Baru-baru ini Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi (Menristekdikti) menerbitkan Permenristekdikti No.55 Tahun 2018, tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam kegiatan kemahasiswaan di lingkungan kampus. Melalui peraturan ini pemerintah secara resmi mengizinkan organisasi ekstra kembali aktif dan masuk ke dalam sistem demokrasi kampus. Tujuannya tidak lain untuk menekan paham radikalisme dan intoleran di kampus.
Adanya peraturan tersebut mengingatkan kita pada cuitan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra di twitter beberapa waktu silam. Azra dalam cuitannya menilai berkembangnya paham radikalisme di dalam kampus disebabkan karena tidak adanya organisasi tandingan. Secara implisit Azra merujuk pada organisasi-organisasi seperti HMI, PMII, GMNI, dan lain sebagainya. Cuitan sang profesor memang bukan isapan jempol, karena nyatanya memang organisasi-organisasi yang kerap dinamai ‘Islam Kanan’ lebih dominan.
Kebijakan tersebut secara tidak langsung bisa menggugurkan peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Direktur Jendral No.26/DIKTI/KEP/2002. Peraturan yang terbit tahun 2002 itu menyebutkan bahwa pemerintah melarang organisasi ekstra kampus serta melarang parpol membuka sekretariat dan melakukan aktivitas politik praktis di dalam kampus. Guna mewujudkan Pembinaan Ideologi Bangsa, pemerintah lewat Permenristekdikti Nomor 55 mendorong pimpinan setiap perguruan tinggi membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) yang beranggotakan organisasi-organisasi mahasiswa, baik itu ekstra maupun intra. Namun apakah itu efektif? Apakah organisasi ekstra yang digadang-gadang mampu menekan gerakan radikalisme dan intoleran bisa berkontribusi nyata sesuai tugasnya? Lantas bagaimana nasib organisasi intra kampus, ketika organisasi ekstra bisa bebas beraktivitas didalam kampus?
Keterlambatan Regulasi
Kenapa baru sekarang regulasi itu terbit? Kenapa setelah ada aksi berjilid-jilid, pemerintah baru mengeluarkan peraturan? Itulah sederet pertanyaan responsif selepas munculnya Permenristekditi Nomor 55. Banyak pihak yang menganggap Menristekdikti terlambat mengeluarkan regulasi tersebut. Peneliti Terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional, Ali Asghar saat diwawancari media menilai legalisasi organisasi ekstra kampus bisa dibilang sangat terlambat dilakukan. Pernyataan Ali Asghar tersebut bukan tanpa dasar, hal ini sesuai dengan kondisi di Indonesia belakangan.
Pasalnya, organisasi-organisasi ‘Islam Kanan’ yang dicap radikal sudah mulai berkembang, bahkan diantaranya sukses mengakar di lingkungan kemahasiswaan. Sebut saja beberapa organisasi semacam Lembaga Dakwah Kampus, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan organisasi lain bentukan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin demi mendapatkan kader yang berasal dari kalangan mahasiswa. Kenapa organisasi ‘Islam Kanan’ mudah diterima oleh mahasiswa?
Agama adalah sandaran bagi umat manusia, agama juga memuat nilai-nilai pedoman (guidance) dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi bingkai untuk mendorong muslim berpijak pada kebenaran dan nilai-nilai “sakral” yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ajaran Islam menuntut interpretasi beragam dari para pemeluknya, sehingga dalam proses menginterpretasikan setiap ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, setiap muslim perlu pencerahan. Maka disitulah peran organisasi ‘Islam Kanan’ untuk membidik kaum muslimin, khususnya mahasiswa untuk dijadikan kader mereka. Kebutuhan mahasiswa akan ajaran Islam yang komprehensif ikut menjadi faktor mereka mudah terdokrin paham-paham yang berbau keislaman.
Din Samsudin dalam bukunya Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (2002) menerangkan secara gamblang, bahwa agama memiliki nilai-nilai kepatuhan dan ketaatan (normatif-substantif) yang diharapkan mampu direfleksikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Namun adakalanya representasi doktriner semacam itu masih melekat pada diri mahasiswa. Sehingga ajaran-ajaran tersebut dikonotasikan sebagai perintah yang wajib dilakukan karena mengandung sebuah kebaikan.Buahnya adalah semakin marak kajian-kajian keislaman yang tak terbendung di dalam kampus.
Mengenai hal ini, Lukis Alam (2018) pernah menulis bahwa kajian-kajian keislaman yang ditujukan kepada pemuda mampu memberikan dampak yang luar biasa. Intensifikasi dalam mengikuti kajian bisa berbuntut pada kebiasaan mempolarisasi sikap dan pengetahuan mereka terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu, pengaktifan kembali organisasi ekstra tandingan di dalam kampus terkesan terlambat.
Politik Praktis Mahasiswa
Legalisasi organisasi ekstra di kampus juga menuai dampak ke bidang politik, khususnya politik mahasiswa. Ternyata tidak hanya politisi yang mampu melakukan politik praktis, mahasiswa dengan segala kedigdayaannya juga tidak mungkin terlepas dari manifestasi politik praktis. Lebih-lebih pihak kampus telah menyerahkan sepenuhnya organisasi kemahasiswaan untuk dikelola oleh mahasiswanya sendiri.
