Fenomena pelaporan salah seorang wartawan kepada pihak kepolisian oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES) terkait dengan berita dugaan plagiasi Rektor UNNES Prof. Dr. Fathur Rokhman sudah cukup menjadi contoh kongkret pudarnya fungsi pers sebagai salah satu pilar ruang publik dalam kehidupan berdemokrasi. Pihak UNNES melaporkan wartawan serat.id dengan tuduhan melanggar pasal 27 ayat 3 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Tulisan tersebut dinilai merugikan Fathur secara pribadi maupun kelembagaan, bahkan Tempo melansir, berita tersebut menyebabkan penurunan minat pendaftar mahasiswa UNNES tahun 2018.
Pemilihan UU ITE sebagai dasar hukum untuk menjerat wartawan jelas keliru. Sewajarnya apabila ada wartawan yang bermasalah terkait karya jurnalistiknya, landasan hukum yang dipakai adalah UU Pers. Namun rupanya pihak UNNES menjadikan Surat Edaran Dewan Pers Nomor 371/DP/K/VII/2018 (tentang pentingnya identifikasi media) sebagai patokan, sehingga tidak mau menggunakan hak jawab pada serat.id. Mereka juga menganggap serat.id sebagai media sosial karena belum berbadan hukum dan terverifikasi oleh Dewan Pers. UNNES pun menilai berita tersebut sulit dibuktikan sebagai produk jurnalistik, alasannya sang wartawan belum mengantongi lisensi Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Terlepas dari seluruh alasan yang dilontarkan pihak UNNES, yang pasti dengan adanya kejadian itu kebebasan pers di Indonesia kembali dirongrong. Bukan tidak mungkin belenggu kebebasan pers pasca reformasi yang dibuang jauh-jauh akan kembali menjadi ancaman riil. Andaikan pelaporan-pelaporan terhadap karya jurnalistik terus memakai dasar hukum yang tidak pantas dan dimaklumi, niscaya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers selaku tumpuan awal kebebasan pers di Indonesia akan tergerus fungsinya. Apabila UU Pers sudah tidak lagi dipakai dan cenderung diabaikan, risiko terburuknya adalah UU tersebut bisa ditiadakan.
Kasus demikian ikut menambah deretan kasus-kasus lain yang kerap menjerat wartawan namun tidak sesuai prosedur pelaporan yang tercantum dalam UU Pers. Beberapa tahun lalu ada berita Panji Demokrasi yang dianggap mencemarkan nama baik DPRD Deli Serdang karena sebuah judul “Anggota DPR DS Saat Ini Bagaikan Nyamuk Penghisap Darah”. Kemudian ada kasus pencemaran nama baik oleh Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Karim Paputungan dan Suratman terhadap Megawati Soekarnoputri. Karim dijerat dengan pidana pencemaran nama karena sebuah laporan jurnalistik berjudul “Mulut Mega Bau Solar”. Sementara Suratman dijerat karena judul “Megawati Lebih Kejam dari Sumanto” (Margiyono, 2010).
Margiyono dalam bukunya Seri Reformasi Kebijakan Media: Kasus Pencemaran Nama menjelaskan kebanyakan kasus yang menjerat awak pers sering melupakan tahap pengajuan Hak Jawab. Padahal ketika pemberitaan berita atau karya jurnalistik baik media cetak, media siber, maupun media elektronik bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang, maka wajib mengajukan Hak Jawab. Regulasinya sudah diatur secara komprehensif dalam UU No.40 Tahun 1999 pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 tentang Pers. Ironis, meski sudah diatur undang-undang, tapi dalam prakteknya di lapangan kerap diabaikan.
Para pengacara media umumnya menggunakan Hak Jawab sebagai dasar pembelaaan. Seorang yang merasa namanya dicemarkan oleh pers, dilarang mengadu ke polisi atau menggugat secara perdata sebelum menggunakan Hak Jawab. Tanpa Hak Jawab, ia dianggap secara diam-diam membenarkan tuduhan dalam berita tersebut. Karena Hak Jawab merupakan prosedur yang wajib ditempuh sebelum seseorang melakukan langkah hukum.
Sayangnya hal itu kontradiktif dengan jaksa dan kuasa hukum penggugat. Pengacara penggugat selalu inkonsisten menggunakan Hak Jawab. Mereka berargumen bahwa Hak Jawab bukanlah kewajiban. Karena bukan kewajiban, penggunaan Hak Jawab tidak termasuk syarat yang harus ditempuh jika ada orang hendak melakukan langkah hukum apabila namanya dicemarkan oleh pers. Penegak hukum, baik polisi atau jaksa justru mengamininya. Mereka berdalih Hak Jawab bukan prosedur wajib bagi orang yang akan melakukan langkah hukum terhadap pencemaran nama oleh pers. Tidak memakai Hak Jawab bukan berarti seseorang tidak boleh melakukan langkah hukum (Margiyono, 2010).
