Selalu, saat matahari mulai bersembunyi, ibu mencariku sampai ke sudut-sudut kampung, tempatku biasa bermain. Menanyakan keberadaanku pada tetangga, dari satu rumah ke rumah lain. Diusia yang hampir setengah abad itu, ibuku masih selalu terlihat ayu, meski beberapa helai rambutnya sudah memutih, bahkan wajahnya pun tak sekencang sepuluh tahun silam, tapi ia selalu terlihat ayu di mataku.
“Lee, balik, wes sore. Ndang adus,” ujarnya dengan tatapan mata yang berkeling, nampak kasih sayang.
Karena terbiasa mendengar panggilan itu, tubuhku bergerak sendiri menuju ke arahnya, berhenti bermain dan lantas pamit pulang pada teman-teman. Kami bergandengan, melangkah menuju rumah.
“Bu, kulo wau dolanan petak umpet. Yusril rayine Pak Sodik masang ora nemu aku umpetan ning jeru tong,”
Ceritaku panjang lebar dan antusias pada ibu, seperti biasanya dalam perjalanan menuju rumah. Ibu adalah pendengar yang sangat baik, ia bahkan sering bertanya ketika aku tidak bercerita tentang apa yang sudah kulakukan hari ini. Jadi ketika selesai bermain dan kami berjalan pulang, aku sudah mempersiapkan hal-hal yang akan kusampaikan pada ibu.
“Wis, Lee. Rono adus. Anduk ning sampiran mburi, ojo lali klambine digletakno ning ember,” ujarnya.
Tidak terasa setiap kali kami pulang bersama, waktu begitu singkat. Mungkin karena keasikan bercerita.
“Njih, Bu. Adek tak siram rumiyin.”
Di dalam rumah, bapak sedang duduk di ruang tamu. Ditemani wedang kopi dan buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Bapak tidak melihatku masuk rumah, bahkan mungkin derit pintu ketika dibukapun, bapak tidak mendengarnya karena ia terlalu fokus dengan buku bacaan. Hanya sesekali melihat cangkir berisi kopi yang hendak diminumnya.
Setelah selesai membersihkan badan, pasti ada aroma bumbu masakan yang sangat menyengat, yang datang dari dapur tempat ibu biasa memasak dan menyiapkan makan malam kami.
“Wah Ibu, tasik damel nopo niku?”
Aku terkejut melihat ibu memasak tidak seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat ibu mengulek bumbu dicampuri kacang yang barusan digoreng.
“Hayo opo Lee?” Ibu malah balik bertanya kepadaku, dengan memberi senyuman. Ia mencoba meledekku yang belum pernah melihat ibu mengulek bumbu dicampur kacang goreng.
“Ah Ibu! Ibu masak nopo?” Tanyaku lagi dengan rasa agak kesal.
“Iki namane pecel, Lee.”
Baru kali ini aku mendengar kata pecel, dan ini kali pertama aku akan merasakan makanan yang bernama pecel.
Setelah ibu selesai memasak, aku membantu ibu membereskan alat-alat dapur yang digunakan untuk membuat pecel tadi, ketika semua sudah rapi ibu menyuruhku untuk berangkat ke masjid.
“Wis Lee rono karo Bapak, maring masjid, wis meh magrib,”
“Njih Bu,”
Aku pergi ke kamar mengambil peci dan sarung lorek batik hadiah sunatan dari Mbok Sih, kakak dari ibuku. Di depan rumah bapak sudah menungguku dengan sepeda tua tahun 80-an, aku langsung naik dan diboncengkan menggunakan sepeda tua miliknya.
“Berangkat!” Seruku kepada bapak.
Jarak dari rumah menuju masjid agak jauh, sekitar 4 kilo meter, butuh waktu 17 menit untuk sampai ke sana. Aku dan bapak harus melawati tanjakan yang jalannya beralaskan tatanan batu khas pedesaan, serta satu jembatan bambu yang lebarnya hanya satu meter, melintang diatas kali. Dalam perjalanan bapak berhenti mengayuh sepedanya.
“Lee, ono opo kae?” sentak bapak tiba-tiba bertanya padaku.
Sekitar seratus meteran dari tempat kami berdiri terlihat kebulan asap yang sangat hitam pekat, mengulung ke langit yang berwarna jingga. Bapak tiba-tiba membelokan sepedanya ke gang arah asap tersebut, banyak orang mulai berlarian membawa ember dan berteriak.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”
Suaranya sangat riuh. Dari suara teriakan, kentongan isyarat kebakaran, dan suara azan magrib yang sedang berkumandang. Kemudian bapak bertanya kepada seorang kakek yang juga sedang lari menuju arah kebakaran.
“Umahe sinten sing kebakaran, Mbah?”
Dengan terhela nafasnya, kakek itu menjawab,
“Umahe Mbok Rukni, pinggir sawah,”
Bapakku semakin terkejut karena Mbok Rukni adalah makdheku, kakak dari bapak. Ia kembali mengayuh sepedanya dengan kencang.
“Ya Allah,” ucap bapak. Melihat rumah kakaknya terlalap si jago merah, separuh lebih rumah bagian belakang sudah habis terbakar, hanya tersisa bagian ruang tamu dan teras rumah yang tidak tersentuh api.
“Lee, anteng kene yo, bapak tak rewangi mateni geni,”
Aku berdiri disebelah sepeda menyaksikan orang-orang berlarian mengambil dan membawa air. Aku terheran dengan yang dilakukan bapak, padahal beliau tidak bawa ember atau alat lain untuk mengambil air di kali kecil yang terletak disebelah sawah. Ternyata sambil berlari bapak melepas sarung yang ia kenakan dan membasahi seluruh sarung tersebut dengan air. Bapak ikut memadamkan, dengan cara memukul api yang berada di pinggir rumah menggunakan sarungnya.
