Kapan kamu pakai rok? Adalah pertanyaan yang selalu saya dapatkan dari teman atau bahkan keluarga saya sendiri hampir setiap hari. Selain enggan memakai rok, saya pun tak pernah memakai make up dan berjalan layaknya laki-laki. Sampai-sampai teman laki-laki saya mengatakan “Jadi feminin dikit dong, kan kamu udah dewasa. Nanti nggak ada yang suka lo,” ujarnya ketika sedang berlangsung perkulihan di salah satu perguruan tinggi di Kota Pekalongan.
Selain saya yang sering mendapatkan ucapan seksis, teman laki-laki saya juga pernah mendapatkannya. Sebut saja Yahya (bukan nama sebenarnya) yang sering diejek hanya karena berlari seperti perempuan dan tidak memiliki suara yang tegas.
Adanya hal yang kami alami tersebut, mengingatkan sayadengan buku karya Mansour Fakih yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Di dalam buku tersebut terdapat penjelasan perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender.
Seks (jenis kelamin) terbentuk karena adanya kodrat dari Tuhan yang berupa jika perempuan memiliki vagina, ovum, serta bentuk tubuh yang bercirikan perempuan. Sedangkan laki-laki terbentuk karena mereka memiliki penis, sperma, dan struktur tubuh yang khas lainnya.
Berbeda dengan gender yang terbentuk karena konstruksi sosial. Misalnya perempuan harus memiliki hati yang lembut, keibuan, dan sifat feminin lainnya. Sedangkan laki-laki harus memiliki sifat berani, pemimpin, tegas dan sifat maskulin lainnya. Dan hal tersebut selalu diamini masyarakat dewasa ini dan berlangsung dengan jangka waktu yang panjang.
Melihat adanya teori terebut, nampaknya masyarakat kita belum paham betul mengenai konsep kesetaraan gender. Orang-orang sekitar kita beranggap jika perempuan yang memiliki sifat maskulin dinilai gagal menjadi perempuan yang seutuhnya. Begitu pun sebaliknya, jika ada laki-laki yang sering mengeluarkan air mata, maka mereka dianggap gagal menjadi pejantan yang sesungguhnya.
Jika kita berusaha menerapkan perempuan dan laki-laki yang selalu distandarisasi masyarakat pada umumnya itu artinya kita hanya membunuh diri kita secara perlahan. Tengok saja soal cengeng yang kesannya haram disematkan oleh laki-laki. Padahal, menurut penelitian, menangis bisa meredakan emosi dan menenangkan secara psikologis apapun jenis kelaminnya. Mungkin, itulah sebabnya rumah sakit jiwa kebanyakan pasien laki-laki karena mereka menganut paham masyarakat pada umumnya tersebut.
Tugas kita sebagai manusia adalah bukan memusingkan apa yang selama ini masyarakat anut, seperti yang dijelaskan diatas. Tugas kita yang paling utama adalah memanusiakan manusia, yang selama ini menjadi persoalaan utama sepanjang massa.
Seperti halnya pernyataan yang mengatakan jika kodrat perempuan ada di rumah dan mengurus tugas domestik. Bahkan ada yang mengatakan jika perempuan sebaiknya merelakan cita-citanya demi rumah tangga yang harmonis. Hal tersebut seakan-akan beban mengurus rumah tangga ada di pundak perempuan. Tak hanya itu, perempuan tak diberi kebebasan untuk menggapai semua mimpinya.
Contoh persoalaan memanusiakan manusia yang lain adalahketika ada argumen yang mengatakan jika orang yang menyukai sesama jenis adalah sesat lalu perlu dirukiyah agar (menurut penggagasnya) kembali ke jalan yang lurus. Adanya peristiwa ini adalah termasuk kekerasan karena seakan-akan kita tidak menghargai pilihan orang lain.
Begitu pun dengan kejadian seseorang yang keluar dari agama Islam. Sebut saja yang sedang viral akhir-akhir ini yaitu Salma Fina, anak pengacara kondang yang telah memilih kitab Injil sebagai pedoman hidupnya. Namun, bukannyadirangkul untuk tetap teguh menjalaninya, yang ada malah hujan hujatan yang diterima oleh Salma Fina.
Itulah yang menjadi tugas utama kita. Selalu merangkul mereka yang dikekang maupun yang tak sepaham dengan kita. Selalu memandang bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama. Dan yang paling penting adalah selalu menjunjung tinggi rasa kemanusiaan daripada stereotipe masyarakat pada umunya.