Dalam kehidupan, manusia tentunya menginginkan kehidupan yang layak. Untuk mencapainya, membutuhkan usaha yang direalisasikan dalam bentuk pekerjaan atau profesi. Dimana, setiap orang pasti menginginkan posisi kedudukan yang layak dalam kehidupan. Namun, tidak semua dapat terwujud dalam realita. Banyaknya tuntutan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang ada.
Jatuh bangun dalam menekuni sebuah profesi, merupakan usaha yang harus terus dijalani. Banyaknya rintangan, tidak menyurutkan semangat seorang dalam mencapai keinginan. Seiring berjalanya waktu, kebutuhan hidup kian bertambah. Banyaknya tuntutan kebutuhan, membuat setiap orang gigih dalam menekuni suatu pekerjaan.
Seni merupakan suatu ketrampilan, bakat yang dimiliki oleh seseorang. Dalam sebuah pekerjaan, tentunya seni termasuk unsur terpenting di dalamnya. Salah satu profesi yang di dalamnya membutuhkan seni yakni penari. Penari identik pada pertunjukan pentas untuk mengisi suatu acara. Dengan berpakaian yang menarik, gerak-gerik yang lincah, serta keluwesan badan membuat ciri tersendiri pada penari.
Jika kita menyaksikan pentas seni tari dalam sebuah acara, kali ini penari ada di jalanan, atau biasa dikenal dengan penari jalanan. Figur seorang penari jalanan telah melekat pada Suwirno seorang bapak rumah tangga yag berusia 34 tahun. Meski sebagai penari jalanan yang ada di lampu merah, Ia menekuni hal tersebut sudah 1,5 tahun lebih. Suwirno berasal dari Petarukan, Kabupaten Pemalang yang menjemput rejeki di Pekalongan, tepatnya di perempatan lampu merah Grogolan. Ia memilih profesi penari jalanan karena dianggap dapat menghibur orang saat di perjalanan.
“Saya sudah menekuni menjadi penari jalanan sudah 1,5 lebih, jika ini sampai tahun baru genap 2 tahun” terang Suwirno yang di temui saat istirahat di gang dekat lampu merah, pada hari Selasa ( 14/ Desember/ 2020)
Ia memiliki empat orang anak serta seorang istri rela banting tulang demi keluarganya. Anak sulungnya telah bekerja, Anak yang nomor dua, masih menempuh pendidikan di pesantren, sedangkan dua sisanya masih ikut dengannya. Dalam kesehariannya menari di jalanan, Suwirno ditemani sang istri dan dua orang anak yang umurnya 5 tahun, sedangkan si bungsu 3 tahun. Anak seusia mereka yang semestinya mulai memasuki dunia pendidikan, malah justru mengikuti kedua orang tuanya di jalan untuk mencari uang.
Sebelum terjun menjadi penari jalanan, Suwirno pernah bekerja sebagai buruh. Upah buruh yang minim, seharinya hanya Rp. 75.000,00 dianggapnya kurang untuk memenuhi kebutuhan seorang istri beserta empat orang anaknya. Tidak hanya sebagai buruh, ia juga pernah sebagai penjahit yang upanya Rp. 900.000,00 per bulan. Menurutnya, upah tersebut juga belum mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Akhirnya ia merantau ke Pekalongan sebagai penari jalanan dengan modal nekat.
“ Dulu saya bekerja sebagai tukang jahit, namun pendapatannya kurang mencukupi untuk keluarga,” tambahnya
Suwirno yang tidak memiliki kerabat di kota perantauan ini pun memutuskan tinggal di kos-kosan yang per bulannya ia harus membayar Rp 400.000,00. Meski terbilang cukup mahal, namun Suwirno gigih untuk tinggal di kos-kosan tersebut. Dalam menjalani pekerjaannya, ia mulai tampil di jalan dari 9 pagi hingga pukul 9 malam. Penghasilan yang di dapat pun tidak menentu. Paling banyak, bisa mendapat Rp 150.000 per hari, sedangkan penghasilan yang didapat selama seharian bisa juga Rp 50.000,00 per hari. Selain bersama keluarga, ia juga tampil di jalanan bersama temanya bernama Agus. Tanpa adanya latihan khusus, mereka langsung nekat terun ke jalan. “ dalam sehari terkadang mandapat lima puluh ribu sampai seratu lima puluh, ya tidak menentu juga “ terangnya.
