Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Republik Indonesia kembali membuka akses aplikasi TikTok di Indonesia setelah belum genap sebulan diblokir. Aplikasi tersebut dibuka kembali oleh Kominfo persis setelah pihak TikTok mendatangi Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia, Rudiantara meminta untuk blokirnya dicabut. Dikutip laman resminya, Kominfo membuka kembali TikTok karena dari pihak aplikasi tersebut sudah berjanji akan berkomitmen untuk patuh pada peraturan pemerintah Indonesia. Padahal sebelumnya, pada 3 Juli 2018 TikTok diblokir karena dinilai banyak konten negatif dan berbahaya bagi anak.
Hal serupa tidak hanya terjadi pada TikTok. Aplikasi yang notabene mirip, yaitu Bigo Live juga tak luput dari blokir Kominfo dengan dalih yang sama. Namun, seperti TikTok, Bigo Live juga akhirnya kembali dibuka setelah pihaknya mendatangi Kominfo. Sejauh ini upaya buka-tutup aplikasi sering dilakukan demi mencegah cybercrime terus meluas di Indonesia. Niat baik Kominfo itu sayangnya tidak berjalan mulus, alih-alih mencegah cybercrime, blokir terhadap aplikasi hanya menghentikan pemakaiannya sejenak dan membuat para remaja serta anak-anak beralih untuk memakai aplikasi lain yang kadar bahayanya tidak jauh berbeda. Mirisnya lagi bila cara tersebut sudah dilakukan dan dianggap bisa menyelesaikan masalah.
Memang benar, memblokir aplikasi yang dinilai berbahaya bisa meminimalisir kejahatan siber. Tapi itu hanya sementara. Selanjutnya perlu ada cara lain untuk membendung kejahatan siber di dunia maya baik yang dilakukan pemerintah ataupun masyarakat. Cybercrime yang seringnya menyasar ke anak-anak dan remaja sejauh ini masih sulit dikendalikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya angka kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak dan remaja yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berdasarkan data KPAI di tahun 2012 kasus pornografi dan kejahatan siber mencapai 175 kasus, angkanya meningkat di tahun 2013 sebanyak 243 kasus, di tahun 2014 naik lagi menjadi 322 kasus, tahun 2015 melonjak hingga 463 kasus, dan yang paling banyak terjadi di tahun 2016 yaitu 587 kasus. Tidak hanya KPAI, Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Bareskrim Polri juga mencatat bahwa Kepolisian Republik Indonesia telah menangani sebanyak 1.763 kasus pornografi dan kejahatan siber di tahun 2017.
Melihat angka-angka tersebut, menunjukkan bahwa cybercrime masih riskan terjadi. Remaja dan anak-anak masih dihantui oleh para pelaku yang masih bergentayangan di dunia maya. Rupanya tidak hanya konten negatif dan pornografi, tapi cyberbullying dan human trafficking atau perdagangan manusia secara online juga tak ketinggalan ikut menjelma sebagai momok menakutkan bagi remaja dan anak-anak. Oleh karenanya, memblokir aplikasi dan media sosial saja belum cukup untuk menangani itu, wajib ada alternatif lain guna menyiasati cybercrime yang hampir tiap hari mengintai anak-anak dan remaja.
Banyaknya kasus kejahatan siber pada anak-anak dan remaja di Indonesia sudah tidak bisa dipungkiri. Mengingat angka penetrasi penggunaan internet di Indonesia dikuasai oleh para remaja pada rentan usia 13-18 tahun. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data penetrasi pengguna internet berdasarkan usia tahun 2017, yaitu dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia yang memakai internet, diantaranya ada 75,50 persen remaja usia 13-18 tahun. Tidak hanya sampai disitu, penelitian yang lebih mengejutkan muncul, yaitu penelitian bertajuk “Clinical Report: The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families” dari American Academy of Pediatrics berhasil mengungkap sebanyak 75 persen remaja di dunia memiliki ponsel pintar sendiri, dan 25 persen menggunakannya untuk media sosial. Dalam penelitian tersebut ada sekitar 22 persen remaja di dunia log in ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali sehari.
