleh sekolah terlalu tinggi, Mar! Apalagi yang ingin kamu tanyakan?” Jawabku agak kesal.
Aku teringat pernah mendengar kalimat bahwa orang miskin tidak boleh sekolah tinggi-tinggi dari paman. Waktu itu, aku datang ke rumah paman, berniat meminjam uang untuk membayar SPP semester akhir.
“Ibumu itu nggak tahu diri! Orang miskin itu nggak perlu sekolah! Apalagi bermimpi sekolah tinggi-tinggi! Daripada memaksa dan berakhir meminjam uang ke sana ke mari.”
Aku hanya terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Ingin marah karena ibu dibilang begitu oleh paman, namun kenyataannya betul begitu. Aku seringkali mencari pinjaman uang setiap akan ujian, ibu tidak pernah mampu membayar penuh dengan uang simpanannya.
Aku terlahir menjadi anak sulung. Kalau kata orang sepuh di kampungku, anak sulung harus mau mengalah untuk tidak sekolah dan harus mau untuk bekerja serabutan. Namun kala itu, ibu ingin aku bersekolah, harus bisa tamat sekolah dasar. Setidaknya aku bisa belajar dengan guru di sekolah dengan pelajaran yang tidak bisa ibu ajarkan kepadaku saat di rumah.
Mulut Maryati mulai menunjukkan gerakan akan bertanya lagi. Aku langsung menghentikan dengan kalimat ketus, “Apalagi yang membuat Maryati begitu penasaran dengan kehidupanku?”
Ia meringis, “Ini yang terakhir, Sur. Untuk hari ini…,” katanya sambil tertawa lebar. Aku menatapnya dengan kesal.
“Kenapa orang miskin nggak boleh melakukan apapun, tapi kamu melakukan kerja serabutan. Kenapa kalau yang itu, boleh?”
Aku mengganti tatapan kesalku dengan mata sayu. Mataku terpaku menatap Maryati. Aku seperti menyadari sesuatu setelah mendengar pertanyaan dari Maryati.
“Aku juga nggak tahu, Mar.”
Editor: Rofita Ningsih