Bicara soal pendidikan Indonesia memang tak akan pernah habis. Mungkin hal ini dapat dideskripsikan hingga ayam jago bertelur. Banyak problematika yang harus diselesaikan mulai dari bangunan yang belum layak huni, penyebaran guru yang belum merata, hingga karakter para aktor pendidikan Indonesia. Kali ini saya ingin menuliskan tentang bagaimana karakter para aktor pendidikan Indonesia yang sering kali mencoreng nama pendidikan Indonesia.
Terlambat ke sekolah, tawuran antar sekolah, hamil diluar nikah, mencontek massal pada saat Ujian Nasional, hingga oknum guru yang melakukan pelecehan seksual adalah contoh-contoh tak terpuji yang tak patut ditiru yang kerap kali mencoreng nama pendidikan Indonesia.
Walaupun sudah diberi sanksi berulangkali dari pihak sekolah hingga pihak kepolisian, nyatanya hal-hal tersebut masih saja dilakukan berulangkali. Lalu apa yang salah dari pendidikan Indonesia? Apakah hanya pendidikan Indonesia saja yang harus dibenahi dalam membangun karakter bangsa Indonesia.
Pendidikan Indonesia hanya menekankan pendidikan intelektualnya saja. Pendidikan Indonesia kurang menerapkan pendidikan karakter yang dapat membantu mendongkrak integritas para pelajarnya. Hal ini bisa dilihat pada saat pendaftaran Sekolah Dasar.
Beberapa sekolah menerapkan lulus ujian tertulis sebagai syarat mendaftar sekolah tersebut. Dari awal saja sudah keliru karena lebih menekankan kebutuhan akademisnya saja. Abraham Samad dalam acara Talkshow Pendidikan Anti Korupsi di IAIN Pekalongan (17/1/19) juga mengatakan bahwa pendidikan Indonesia belum bisa menyeimbangkan antara pendidikan karakter dan pendidikan intelektual. Maka tak heran jika Indonesia sering menjuarai Olimpiade Sains kerena lebih menekankan kebutuhan akademisnya saja. Tak heran pula jika ada oknum pegawai pajak atau yang pejabat lainnya melakukan korupsi.
Memang jika bukan sistem pendidikan Indonesia siapa lagi yang dapat merubah karakter para aktor pendidikan Indonesia. Masih di acara yang sama, Abraham Samad mengatakan bahwa para pelajar Indonesia dalam kesehariannya banyak menghabiskan waktu di sekolah bukan di rumah. Untuk berkumpul dengan keluarga hanya ada waktu pada saat hari libur saja. Itupun jika mereka memiliki hari libur yang sama. Maka dari kenyataan tersebut mau tidak mau pemerintah Indonesia harus merubah sistem pendidikannya. Apalagi untuk jenjang SMA yang telah diterapkan sistem sekolah full day school.
Indonesia memang memiliki mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah, dan Pendidikan Agama. Materi-materi tersebut bahkan masih dipelajari hingga jenjang Perguruan Tinggi. Seperti mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk para pelajarnya memiliki mental yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Lalu mata pelajaran Sejarah yang bertujuan untuk mengetahui kerja keras yang dilakukan oleh para pahlawan kita dan dapat ditiru oleh pemuda milenial. Mata pelajaran Pendidikan Agama juga ditujukan agar pelajar atau mahasiswa Indonesia berpegang teguh sesuai agamanya masing-masing.
Memang tidak salah mempelajari mata pelajaran tersebut. Namun nyata progam-program tersebut belum bisa mendongkrak karakter para aktor pendidikan bangsa ini untuk menjadikan Indonesia lebih hebat. Selain itu, sistem yang digunakan kurang efektif. Sistem pembelajarannya masih mengandalkan teori. Para pelajar atau mahasiswa cenderung hanya mendengarkan ceramah dari para guru atau dosen yang bisa dikatakan masuk telinga kanan keluar telinga kiri dan jarang di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas sistem pendidikan karakter yang bagaimana agar dapat mendongkrak karakter para aktor pendidikan Indonesia?
Bicara soal pendidikan juga tak lepas dari program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Pergantian pemerintahan berulang kali nyatanya belum bisa merubah pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi bahkan cenderung berjalan di tempat. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh sistem pendidikan karakter di Jepang. Tak ragu memang untuk memuji soal kedisiplinan di negeri sakura ini. Seperti yang dilansir di IDN Times bahwa disana, para pelajarnya dituntut untuk tiba di sekolahnya pukul 08:30. Jika ada siswa yang terlambat lima kali, maka harus menjalankan konsekuensinya yaitu berangkat lebih awal lagi dan membersihkan sekolahnya.
Masih dari sumber informasi yang sama, negeri matahari tersebut melarang siswa yang masih duduk di tingkat menengah untuk melakukan pacaran. Tujuannya agar tidak menggangu aktivitas belajar mereka. Berbeda jika di negeri kita, masih duduk di tingkat SMP saja sudah ada yang hamil diluar nikah. Selain itu, sekolah di Jepang ada program yang bernama souji, yaitu disana terdapat regu-regu untuk membersihkan sekolahnya mulai dari ruang kelas, ruang guru, hingga toilet. Program ini dilakukan setiap hari setelah jam makan siang selama 30 menit. Karena ada program tesebut, sekolah di Jepang tidak memiliki petugas kebersihan.
Di Jepang pula, jika ketahuan mecontek maka pelaku akan dibuat malu, dikenakan sanksi sosial dan bahkan dikeluarkan dari sekolah. Program ini sangat direkomendasikan oleh pemerintah Indonesia untuk mengadopsinya. Hal ini mengingat karena aksi kecurangan tersebut kerap terjadi di Indonesia pada saat ulangan harian, mengerjakan tugas, bahkan dalam Ujian Nasional yang tak jarang ada aksi contek massal.
Selain Jepang, pemerintah Indonesia juga bisa mencontoh dari negara-negara lain yang sukses menerapkan sistem pendidikannya seperti Finlandia. Tak ragu memang jika ingin mencontoh di negeri seribu danau tersebut karena telah mendapatkan predikat dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pemerintah Finlandia berusaha menciptakan sekolah yang ‘menyenangkan’. Mulai dari biaya pendidikan yang gratis, jam belajar yang singkat, hingga para gurunya yang jarang memberikan pekerjaan rumah atau tugas rumah.
Tak hanya hal-hal tersebut yang bisa menjadi acuan. Masih banyak contoh atau program pendidikan Indonesia yang dapat diterapkan di negeri tercinta ini sesuai kebutuhan dan kebudayaan yang berlaku. Namun, jika hanya merubah nama kurikulum tanpa adanya merubah sistemnya bisa jadi pendidikan Indonesia hanya jalan di tempat. Semoga pemerintah segera sadar untuk merubah sistem pendidikannya demi cita-cita kita di tahun 2045 dan tak lagi dinilai nihil dalam kekuatan pendidikan karakternya.