Siapa yang tak tahu, tentang
Nama yang mewangi sepanjang masa?
Pada nama yang berdendang dalam lagu, di hampar langit Nanggroe hingga Merauke
Sehari dalam setahun, bait puisi terbentang pada beledru bukit barisan
Tentang nama dari wajah ayu, yang berribu dalam foto dan lukisan
Tentang, bunda Kartini milik Pertiwi.. yang katamu
“Setiap keindahan adalah puisi, dan setiap puisi adalah nafas”
dan biarkan nafas itu berhembus untuk Kartini-Kartini muda Pertiwi
Penerus juang dan dharmamu
Izinkan kulangitkan harap lebih tinggi dari ceremony konde dan kebaya
Bukan sebagai tak setujuku, bukan..
Aku suka kebaya, dan budaya.. pun wanita-wanita lain
Tapi jauh dari itu,
Tentang brilian idemu,
Bara semangatmu,
Dan luhur budimu,
Kini banyak tak diamalkan, bahkan untuk dikenalpun.
Kartini-Kartini muda hanya satu dua yang hidup dalam hidup
Sisanya, mati dalam kedap-kedip mata
Mereka butuh hembus nafas juangmu, bunda
Sebab darimu yang empaskan kekang pingitan, mereka telah lupa
Dan lena dalam kebebasan.. laksana burung yang bebas kelana
Duhai ibu, ku tahu maksud baktimu…
Menentang dungu kaum hawa, dan bukan melepas mereka pada apa-apa
Dunia ini terlalu kejam untuk hawa, seperti yang kau kenalkan
Pada serat yang kau tuliskan di balik tembok-tembok tinggi duniamu
Tapi, tak satu dua dari mereka yang alfa
Melupa bakti dan juangmu ibu,
Mereka relakan tubuh-tubuhnya pada beringas dunia
Mereka relakan kecerdasannya ternodai giur duniawi
Ibu, izinkan nafasmu terhembus kembali
Menguapi jiwa-jiwa muda Kartini
Agar mereka terbangun, dari gegap gembita yang fana
Agar tersadar bahwa Pertiwi masih butuh juang
Seperti juangmu
Pemalang, 21 April 2019