“Antos-antos, Pak!” aku berteriak kepada bapak.
Ia hanya menggunakan celana kolor dengan baju koko dan mengenakan kupluk. Pakaian yang seharusnya digunakan untuk salat magrib di masjid, namun tidak jadi karena musibah ini.
Orang berdatangan semakin ramai, ada yang ikut membantu, ada juga yang hanya melihat dengan wajah terheran. “Kok biso kebakaran?” atau “Mbok Rukni ning ndi?” merupakan slentingan pembahasan orang-orang yang menonton kebakaran tersebut. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, memang benar tak terlihat makdhe di sekitar rumahnya.
Tiba-tiba suara tangisan terdengar sangat keras, ternyata makdheku berada di belakang kerumunan yang menonton. Ia baru saja pulang dari masjid. Ia menangis terisak-isak, tak kuasa menahan bulir bening yang keluar dari kelopak matanya. Beberapa tetangganya mencoba menenangkan makdhe, sedangkan Lek Rusdi, suaminya langsung berlari mencoba memadamkan api.
Tak sampai setengah jam berlalu, api bisa dipadamkan, hanya ruang tamu dan teras rumah yang tak ikut terbakar. Tidak ada korban dalam musibah ini, kedua anak Makdhepun belum mengetahui kalau rumahnya terbakar. i Habib anak pertama sedang menimba ilmu di kota, daerah Jawa Timur dan anak yang kedua Neinsyah berada di pondok pesantren.
“Gusti … umahku ….” ucapan makdhe dengan tangisan yang tak kunjung henti.
“Sabar mbak. Istighfar …,” saut bapak mencoba menenangkan makdhe.
“Umahe mbak, Dek …,”rintih makdhe terus tak terhenti.
Bapak berusaha menenangkan makdhe. Aku hanya bisa melihat dan berdiri di sebelah bapak, tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Lek Rusdi mencoba mengumpulkan barang berharga yang masih bisa diselamatkan dari puing-puing sisa kebakaran, untung saja beberapa surat berharaga seperti sertifikat dan tabungan tidak ikut terbakar. Lek Rusdi menyimpannya dalam kotak besi khusus yang ada di bawah lantai kamarnya.
Suara azan isya berkumandang sedangkan aku dan bapak belum menjalankan salat magrib.
“Pak, sampun isya niko,” ujarku kepada bapak.
“Iyo Lee, gapopo,” jawab bapak merespon perkataanku.
Bapak masih mencoba menenangkan kakaknya yang tak kunjung berhenti menangis. Setelah beberapa saat, makdhe akhirnya bisa berhenti dari tangisnya. Bapak mencoba menawarkan kepada Lek Rusdi dan makdhe untuk tidur sementara di rumah kami.
“Kang Rus, kalih Mba. Istirahat ten grione kulo rumiyin mawon.”
“Iyo dek, ngko mbak tak nunut ndingin yo?”
“Yawis mbak iki wis ndalu, tak rewangi nggowo barang-barenge,” ajak bapak kepada makdhe.
Aku dan bapak pulang terlebih dahulu menuju rumah, makdhe dan suaminya masih mengemas barang yang sekiranya bisa dibawa. Aku mencoba mengajak ngobrol dengan bapak,
“Pak, melas makdhe njih,”
“Iyo, Lee. kabeh musibah iku ora ono sing ngerti, tapi saorane yen kowe biso bantu, mbuh sopo wonge sak bisomu dibantu.”
Perkataan bapak hanya bisa membuatku menjawab kata “Njih, Pak,”
Sesampainya dirumah, ibu sudah berada di ruang tamu menunggu kepulangan kami,
“Assalamualaikum,” salamku sambil membuka pintu.
“Waalaikumsalam,” jawab ibu, sontak saja ibu langsung bertanya kepada bapak “Mbak Rukni, pripun Pak?
“Ngko Mbak Rukni karo Kang Rusdi turu neng kene, Bu. Tulung kamar sing kosong kae dirapikno, karo Tole yo Lee. Bapak tak resik-resik awak sekedap, terus ngko salat isya karo salat qodho magrib bareng yo, Lee.” Pesan bapak dengan pakaian yang kotor penuh debu.
“Njih, Pak,” jawabku sambil menuju kamar yang ingin dibersihkan bersama ibu.
Satu jam kemudian makdhe dan pakdhe sampai ke kerumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalikumsalam,” jawabku sambil membuka pintu.
“eh makdhe, pakdhe mplebet mriki dhe…” ajakku kepada makdhe dan pakdhe.
Ibu sudah menyiapkan wedang teh anget di ruang tamu, dan beberapa kletikan emping mplinjo yang sudah diberi rasa asin manis. Setelah makdhe dan pakdhe duduk, mulailah mereka bercerita kenapa bisa terjadi kebakaran. ternyata makdhe sebelum berangkat ke masjid sedang memasak air di pawon dan lupa, sebelum ia tinggal ke masjid apinya tidak dikecilkan terlebih dahulu.
“Oalah Mba, yo iki gawe pelajaran dewe kabeh, ben sesok maneh ngati-ati. Mugo ora kedaden maneh,” terang bapak setelah mendengar penjelasan makdhe dan pakdhe.
Sebelum tidur kami makan bersama masakan ibu, yang ia buat tadi sore. Setidaknya untuk saat ini kami bisa menenangkan pakdhe dan makdhe, untuk mengobati rasa sedih mereka.