Meja kerjanya cukup berantakan. Cangkir bekas kopi semalam berada di samping kirinya bersama dengan setumpuk buku yang habis ia lahap semalam tadi. Sedang di samping kanan, gawai merek terkenal keluaran tahun kemarin tengah di charger pada rol yang ia kaitkan pada paku di atas meja, dikelilingi dengan kertas berisi coretan memenuhi sebagian besarnya. Ia berkali-kali mengusap rambut panjangnya hingga berantakan, bahkan kucir rambutnya hampir lepas, terlihat frustasi.
Matanya terus menatap ke laptop tanpa berkedip. Membaca berulang-ulang, apalagi yang harus ia tambahkan pada cerita pendeknya kali ini. Ia kehabisan ide, terlihat beberapa kali mengambil napas berat. Rambutnya yang lupa ia cuci sejak tiga hari yang lalu juga semakin terlihat tidak enak dipandang. Kantung matanya juga terlihat semakin menghitam.
“Mengapa tidak mengambil cerita dari hidupmu sendiri saja?” Suara seorang perempuan yang melangkah mendekat padanya semakin terdengar memekakkan telinga.
“Aku sedang pusing. Lain kali saja jika kau mau menggangguku,” jawabnya kesal.
“Makanya biar tidak semakin pusing. Mengapa kau tidak mengambil cerita dari hidupmu, lebih tepatnya tentang perasaanmu yang tidak tersampaikan sejak tujuh tahun yang lalu kepada lelaki itu?” Kata orang itu sambil melangkah keluar.
Ia mengingat sesuatu. Mengingat undangan yang tergelatak di sudut kanan meja kerjanya di kamar kost berukuran 3×4 meter ini yang sudah ia tempati sejak 2 tahun lalu. Sebuah undangan reuni. Jika ia datang, ia akan bertemu dengan cinta pertamanya. Lelaki yang barusan dikatakan oleh teman kost-nya.
Apa perasaannya masih sama? Seperti setidaknya empat tahun yang lalu, setelah satu tahun lulus SMA. Saat sekali, tidak sengaja lelaki itu menjatuhkan buku yang ia pegang untuk dibawa ke kasir saat ada bazar buku di stadion kota. Sejak saat itu, tidak pernah sekalipun temu menjumpai mereka berdua.
Haruskah ia datang? Untuk membuktikan apakah ia masih mencintai lelaki itu atau tidak? Memangnya itu penting?
“Tapi sebenarnya, aku sangat merindukannya. Dulu, bahkan setiap hari aku selalu melihat senyumnya dari kejauhan.” Ia kembali mengambil nafas berat.
Benar, sudah tujuh tahun. Sekalipun ia tidak pernah mau membuka hati untuk orang lain. Ia pikir mungkin karena hanya sedang tidak ingin berurusan perihal asmara. Sepertinya ia memang perlu memastikan. Ia besok harus datang, setidaknya sekali lagi.
***
Aula bercat putih bersih itu kini sudah penuh dengan tamu undangan. Salah satunya ia, Kinanti, dengan dress dusty pink-nya melangkah anggun menuju meja prasmanan. Ia kehausan karena dari pagi sibuk merias wajah yang biasanya tampil tanpa make up, bahkan ia tidak sempat sarapan. Semoga ia akan baik-baik saja hingga acara selesai.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkali-kali memutar bola matanya. Mengikuti langkah beberapa teman angkatannya yang terlihat anggun dengan dress yang melekat pada tubuh mereka atau memperhatikan kaki jenjang mereka yang sangat terlihat cantik dipadukan dengan short dress dan entah sejak kapan Kinanti peduli soal fisik orang lain.
“Ah, aku bahkan terlihat tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” Gerutu Kinanti sambil melahap cookies coconut-nya.
Kinanti semakin tidak percaya diri. Terlihat beberapa kali menata rambutnya. Merasa masih kurang dengan penampilannya hari ini, setelah melihat teman perempuannya yang tampil lebih memukau dari dirinya. Padahal ia sudah sangat maksimal. Bagaimana tidak? Kinanti bahkan rela menyewa make up artists demi acara reuni hari ini. Ia ingin tampil menawan, terutama dihadapan cinta pertamanya.
