Beberapa hari lalu Indonesia tengah dirundung masalah, bahkan sampai hari ini, Bumi Pertiwi masih ‘menangis sesenggukan’. Kemunculan aksi demo dari mahasiswa dengan dimotori semangat #GejayanMemanggil hingga menyebabkan gedung DPR/MPR dibanjiri mahasiwa, juga membuat kelompok lain ikut menyuarakan pendapat. Kelompok yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni (PA) 212 akhirnya memutuskan pula untuk melakukan unjuk rasa.
Namun demo dari kelompok berisi mayoritas muslim tersebut justru dianggap netizen sebagai upaya merebut kekuasan karena ada yang menghasut dengan #TurunkanJokowi dan teriakan-terikan lain bernada mengecam pemerintahan Jokowi diduga muncul dari aksi mereka. Apalagi ada beberapa pihak menilai aksi yang melibatkan seorang muslim dengan tujuan mendemo pemimpinnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Mereka yang mencibir aksi demo itu memiliki segudang dalih, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis, ditambah soal isu radikalisme. Namun fokus tulisan ini bukan pada isu radikalisme, melainkan perihal muslim yang mendemo pemimpinnya. Memangnya kenapa kalau muslim mendemo pemimpin? Pertanyaan itu kerap mencuat, dan landasan hukum yang akan dipakai para ulama dalam menjawab pertanyaan tersebut ialah QS. An-Nisa’ ayat 59 berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu.”
Dari ayat tersebut muncul istilah ulil amri, dan para ulama sepakat memaknainya sebagai pemimpin diantara umat. Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab menguraikan definisi ulil amri secara terpisah. Ibnu Mandzur mengartikan bahwa uli ialah memiliki, dalam lisanul arab kata uli tidak bisa berdiri sendiri alias harus ada pelengkap. Sementara definisi al-amr menurut Ibnu Mandzur ialah seorang memimpin pemerintahan apabila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya kepada rakyat.
Melihat uraian ihwal ulil amri dari Ibnu Mandzur tersebut bila selanjutnya diadaptasi ke Indonesia merujuk pada dua lembaga, yaitu eksekutif dan legislatif. Eksekutif berarti presiden sementara legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Otomatis QS. An-Nisa ayat 59 memerintahkan umat Islam untuk patuh kepada dua lembaga itu. Tetapi kenyataannya baik eksekutif maupun legislatif sering berlaku zalim, apakah muslim harus menaatinya?
Rasulullah Saw. dalam hadisnya menerangkan kriteria pemimpin yang harus ditaati. Diriwayatkan Muslim dari Auf bin Malik berkata saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian.
Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Kemudian para sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah, bolehkan kita menyatakan perang kepada mereka saat itu? Beliau menjawab,’Jangan! Selagi mereka mengerjakan salat di tengah-tengah kalian.”
Dari hadis tersebut, secara eksplisit umat Islam diperintahkan untuk taat pada pemimpin yang masih menegakkan salat. Beruntung Indonesia dipimpin oleh seorang muslim yang apabila sesuai syariat mengerjakan salat. Tapi perkara mengerjakan salat ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah, apalagi salat termasuk interaksi vertikal yang sifatnya sakral antara muslim kepada Allah Swt.
Melalui hadis di atas umat Islam tidak dianjurkan memerangi pemimpinnya, walaupun saat ia berlaku zalim. Namun perang jauh berbeda dengan demo. Perang timbul dari konflik dan rasa tidak terima, ditambah hasrat untuk menjatuhkan dengan paksaan dan kekerasan. Demo lahir sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi yang dipilih Indonesia. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos” yang bermakna kekuatan atau kekuasaan.
Hampir semua ahli sepakat bahwa sistem demokrasi berarti kekuasan sepenuhnya di tangan rakyat. Sidney Hook secara lebih jelas menguraikan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung dan tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas kepada rakyat (Dwi Sulisworo dkk 2012, 3).
Menurut Democracy Index dirilis The Economist Intellegence Unit tahun 2018, indeks praktik demokrasi Indonesia masih rendah, yaitu di angka 6-7. Indonesia masuk kategori flawed democracies (cacat demokrasi) dan indeks demokrasinya masih di bawah negara-negara di Amerika Serikat, Australia, dan New Zealand dimana rata-rata indeks demokrasinya tembus angka 9.
Di Indonesia praktik demokrasi bertransformasi ke dalam wujud pemilihan umum. Warga Indonesia menyerahkan kekuasaan dengan memberikan suaranya kepada pemimpin, baik eksekutif atau legislatif di tingkat daerah maupun pusat. Wajar apabila rakyat mendemo pemimpinnya ketika ada kebijakan yang merugikan.
Emha Ainun Nadjib dalam salah satu video di channel caknun.com mengatakan kekuasaan pada pemimpin adalah titipan rakyat yang suatu saat bisa diambil kembali. Atau Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang selalu menggaungkan slogan “Tuanku ya Rakyat, Gubernur cuma Mandat”. Artinya, peran umat Islam untuk mewujudkan iklim demokrasi sangat dibutuhkan, salah satunya terlibat dalam unjuk rasa.
Pemahaman ihwal muslim yang tidak boleh demo kepada pemimpin perlu diluruskan. Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Asri Widayati dan Suparjan dalam The Reactualization of Nahdlatul Ulama Struggle in Realizing The Sovereignty of Agrarian Resources tahun 2019 mencoba mengkaji gerakan demokrasi radikal di tubuh kaum Nahdliyyin. Hasilnya, NU mempunyai Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang getol melayangkan protes dan kritik kepada pemerintah sejak 2013.
Tidak cukup sampai di situ, kalangan mahasiswa pasti tahu organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama juga kerap menggelar aksi demo. Terakhir, Banom yang identik dengan warna biru kuning itu melancarkan aksi unjuk rasa di Gedung Merah Putih KPK (cnnindonesia.com, 20 September 2019). Baik FNKSDA atau PMII keduanya menunjukkan bahwa muslim bisa melancarkan demo ke pemimpin tanpa ketakutan terhadap dalil.