Dengan demikian, sebagian besar perubahan sosial maupun emosional pada remaja terjadi saat mereka berselancar di internet. Akibatnya remaja semakin rentan menerima tekanan dari orang lain. Ini jelas sangat berbahaya, dan riskan terjadi gesekan antar remaja yang berujung pada tindakan cyberbullying. Mau tidak mau, ini menjadi masalah yang harus segera diselesaikan. Tidak hanya pemerintah, peran orang tua juga sangat krusial dalam mengawasi anak-anaknya ketika bermain-main di dunia maya. Namun, meski begitu dalam hal ini orang tua juga tidak boleh terlalu mengungkung anaknya.
Michelle Wright, peneliti dari Penn State University dalam penelitiannya tahun 2018 menyebutkan peran orang tua yang terlalu restriktif justru sangat berisiko. Semestinya orang tua tidak cukup hanya membatasi dan terlalu overprotektif kepada anaknya dalam menggunakan media sosial. Melainkan harus mampu menjadi mediator atas anak-anaknya. Michelle Wright menawarkan metode coviewing dan mediasi instruktif yang fungsinya sama seperti dukungan sosial, sehingga memungkinkan bagi remaja untuk berbagi pengalaman mereka tentang cyberbullying dengan orang tua.
Metode yang ditawarkan Michelle ini melibatkan interaksi antara remaja dan orang tua, sehingga membuka peluang orang tua untuk membahas strategi efektif guna menghilangkan atau setidaknya mengurangi risiko cybercrime. Selama itu berlangsung, remaja akan merasa mempunyai kesempatan untuk memperoleh dukungan dari orang tua mereka mengenai paparan cyberbullying. Cara tersebut sekaligus bisa mengembangkan daya pikir remaja untuk memecahkan masalah dan mengasah keterampilan sosial. Hingga pada akhirnya orang tua dan anak bisa bersama-sama menggunakan media sosial untuk membahas konten yang tepat dan terarah. Jika cara ini coba diterapkan minimal bisa mengecilkan potensi anak terpapar cybercrime.
Disamping itu, pemerintah juga perlu mencari alternatif lain dalam menyiasati cybercrime pada anak. Tidak melulu memblokir aplikasi, tapi pemerintah pun bisa meminjam cara dari dua peneliti asal India. Prabakaran dan Shilpa Mitra, dua peneliti dari SRM Institute of Science and Technology Kattankulathur India ini berhasil melakukan penelitian tahun 2018 yang hasilnya cukup signifikan. Dari penelitian tersebut, keduanya mencoba menawarkan solusi untuk mendeteksi kejahatan di dunia cyber, yaitu melalui teknik Data Mining dan Machine Learning. Kedua teknik ini merupakan prosedur untuk menemukan desain atau pola dalam dataset besar termasuk strategi dalam konvergensi pembelajaran mesin dan kerangka berbasis data. Metode ini berurusan dengan indeks data yang luas untuk memahami garis besar dalam menangani isu-isu melalui pemeriksaan informasi sekaligus sanggup membantu menginvestigasi kejahatan secara lebih komprehensif.
Tentu tidak hanya Kominfo yang melakukannya sendiri. Namun Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai lembaga yang memang didapuk untuk mengurusi perkembangan dan penggunaan media siber di Indonesia harus ikut nimbrung. Perlu adanya kolaborasi antara Kominfo dan BSSN untuk mencegah sekaligus membunuh kejahatan siber terhadap anak-anak dan remaja. Sinergi keduanya sangat dibutuhkan, terutama sebagai pihak ketiga setelah orang tua. Jika semua berjalan sesuai tupoksinya, orang tua bertugas menjadi mediator mendampingi para remaja serta anak-anaknya dalam memakai media sosial, sedangkan Kominfo dan BSSN sebagai instansi terkait bertugas membendung oknum yang akan melancarkan tindakan kejahatan di media siber, niscaya Indonesia akan bersih dari cybercrime dan kroni-kroninya. Anak-anak pun akan merasa aman dan terlindungi saat mereka asik bermedia sosial.