Pergantian tampil tari yang dilakukan oleh Suwirno dengan Agus dilakukan setiap 5x lampu merah. Berbeda dengan Suwirno yang baru menekuni tari jalanan, Agus justru telah menekuni tari jalanan selama 15 tahun. Pernah, mereka diajak untuk bergabung di sanggar tari. Namun, mereka menolaknya dengan alasan bahwa jika di sanggar tari, tidak memperoleh upah yang ada hanya latihan secara rutin.
Selain itu, Suwirno bersama temannya juga pernah mendapat tawaran untuk mengisi tari di sebuah acara. Tawaran tersebut, mereka tolak karena tidak percaya diri jika tampil di keramaian dalam sebuah ruangan. Sehingga, sampai saat ini Suwirno tetap lebih memilih sebagai penari jalanan. “ saya tidak mau untuk bergabung dengan sanggar tari, karena di sanggar kita harus latihan terus. Selin itu, bayarannya sedikit, gimana nanti untuk menafkahi keluarga saya,” jelas Suwirno.
Wajah yang dihias, selendang tari yang mengikat di pinggang, serta pakaian yang layaknya penari, menjadi ciri khas dari penari jalanan. Selain tu, gerak kaki yang lincah, keluwesan tangan, serta tepatnya gerakan dengan iringan musik, menjadi modal utama penari jalanan. Keunikan penari jalanan ini terletak pada atraksi yang ditujukan langsung di aspal jalan raya. Dimana, jika salah dalam gerakan atraksi, bisa membuat tubuh cidera.
Telah berkali-kali Suwirno mengalami cidera pada tubuhnya. Kaki yang memerah, muncul adanya benjolan di punggung, sudah menjadi resiko dari penari jalanan. Namun, ia tetap menekuni profesi penari jalanan sampai saat ini. Saat cuaca terik, keringat yang bercucuran, tidak menyurutkan semangatnya dalam mengais rezeki. Tidak hanya itu, teguran pun sering kali ia terima dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menyuruhnya untuk beralih ke profesi yang lain karena khawatir mengganggu suasana jalan serta menyebabkan keributan.
“ Satpol PP, memberikan solusi hanya menyuruh mencari pekerjaan lain, namun tidak mencarikan solusi pekerjaannya,” ucap Suwirno, penari jalanan
Saat di panggil ke kantor PP, ia mengaku bahwa ia termasuk peminum. Namun, tujuannya hanya sebagai stamina, agar tidak merasa sakit saat menampilkan aksi tari di jalanan. Dimana hal ini menimbulkan kontroversi dengan Satpol PP, karena di wilayah tersebut banyak pengamen lainnya yang melakukan hal yang sama dan menimbulkan kegaduhan di jalanan. Sebagai ketua jalanan, ia memiliki tanggungjawab yang besar untuk mengatur wilayah di perempatan lampu merah. Sering kali memenuhi panggilan ke kantor PP, bahkan berurusan dengan polisi membuat Suwirno mengundurkan diri sebagai ketua yang kemudian dilimpahkan kepada temannya, Agus.
Keluh kesahnya memuncak saat awal adanya Ppandemi. Penghasilan yang di dapat mengalami penurunan. Banyak orang yang enggan untuk memberi imbalan atas jasa seni tari yang ditampilkan Suwirno. Mereka merasa takut saat berinteraksi dengan orang yang dianggapnya akan memicu penularan virus covid-19. Terlebih lagi saat musim hujan tiba. Derasnya air hujan disertai dengan kilatan petir yang sesekali terdengar nyaring di telanga, membuat degup di jantung, mengakibatkan Suwirno tidak dapat menampilkan seni tari di jalanan.
Namun, seiring berjalannya waktu dengan keadaan yang mulai kembali normal pengendara mulai terbiasa dengan memberikan imbalan kepada penari jalanan. Bagi Suwirno, berapapun penghasilan yang ia dapat, tujuannya memilih sebagai penari jalanan adalah untuk menghibur pengguna jalan.