Masuknya organisasi ekstra ke dalam lingkup kampus membuka lebar-lebar politik praktis di kalangan mahasiswa. Pintu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bisa saja mulai diketuk mahasiswa, terkhusus anggota organisasi ekstra. Mereka akan mampu menjalankan politik praktis ketika bisa menduduki jabatan penting di Pemerintahan Mahasiswa. Misalnya menjadi Presiden BEM atau menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Mahasiswa (DPM).
Para kader organisasi ekstra yang kebetulan berkesempatan menjadi petinggi sudah tentu akan memanfaatkan jabatannya. Serupa di pemerintahan kita, seorang pejabat yang berasal dari kelompok tertentu ketika dia sukses menjabat, mustahil dia bisa berlaku independen dan adil. Orang tersebut pasti akan memihak ke kelompok dimana dirinya berasal. Persoalan ini juga tidak lepas dari ingar bingar Reformasi 1998, perombakan segala aturan pada waktu itu ternyata menjadi titik awal timbulnya permasalahan-permasalahan lain di tahun berikutnya.
Kepmendikbud Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, disalah tafsirkan oleh mahasiswa sebagai pemberian kebebasan seluas-luasnya kepada mereka tanpa memperhatikan kedudukan, fungsi, dan tanggung jawabnya. Meskipun akhirnya pada 5 Juni 2002 terbit Keputusan dari Direktorat Jendral Nomor 26 yang membatasi pergerakan organisasi mahasiswa, terutama dalam hubungan melakukan politik praktis. Sekarang aturan tersebut kembali digugurkan oleh aturan terbaru lagi. Akankah organisasi ekstra lebih leluasa melakukan politik praktis?
Fanatisme Kelompok
Apa yang lebih berbahaya dari radikalisme? Pertanyaan serupa akan muncul ketika UKMPIB berhasil menumpas radikalisme dari dalam kampus. Tapi bagaimana dengan organisasi ekstra yang sudah terlanjur masuk kampus? Keterlibatan organisasi ekstra secara langsung di dalam kampus berakibat pada pengkotak-kotakkan mahasiswa. Mahasiswa akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dengan ideologi beragam. Ini tidak lain karena setiap organisasi ekstra memiliki idiom sendiri-sendiri. Proses pengaderan organisasi ekstra cenderung efektif menggaet anggotanya yang tidak hanya banyak, tapi militan dan mau berkorban untuk organisasinya.
Munculnya fanatisme ini sungguh berbahaya, apalagi bagi organisasi-organisasi yang minim kader. Mereka akan merasa risih karena kadernya sedikit, pergerakan mereka cenderung dibatasi. Sikap fanatisme yang berlebihan juga mengakibatkan mahasiswa tidak mau mengalah dan mementingkan ego mereka. Sebab setiap organisasi ekstra pasti menilai organisasinya adalah yang paling benar.
Perilaku seperti itu akan mulai nampak ketika ada isu-isu yang bersinggungan dengan ideologi mereka. Sebut saja semisal organisasi PMII yang berbasis AhlussunnahWal Jamaah, dan identik dengan ormas Nahdlatul Ulama, pasti akan geram ketika melihat ada orang yang mengutuk Banser dan hendak membubarkannya, karena dianggap membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid. Sontak PMII pasti akan membersamai Banser, dan tentu akan muncul sinisme antara mahasiswa yang tergabung dalam PMII terhadap mahasiswa lain, apalagi kepada mereka yang tidak mendukung aksi Banser tersebut.
Sikap fanatisme menjadikan mahasiswa sudah tidak bersih lagi pikiran dan tindakannya. Mereka sudah terkontaminasi dengan idiom-idiom yang sebenarnya tidak berbahaya, tapi karena sikap over-fanatisme, hal itu jadi mengerikan. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agent social of change dan berusaha menjelma sebagai penyambung lidah rakyat kepada penguasa kini merupakan kenisbian belaka. Jika sudah begitu apa fungsi mahasiswa? Untuk siapa mahasiswa itu berdemo?
Unjuk rasa yang kerap dilakukan mahasiswa, terutama mereka yang menenteng bendera-bendera organisasi ekstra itu, benarkah murni untuk membela kepentingan rakyat? Atau justru karena eksistensi organisasi mereka? Rupa-rupanya dampak semacam ini juga harus diperhatikan pemerintah, terutama Menristekdikti. Regulasi yang baru saja diketok palu itu musti kembali dipertimbangkan, dan seyogyanya selepas organisasi ekstra itu diizinkan beroperasi di dalam kampus, para pejabat perguruan tinggi, rektor dan jajarannya harus mampu mengawasi tindak-tanduk pergerakan organisasi ekstra.
Mengawasi bukan berarti mengekang ruang gerak mereka. Karena jika organisasi ekstra itu dikekang, akan menjadi blunder bagi kampus itu sendiri. Petinggi kampus cukup bersikap adil kepada mahasiswanya, meskipun diantara mereka pernah menjadi kader organisasi ekstra, selain itu pihak kampus juga wajib memberikan rasa aman kepada mahasiswa yang kebetulan tidak tergabung dalam organisasi ekstra. Mahasiswa semestinya mampu mewujudkan iklim diskusi yang tidak mengarah ke sinisme kelompok tertentu, sehingga tidak ada kelompok yang merasa disudutkan.