Dheanda benar-benar tak menyukai hidupnya. Mungkin kalimat “tak menyukai” sengaja dipilih sebagai cara paling halus jika tak bisa menyebutkan keadaannya dengan satu kata, yakni benci. Dheanda sangat serius dengan pemikirannya itu. Bahkan kalau bisa jujur, Dheanda membenci pada hampir semua aspek di kehidupannya. Kecuali dua hal, yaitu kesabaran yang ia punya serta rasa cinta yang begitu besar. Dan keduanya kompak tersemat pada satu sosok. Yakni sang ibu.
Dheanda amat menyayangi ibunya. Rasa cinta yang ia punya sebegitu besar sebagai manifestasi baktinya sebagai seorang anak. Pun karena tangan halus sang ibu pula yang telah dengan sekuat tenaga membesarkan Dheanda seorang diri di tengah himpitan kehidupan yang keras. Hingga dengan secara sadar, Dheanda ingin membahagiakan ibunya, menuruti keinginan sang ibu yang tak jarang sebenarnya Dheanda benci untuk melakukannya. Namun, begitulah Dheanda. Perempuan itu selalu bisa memperbaharui stok sabar yang ia punya ketika berhadapan dengan mulut pedas sang ibu.
“Dhe, Dheanda. Bangun nduk, udah pagi. Emangnya kamu nggak ngantor hari ini?” Suara panggilan yang disusul ketukan di pintu mengganggu tidur Dheanda. Perempuan yang sedang asik bergelut dengan alam mimpinya itu refleks mengernyitkan dahi. Jelas sangat terganggu dengan suara-suara itu.
“Engh… Iya, Bu. Dheanda ngantor hari ini. Bahkan Dheanda harus muterin Jakarta Selatan buat nemenin Pak Bos meeting,” dumel Dheanda, yang teredam oleh bantal. Entah sang ibu bisa mendengar dumelannya itu apa tidak, Dheanda tak peduli.
“Yaudah, kalau gitu kamu bangun, mandi, siap-siap terus langsung ke dapur. Ibu baru saja selesai bikin nasi goreng kesukaan kamu. Ayo dimakan. Mumpung masih anget.” Usai berkata begitu, suara langkah kaki yang menjauh terdengar. Menyisakan hening di balik pintu kamar.
Dheanda lantas telentang. Menyibak selimutnya kuat hingga teronggok di lantai. Matanya yang bulat terbuka sempurna. Menatapi langit kamar dengan hiasan bintang-bintang. Udara yang masih begitu alami pagi ini, Dheanda hirup dalam-dalam. Seolah tak ingin membaginya kepada siapa pun jua. Lalu, dengan nyawa yang sudah terkumpul delapan puluh persen, Dheanda keluar dari ranjang menuju kamar mandi.
***
Setelan black and grey melengkapi penampilan Dheanda. A-line dress selutut dipadu blazer kotak-kotak begitu kontras melekat di kulitnya yang cerah. Tas senada dress dan gaya rambut yang khasnya Dheanda menambah kesan cantik pada perempuan itu. Dan, tentu saja, sebuah bundel pribadi miliknya tak luput ia masukkan ke tas. Harusnya, Dheanda dengan penampakan semenarik itu bisa dengan mudah menggaet laki-laki. Namun sekali lagi, itu hanyalah sebuah angan yang tercetus dalam kata “seharusnya”.
“Aduh, cantiknya anak Ibu. Sini sini, sarapan dulu.” Ibu, dengan ekspresi bahagia yang biasa nampak, melambaikan tangan. Meminta agar Dheanda lekas menuju ke arahnya.
Menurut, Dheanda melangkahkan kakinya cepat menuju meja makan. Menarik salah satu kursinya untuk diduduki.
“Ini, nasi gorengmu. Lekas dihabiskan, ya!” titah Ibu, mengangsurkan sepiring nasi goreng ke hadapan Dheanda. Membuat perempuan itu memutar malas bola matanya.
“Bu, Dheanda kan udah gedhe! Masa tiap kali sarapan diambilin terus nasinya? Malu dong, Bu!” protes Dheanda, seperti biasa. Tangannya mengambil sendok dan bersiap menyuapkan nasi ke dalam mulut.