Edmund Burke menyebut media (pers) sebagai the Fourth Estate (pilar keempat) yang berfungsi sebagai watchdog. Setiap pemerintahan modern tidak bisa dibangun tanpa memenuhi empat pilar. Pilar pertama hingga ketiga ada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sedangkan pers berada pada pilar keempat (Anshar Akil, 2014). Lalu bagaimana jika pers yang disebut Burke sebagai watchdog atau pengawas itu kinerjanya dibatasi? Disinilah UU Pers berfungsi.
Orang tidak bisa langsung melaporkan karya jurnalistik yang bermasalah kepada aparat kepolisian dan menjeratnya secara perdata. Apabila seorang hendak melaporkan tulisan berita yang bermasalah harus melalui Dewan Pers terlebih dahulu. Sebelum masuk ke persidangan, Dewan Pers yang berhak memutuskan apakah kasusnya layak ditindaklanjuti ataukah tidak. Tidak cukup sampai disitu, pertanyaannya sekarang adalah tulisan seperti apa yang masuk kategori jurnalistik?
Kasus Rektor UNNES yang tidak mau mengakui tulisan wartawan serat.id sebagai produk jurnalistik membuat saya pun berkesimpulan bahwa sekelas Rektor saja tidak mampu mengenali mana tulisan yang masuk golongan jurnalistik mana yang bukan. Kegagalan sebagian pihak memahami tulisan jurnalistik, sertifikasi media dan jurnalis membuat media-media rintisan, bahkan pers mahasiswa yang tidak berbadan hukum menjadi target pelaporan dan pemidanaan. Tidak hanya Rektor, masyarakat umum pun semestinya memahami betul tentang media (pers) dan regulasinya, sehingga tidak terjadi lagi salah lapor.
Penentuan sebuah tulisan layak disebut produk jurnalistik atau tidak bukan berdasarkan medianya berbadan hukum atau tidak. Bukan juga karena wartawan atau si penulisnya bersertifikat UKW atau belum. Tapi selama tulisan itu memenuhi kaidah jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, maka sudah bisa disebut produk jurnalistik. Mengenai ini masyarakat sering tertipu, mereka kerap mengonsumsi berita abal-abal yang berseliweran di media sosial dan memercayainya. Padahal bisa saja berita tersebut tidak memenuhi kode etik dan kaidah jurnalistik, misalnya tidak cover both side. Mustahil mau cover both side, terkadang berita di media sosial tidak mencantumkan narasumber, kalaupun mencantumkan paling hanya satu narasumber saja dan itu rawan menimbulkan konflik.
Sesungguhnya tidak mungkin Dewan Pers memasukkan media-media yang tidak mematuhi prinsip jurnalisme. Jika media tersebut belum berlisensi, Dewan Pers akan memasukkannya ke Kuadran II. Kuadran ini berisi media komunitas, media keagamaan, media pers mahasiswa, media kehumasan, dan lain-lain termasuk media yang sedang dalam rintisan maupun media yang belum terdata di Dewan Pers dan belum dinyatakan lolos verifikasi. Dewan Pers bertanggung jawab menjaga keberadaan media-media di Kuadran II, dan semua pengaduan terkait pemberitaan yang dibuat media di Kuadran II harusnya diselesaikan sesuai mekanisme pada UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pemakaian UU ITE menjadi landasan untuk memperkarakan jurnalis tidak akseptabel. Hakikatnya UU ITE hadir untuk meningkatkan efektivitas informasi dalam masyarakat. Tidak sepatutnya UU ITE menjadi momok untuk kebebasan berekspresi. Memakai UU ITE untuk menjerat wartawan selain sebagai tindakan preventif, juga melanggar UUD 1945 pasal 28F tentang hak warga negara mendapat informasi dan berkomunikasi. Harusnya pers, baik secara lembaga maupun pekerja tidak dibatasi ruang geraknya, karena sulit menghidupkan kembali ruang demokrasi publik yang ramah tanpa adanya kebebasan pers.
Masyarakat luas bisa lebih mencerna lagi, mana kiranya tulisan berbobot jurnalistik, mana yang tidak memiliki bobot jurnalistik sama sekali. Selain masyarakat, aparat harus lebih selektif dalam menangani kasus, mereka belum bisa menindaklanjuti perkara yang menjerat awak media jika belum disetujui untuk dilanjutkan oleh Dewan Pers. Seseorang yang hendak melaporkan perkara yang ada hubungannya dengan kerja media atau jurnalistik wajib mengikuti mekanisme sesuai UU No.40 Tahun 1999. Andaikata masyarakat kita sudah bisa menaati UU Pers, dari mulai petinggi, akademisi, hinggi rakyat jelata, maka pemerintahan kita benar-benar ideal dan tegaknya sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Andaikan kita belum mampu, sampai kapan pers akan terbelenggu?