Konon, Sisyphus adalah seorang raja yang dihukum oleh Zeus. Sisyphus diperintah supaya mendorong sebuah batu menuju puncak bukit. Anehnya, saat batu tersebut telah sampai di puncak bukit Zeus akan menjatuhkan lagi batu tersebut. Sisyphus pun turun kembali, mendorong lagi batu tersebut, sesampainya di puncak batu tersebut akan menggelinding lagi, dan Sisyphus akan mendorong kembali. Begitu berulang terus-menerus tidak pernah berakhir.
Dalam hal ini ada dua hal yang dapat dipelajari yaitu, pertama semangat Sisyphus yang terus mendorong batu meskipun tahu bahwa hal itu sia-sia. Kedua, kegiatan absurd tanpa makna. Meskipun Sisyphus tahu bahwa batu yang didorong akan terjatuh, dan diulang kembali, namun ia tidak bisa lari dari kenyataan tersebut. Kisah mitos ini menginspirasi Albert Camus merumuskan “absurditasnya”. Camus secara ringkas dapat dipahami dengan “ketika kita tidak menemukan makna dalam tindakan yang kita ciptakan, itu adalah gejala awal absurditas”.
Agaknya makna adalah persoalan personal. Setiap orang menciptakan makna masing-masing atas tindakannya, pun demikian penilaian atas kebermaknaan suatu tindakan. Namun paling tidak kita secara kolektif dapat menilai tindakan mana saja yang tanpa perlu perenungan panjang dapat dikatakan sebagai tindakan tidak bermakna (tentu dalam kerangka kisah Sysiphus di atas).
Keabsurdan Medsos
Dengan hadirnya medsos banyak orang yang berhasil memanfaatkannya misalkan, berbagi hasil karya (misal: fotografi, tulisan, humor, masakan dll), atau berdagang, atau berbagi informasi (suatu ilmu, kegiatan-kegiatan sosial, pengajian, seminar, diskusi, dll) sehingga banyak orang dapat mengambil manfaat darinya. Adapula yang berdoa di medsos, adapula yang mengeluhkan soal pribadi yang tidak ada kaitannya dengan hajat banyak orang, adapula yang spam status sementara sebagian orang terganggu dengan aktivitasnya dan unfaedah (meski spam status adalah hak segala bangsa).
Berdoa di medsos dan spam status unfaedah adalah hal absurd. Saya yakin orang yang berdoa di medsos secara sadar dan terjaga pasti tahu doanya tidak akan pernah di komentari oleh “Yang diminta” atau sekedar like statusnya. Meski demikian agaknya ada saja yang tetap melakukan hal absurd ini. Dia ulangi lagi mengetik doa di status, dia post kembali dan lagi-lagi tidak ada komentar atau sekedar like dari Tuhan.
Pertanyaannya adalah kenapa sebagian orang merasa religiusitasnya berada di ruang publik? Dengan berdoa di medsos misalnya. Banyak pula kita jumpai, tidak hanya foto di depan Eiffel, bahkan di depan Kakbah. Apakah alasan keberadaan (rasion d’etre) orang beragama didorong oleh kebutuhan publisitas? Agaknya ruang mesra dengan Tuhan yang privat dan tertutup telah koyak. Sementara kita sadar seberapa pun banyaknya keluhan dan doa kepada Tuhan di medsos tidak pernah semanfaat dengan doa yang dipanjatkan secara personal dengan ibadah tertentu, atau melalui medium (wasilah) para orang tua, wali, ulama dll.
Setiap hari, berapa banyak doa yang dipanjatkan dengan wasilah medsos? Sementara kita tahu bahwa Zuckenberg tidak pernah mengumumkan facebooknya adalah tempat peribadatan. Begitu pula kasusnya dengan spam status unfaedah, misalnya status bernada romansa personal yang ketika dibaca oleh orang ia akan merasa “Euh, apaan sih?” Biasanya ini terjadi pada orang yang tengah mengalami masalah kasmaran. Adapula status sindiran kepada seseorang atau pihak tertentu. Hal demikian pun absurd, apakah dengan demikian pihak yang dituju akan menghormati dan menyelesaikan persoalan? Semalas-malasnya, ada fitur pesan yang lebih privat dan spesifik sehingga persoalan secara langsung terbaca oleh pihak yang dituju sehingga kemungkinan terselesaikannya masalah lebih besar.
Sepertinya religiusitas dan problem personal tidak akan terselesaikan di ruang status. Ditambah dengan kesadaran bahwa doa tidak akan pernah dijawab disana bahkan sekedar emot atau komentar wkwkwk dari utusan Tuhan. Namun agaknya masih ada dan akan terus ada manusia demikian selama tidak segera sadar akan ketidakbermaknaan tindakan berdoa di medsos ataupun spam status unfaedah lantas memilih tindakan lain yang menginspirasi lebih banyak orang.
Penulis: M FAIRUZ ROSYID (Bojong, Kab. Pekalongan)
Penulis merupakan alumni dari IAIN Pekalongan tepatnya jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) tahun 2017. Kini dia sedang melanjutkan studinya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mengambil jurusan yang senada dengan studi sebelumnya.