“Nah, bagus kalau kamu masih punya malu, Dheanda.”
Tanpa perlu ke peramal, Dheanda segera tau kalimat apa yang akan Ibunya itu lontarkan. Dengan malas, Dheanda kembali memasukkan sesendok penuh nasi dalam mulutnya.
“Harusnya kalau kamu malu dibilang anak kecil, ya kamu tunjukkin dong ke Ibu kalau kamu itu udah dewasa. Bukan cuma penampilan kamu saja yang berubah, tapi kehidupanmu juga,” Ibu sengaja menjeda kalimatnya barusan, menunggu respon Dheanda. “Kenalin temen cowok kamu ke Ibu, misalnya?”
Nahkan. Benar dugaan Dheanda. Perempuan hampir kepala lima itu menggiring pembicaraan ke arah sana. Topik yang sejak satu tahun lalu mendadak booming dibicarakan Ibu. Selalu. Setiap pagi. Atau, kalau ada kesempatan yang pasti beliau ciptakan.
Cepat-cepat Dheanda menelan nasi gorengnya. Lalu dialirkan dengan seteguk air putih. Kalau saja ia tak memikirkan perasaan sang Ibu, sudah tentu Dheanda langsung kabur ke kantornya. Namun karena rasa cinta yang ia punya untuk sang Ibu, Dheanda tak bisa melakukannya.
“Bu, udah berapa kali sih Dheanda bilang kalau Dheanda itu mau fokus karir dulu. Ibu kan tau sendiri kalau Dheanda kerja belum lama. Dheanda juga pengen bahagiain Ibu dulu. Berangkatin Ibu naik haji,” jelas Dheanda, menatap dalam manik mata Ibu. Berharap dengan begitu Ibunya akan luluh dan berhenti mendesaknya.
“Iya, tau. Tapi Ibu bakal bahagia kalau kamu segera punya pendamping, nduk. Nggak masalah kalau kamu mau meniti karir, asal kamu juga nggak lupa buat nyari pendamping.” Begitulah argumen sang Ibu. Membuat kepala Dheanda belum apa-apa sudah pusing.
Sebelum kembali menjawab sang Ibu, Dheanda menghabiskan terlebih dahulu sarapannya. Ia harus begitu, agar nanti tak terpancing emosi melawan beliau. Dheanda mengangguk singkat, “Iya, Bu. Doain saja semoga Dheanda cepet dideketin sama jodoh. Dheanda berangkat dulu, Bu. Mau nemenin Pak Bos meeting,” pamit Dheanda, menyangklong tas di pundak.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati.”
***
Di sepanjang jalan menuju kantor, Dheanda hanya merenung. Memikirkan kembali apa yang sekiranya salah dalam hidupnya di mata sang Ibu. Hingga berdetik-detik lamanya ia merenung, kehidupannya tampak biasa-biasa saja. Kecuali, tuntutan dari sang Ibu yang terus menghantui Dheanda di setiap undak level hidupnya.
Dulu, sewaktu Dheanda masih sekolah menengah, tuntutan itu belum ia rasakan. Atau mungkin lebih tepatnya tak ia anggap sebagai tuntutan. Karena pada saat itu, Dheanda masih bisa mengikuti dengan baik ritme hasrat Ibunya.
Hingga saat duduk di bangku kuliah, apalagi ketika semester tua, Dheanda mulai merasakan tekanan itu. Yakni keharusan menyelesaikan kuliah tepat waktu! Hampir saja Dheanda menjerit kala lagi-lagi pertanyaan, “Sudah sampai BAB mana skripsinya?” terlontar dari bibir sang Ibu. Pikirannya yang sedang mumet, tak sekali pun meraup empati dari perempuan tua itu.
Lalu, setelah drama skripsi yang cukup menguras emosi, lagi-lagi ketenangan Dheanda terusik. Penyebabnya ialah karena surat lamaran yang ia sebar tak kunjung mendapat sambutan. Hingga terasa pengang kuping Dheanda menampung cerocosan sang Ibu.
