Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim, seperti dilansir situs tempo.co mengatakan bahwa hanya sekitar 30 persen pelajar di Indonesia yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi, angka ini membuat Indonesia kalah jauh dari Korea dan Malaysia yang sudah mencapai 70 persen. Banyak pihak yang sudah menerka kalau itu disebabkan karena biaya kuliah yang semakin mahal. Misalnya saja di Universitas Brawijaya Malang, dilansir situs kompas.id, menyatakan bahwa salah satu kampus terbesar di kota Malang itu mematok biaya uang pangkalnya saja sampai Rp. 48,86 juta dan untuk biaya kuliahnya per semester sebesar Rp. 4,75 juta.
Sementara di Yogyakarta, tepatnya di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti dilansir situs tirto.id, di tahun 2013 biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) paling murah ada pada kategori lima,yakni berkisar antara 5,5 juta dan 22,5 juta. Walau  begitu, Ainun Naim justru tidak percaya alias menolak kalau ternyata biaya kuliah yang mahal itu menjadi faktor penyebab sedikitnya pelajar yang melanjutkan kuliah di Indonesia.
Ainun tetap yakin, kalau 5-10 tahun mendatang presentase pelajar yang kuliah akan meningkat, dia menargetkan pelajar yang bisa kuliah akan naik sampai 70 persen. Namun tetap saja, persoalan biaya ini menjadi persoalan yang mau tidak mau harus dihadapi bangsa Indonesia. Presiden Indonesia, Joko Widodo (baca: Jokowi) punya siasat untuk mengatasi persoalan ini, yaitu dengan mencanangkan Kredit Pendidikan untuk mahasiswa yang tidak sanggup membayar biaya kuliah. Rencana Jokowi ini masih menuai beberapa problematika. Apalagi karena sistem tersebut mengacu pada pola utang-piutang.
Amerika Serikat (baca: AS) dengan program student loan-nya itulah yang menjadi bahan rujukan Jokowi. Dilansir situs tirto.id, Perbankan AS berani mengeluarkan jumlah kredit pendidikan yang lebih besar dari total pinjaman bagi pengguna kartu kredit. Namun banyak analisis di AS pesimis, pasalnya mereka menilai program tersebut bisa berdampak buruk bagi perekonomian negara. Student loan yang diterapkan di AS ialah berbentuk pinjaman yang sanggup membuat mahasiswa menikmati pendidikan tinggi (hampir) gratis. Sebelum aktif kuliah, mahasiswa di AS yang bersangkutan menandatangani kontrak dengan bank, dan menyatakan bersedia untuk melunasi biaya pendidikan setelah lulus nanti.
Itulah yang akan diterapkan di Indonesia bila rencana Jokowi itu berhasil diwujudkan. Namun sebelum rencana itu naik menjadi usulan dan disepakati oleh perbankan, alangkah baiknya bila Jokowi memperhatikan beberapa hal, termasuk yang sudah terjadi di AS terkait student loan-nya. Menurut catatan Student Loan Hero yang datanya sudah diperbaharui pada Januari 2018 mengungkapkan total utang kredit pendidikan sekitar 44 juta mahasiswa di AS mencapai $1,48 Triliun. Nilainya jauh lebih banyak $620 juta dari total pinjaman kartu kredit. Washington Post justru menyebut angkanya jadi dua kali lipat sejak negeri Paman Sam itu dilanda resesi pada satu dekade silam.
Awal Maret 2018, Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell mengatakan nilai yang amat besar itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi negara dari tahun ke tahun. Dia juga menyebutkan saat diwawancarai CNBC, bahwa sebenarnya pembuat kebijakan tersebut juga pusing, namun mereka belum menemukan solusinya. Bagi Powell, problemnya bukan terletak pada utangnya, melainkan pada mahasiswa yang tidak sanggup melunasi utangnya sesuai perjanjian alias mengulur-ulur waktu. Student Loan ini juga bisa menjadi berbahaya, sebab ini adalah satu-satunya program peminjaman di AS yang tidak mengenal kebangkrutan, selain itu dengan rata-rata total peminjaman yang digelontorkan AS sebanyak $30.000 ini juga akan membebankan mahasiswa yang sudah lulus nanti.
Pertengahan Januari 2018, Brooking Institute merilis hasil penelitiannya yang cukup komprehensif mengenai persoalan ini. Mereka menganalisis tingkat default atau gagal bayar utang dari mahasiswa angkatan 1999 dan 2003. Ada empat jenis kampus yang menjadi studi penelitiannya, yakni mahasiswa kampus negeri yang masa kuliahnya empat tahun dan dua tahun, kampus swasta non-profit, dan kampus swasta for-profit. Dalam penelitian Brooking itu menunjukkan bahwa terjadi kenaikan tingkat gagal bayar utang keempat jenis kampus, jika bandingkan dengan angkatan 1995 dan 2003, pada periode 12 tahun usai menamatkan pendidikan tinggi.