Suara seseorang di panggung utama mengalihkan semua mata untuk melihat ke arah suara. Beberapa orang menghentikan obrolan mereka, namun ada juga yang masih asyik dengan lawan bicaranya. Kinanti juga sedang asyik memutar bola matanya.
Tanpa sengaja ia melihat Brenda, Brenda dulu adalah idaman para lelaki di angkatannya. Sepertinya tidak hanya angkatannya, bahkan satu sekolah. Sekarang bahkan terlihat semakin sangat cantik, Kinanti hanya tersenyum pasrah.
“Sudahlah, kau cukup cantik dari hari biasanya.” Gerutunya pada diri sendiri.
Kemudian ia mengingat momen saat cinta pertamanya hampir terjatuh di belakang kelasnya. Kinanti saat itu hampir tersedak karena menahan tawa. Namun sedetik kemudian, ekspresinya berganti menjadi tersenyum kecut. Di sana ada Brenda, menjulurkan tangan kemudian diraih oleh cinta pertamanya. Lebih sialnya, hanya Kinanti yang melihat momen romantis itu.
Kinanti juga pernah tidak sengaja melihat cinta pertamanya bersama Aruna, yang sekarang berdiri di hadapannya, hanya dibatasi meja prasmanan. Mereka kala itu, sepertinya sedang kencan. Karena Kinanti sering mendengar gosip kalau cinta pertamanya sedang dekat dengan Aruna, murid terpintar di jurusan IPA. Aruna juga cantik, rambutnya tergerai terlihat sangat terawat.
Kemudian ingatannya berputar lagi, mengingat ia hampir satu gerbong kereta saat Kinanti akan pergi ke luar kota. Ternyata saat itu, cinta pertamanya salah masuk gerbong. Saat itu Kinanti menyapanya, tapi malah mendapatkan respon dengan wajah bingung dari cinta pertamanya. Wajah Kinanti memerah, bukan karena tersipu, namun karena menahan malu.
“Harusnya kau tadi berada di dekat panggung. Aku yakin dia akan memilihmu untuk ikut bernyanyi di sana,” keluh Adis kepada Kinanti, saat acara perpisahan SMA.
“Sudahlah. Takdir memang tidak pernah berpihak kepadaku soal kisah kami,” jawab Kinanti sambil berlalu meninggalkan Adis yang masih dengan wajah menyesal dan meninggalkan penampilan cinta pertamanya yang sedang menyanyikan lagu Ingin Hilang Ingatan bersama teman perempuan mereka.
Tiba-tiba Kinanti merasa kepalanya sedikit pusing. Mungkin karena tadi belum sarapan dan juga pikirannya bekerja lebih berat hari ini. Semua ingatan pada masa lalunya pelan-pelan berputar pada pikirannya yang cukup menguras energi.
Kinanti terkejut, tas cangkingnya bahkan hampir terjatuh. Lelaki itu di sana, dekat dengan pintu masuk aula. Sedang tersenyum dengan lawan bicaranya yang entah siapa. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Kinanti bahkan tak mampu memutar bola matanya ke arah lain. Mata mereka terkunci.
Lelaki itu mendekat padanya. Namun, kepalanya semakin berat, bahkan lelaki itu terlihat ada dua. Terlihat semakin dekat, tangan lelaki itu menjulur seperti ingin meraih tubuhnya.
“Narendra, apa kabar?” Sapaan itu dibalas senyuman oleh cinta pertamanya sebelum akhirnya Kinanti jatuh tersungkur tanpa sempat Narendra meraih tubuh berisi milik Kinanti.
***
“Sudah bangun?” tanya teman kost-nya dengan wajah yang masih terlihat menyebalkan seperti biasa.
“Aku kenapa?” tanya Kinanti dengan wajah bingung.
“Kau pingsan karena terlalu pening memikirkan kelanjutan cerita pendekmu. Sudah kubilang ceritakan saja kisahmu sendiri, tidak sampai kau akan pingsan karena hal sepele seperti ini.” Terangnya sedikit menahan tawa.
Kinanti hanya tersenyum, “Untuk bisa mendapatkan segaris senyum dari Narendra saja, aku harus tidak sadarkan diri dulu.” Gumamnya sangat pelan, mungkin hanya Kinanti sendiri yang mendengarnya.