“Makanya Dheanda, kalau kuliah itu yang bener! Yang serius! Lulus tepat waktu! Biar pak HRD banyak yang ngelirik kamu. Udah hampir satu tahun lulus, tapi nggak ada satu pun perusahaan yang manggil kamu. Emangnya kamu nggak malu apa sama tetangga? Itu, si Nita, baru lulus udah langsung kerja. Anaknya Pak Sanusi juga, terus…”
Dan inilah puncak dari omelan Ibunya sekaligus bagian yang paling Dheanda benci. Yakni membandingkannya dengan anak tetangga. Omelan Ibunya yang semakin membuat perempuan itu membenci kehidupannya.
Apa yang salah dengan kehidupannya? Bukankah sejatinya hidup ini adalah pilihan? Mengapa alur hidup yang Dheanda pilih begitu terasa salah di mata Ibunya?
Dheanda sadar bahwa ia adalah orang yang santai dalam menjalani hari-harinya. Ia bukanlah seseorang yang ambisius hingga cenderung pada sisi perfeksionis. Salahkah ia memilih jalan itu? Berusaha semaksimal mungkin dengan cara yang paling mudah dan santai? Dheanda hanya ingin menikmati garis hidupnya sendiri. Merasakan sesak-senangnya setiap fase kehidupan. Yang Dheanda yakini bahwa santai itu tidaklah sama dengan malas, bukan?
Apa Dheanda keliru?
Tanpa sadar, pipinya mulai dialiri setitik air. Sesak. Dheanda menatap lalu lalang gedung dari balik kaca dengan pandangan iba. Ia kira, begitu sebuah kantor property menghubunginya untuk interview dua tahun lalu cukup membungkam mulut pedas sang Ibu. Dheanda pikir, dengan bekerja sebagai sekretaris pribadi seorang direktur di kantor itu cukup membangkitkan senyum lebar malaikatnya itu. Dan ya, Dheanda hanya berpikir demikian.
Jejak tangis yang tak seberapa banyak itu telah Dheanda hapus. Menyodorkan ongkos pada sopir lalu bersiap turun. Sekali lagi, Dheanda menilik bundelan itu. Hari ini, Dheanda sudah bertekad akan melakukannya. Kembali menuruti kemauan sang Ibu untuk terakhir kali. Jika ini tidak berhasil juga, maka Dheanda akan mengakhiri semuanya.
***
“Ada apa? Dari tadi kamu kok diem saja, Dheanda?” Pak Bos kembali mengulang pertanyaan. Membuat Dheanda gugup.
Setengah mati ia mencoba untuk meyakinkan diri. Lalu, tanpa berlama lagi, ia mengeluarkan bundelan dan diserahkan ke Pak Bos.
“Proposal nikah? Apa maksudnya ini?” tanya Pak Bos, bingung sekaligus heran.
“Maaf, sebelumnya, Pak. Tapi, saya pikir tak ada salahnya menawarkan diri ke Pak Bos. Bukan. Bukan bermaksud saya bertindak kurang sopan. Hanya saja, saya kira Pak Bos selama ini masih sendiri dan saya terlalu malu untuk berbicara secara langsung kepada Anda. Oleh karenanya, saya membuat proposal itu. Alasan apa yang melatar belakanginya, sudah saya cantumkan lengkap di situ. Dan saya harap—”
“Baik. Nanti saya akan baca dan pertimbangkan proposalmu,”
Dheanda tertegun. Raut wajah Pak Bos sama sekali tenang. Entah memang tak tersinggung atau menganggap proposal nikah Dheanda sebagai lelucon.
“Pak, tapi saya serius ngasih itu,”
“Iya, saya juga serius mau mempertimbangkan.”
Sekali lagi Dheanda mengernyit. Bingung dan tak tau harus merasa senang atau sedih. Dheanda hanya mencoba saran sang Ibu untuk mencoba mendekati Bosnya itu yang memang berstatus single. Tapi, Dheanda masih tak mengerti dengan respon Pak Bosnya itu.
Apa jangan-jangan…
Editor : Erna Hidayah