Apa yang terjadi di AS dengan Student Loan-nya ini justru malah membuat Jokowi hendak menirunya. Sehingga memunculkan banyak respon yang beragam. Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Ph meragukan tujuan dari gagasan itu. Seperti dikutip tirto.id, Jimmy mempertanyakan dasar pemikiran Jokowi yang meminta perbankan membuat kredit pendidikan kepada para mahasiswa. Jokowi menganggap bahwa mereka yang ingin masuk ke perguruan tinggi berasal dari kelas menengah yang tersentuh akses perbankan dan mampu meminjam uang dalam bentuk kredit pendidikan. Selain itu, menurut Jimmy, mahasiswa yang sudah lulus kuliah pun belum tentu mendapat pekerjaaan yang berpenghasilan tinggi. Jimmy menuturkan, mahasiswa yang baru saja lulus S-1 penghasilannya sekitar 3-5 juta perbulan. Bila saat mereka berkuliah itu dari kredit pendidikan, maka akan menjadi beban mereka saat sudah lulus.
Dengan begitu, tak perlu dipungkiri lagi bila ide Jokowi itu akan sulit terlaksana. Terlebih bila menengok data dari Badan Pusat Statistik di salah satu wilayah di Indonesia, yakni di kota Surabaya pada tahun tahun 2017 sebanyak 5.780 sarjana tidak mendapatkan pekerjaan. Sedangkan di Bojonegoro, menurut Kasi Informasi Pasar Kerja dan Penempatan Kerja, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disbudpar) Bojonegoro, Sugi Hartono seperti dikutip jawapos.com mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 2017, pengangguran sebanyak 23.260 jiwa. Dari jumlah tersebut pengangguran yang berasal dari lulusan perguruan tinggi menyumbang 3.956 jiwa. Walau penyumbang angka pengangguran terbesar di Indonesia masih dipegang oleh lulusan SMK, yakni sebanyak 11,41 persen, namun tetap saja Kredit Pendidikan ala Jokowi masih perlu diperhitungkan.
Kenapa Jokowi harus memunculkan gagasan Kredit Pendidikan? Itulah yang menjadi pertanyaan besar. Bukankah di Indonesia punya program beasiswa, semacam bidik misi dan beasiswa-beasiswa lainnya? Lantas mengapa masih harus ada kredit pendidikan yang bisa menjadi beban bagi mahasiswa saat lulus nanti? Pemerintah, utamanya Jokowi nampaknya sudah mulai enggan mengeluarkan biaya beasiswa bagi mahasiswa. Padahal di Indonesia punya tiga beasiswa yang dapat dihandalkan dalam menangani persoalan biaya kuliah. Ada beasiswa LPDP (Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan) sebagai lembaga yang menyediakan beasiswa di Indonesia yang dibagi atas beberapa strata, wilayah, dan gender.
Pengoptimalan salah satu jenis beasiswa di dalam LPDP, yaitu Beasiswa Afirmasi bisa menjadi terobosan lain daripada menerapkan kredit pendidikan, yang belum tentu akan terjamah oleh mahasiswa yang berdomisili di daerah tertinggal. Beasiswa Afirmasi sendiri adalah beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa Indonesia yang berdomisili di daerah perbatasan dan daerah tertinggal yang memiliki indeks pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di bawah rata-rata.
Selain Beasiswa Afirmasi, pemerintah juga bisa mengoptimalkan beasiswa lain. Yaitu program Beasiswa Bidik Misi yang merupakan salah satu program beasiswa dari Direktorat Penidikan Tinggi (baca: DIKTI). Beasiswa yang ditujukan untuk mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi ini bisa menjadi alternatif cukup efektif, daripada musti mengeluarkan Kredit Pendidikan yang notabene menuai banyak polemik, serupa membebani mahasiswa setelah lulus, dan bahkan bisa mengganggu stabilitas ekonomi Negara yang menerapkan sistem tersebut. Selain dua beasiswa itu, dalam sebuah kampus tentunya juga mempunyai program beasiswa tersendiri.
Dengan banyaknya beasiswa yang melimpah ruah di Indonesia itu, ide kredit pendidikan Jokowi akan sia-sia. Kecuali kalau memang pemerintah Indonesia enggan mengeluarkan biaya banyak untuk pendidikan bagi mahasiswa yang ekonominya rendah. Sejatinya bila sistem beasiswa yang ada diterapkan secara semestinya dan tepat sasaran, Jokowi tak perlu meniru program Student Loan Amerika, yang jelas-jelas telah terbukti gagal diterapkan di negeri Paman Sam itu. Kita berharap saja, agar pemerintah terutama Presiden Jokowi bijak menentukan langkah yang akan diambil.
Bila nanti ternyata rencana Jokowi mengenai Kredit Pendidikan bisa naik menjadi usulan dan terwujud, maka negara harus siap menanggung resiko-resiko yang nantinya kemungkinan akan mencuat.
Dan apabila gagasan Jokowi itu mentok hanya menjadi sebuah rencana, maka pemerintah harus memberikan solusi lain agar mahasiswa yang perekonomiannya dibawah rata-rata mampu mendapatkan pendidikan setingkat perguruan tinggi. Kita tunggu saja…