Kalau negara lain mau menghapus pasal penodaan agama, terus Indonesia harus ikut-ikutan gitu?
Hari itu saya lumayan terkejut sih saat buka komputer di graha. Kebetulan juga saya hobi membaca berita di salah satu situs berita ternama, tapi nggak ternama-ternama amat sih (lha wong mahasiswa di kampus saya saja nggak semuanya tahu je). Kebetulan lagi beritanya ada tepat di laman utama situs web itu. Dan woila! Saya terkejut dengan munculnya berita tentang penghapusan pasal undang-undang penodaan agama yang jarene lagi rame-ramenya.
Wes lah memang ngunu iku Indonesia. Sebuah negara dimana pemerintahannya mudah sekali untuk hapus-usul secara asal undang-undang. Bak undang-undang itu seperti ikan mentah yang enak sekali untuk diapakan saja, digorengkah, dibakarkah, ditelan mentah-mentahkah. Mereka itu kadang asal buat kebijakan tapi kurang tahu resikonya (ingat loh ya kurang tahu). Saya sendiri juga tak tahu sih soal undang-undang, dan tak paham pula, tapi saya kan nggak duduk di bangku DPR, jadi ya sah-sah saja. Lah ya mereka itu loh yang harusnya paham betul apa yang hendak mereka lakukan terhadap undang-undang.
Oke, daripada saya terlalu banyak ndleming kesana kemari nggak jelas, mending langsung mengerucut pada pokok persoalannya saja. Baiknya saya mulai dengan contoh kasus penodaan agama yang cukup menghebohkan dunia. Adalah sosok seorang penulis, aktor, cum komedian terkenal asal Inggris, Stephen Fry yang diwawancari saat acara TV RTE di Irlandia. Dia mencaci maki Tuhan secara gamblang dan terang-terangan (doi tak punya lutut dan udhel kali ya?).
Cuplikan wawancara Fry itu sudah meluas sejak 2015, dan sepanjang tahun itu belum ada yang mempermasalahkannya. Hingga di tahun 2016 akhir ada pria yang melaporkan omongan Fry ke polisi. Pria itu yakin kalau omongan Fry adalah perbuatan pidana, maka perlu dipolisikan. Di Irlandia sendiri hujatan dan penodaan agama diatur dalam Undang-Undang Pencemaran Nama Baik Tahun 2009 pasal 37, yang bunyinya kurang lebih begini: “Adalah ilegal untuk menggunakan kata-kata yang sangat kasar atau menghina dalam kaitannya dengan hal-hal sakral terhadap agama apapun, sehingga dengan sengaja menyebabkan kemarahan di antara sejumlah besar penganut agama itu.” Barang siapa yang terbukti bersalah menista agama di Irlandia dapat didenda maksimal €25.000.
Kepolisian Irlandia menindaklanjuti laporan pria itu pada Mei 2017. Sayangnya kepolisian tak menemukan cukup bukti pidana pada Fry. Kasusnya pun mandek dan tidak diteruskan. Meski begitu kasus ini mendapat sorotan publik di Eropa. Kemudian pasal-pasal penodaan agama kembali menjadi pembicaraan hangat di sejumlah negara di Eropa sepanjang 2017.
Rame-Rame Saling Berkaca
Yap. Rencana penghapusan undang-undang penodaan agama di Indonesia tak lepas juga karena Indonesia katanya mencontoh beberapa negara yang sudah mulai mempraktekkannya. Namun sebenarnya Indonesia lemah dalam hal contek-mencontek, kenapa? Ya karena contek-mencontek itu dilarang di Indonesia, apalagi pas Ujian Nasional. Beda dengan luar negeri yang membebaskan siswa-siswanya, terserah mau menyontek ataukah tidak. Tapi yang terjadi nggak ada yang mencontek. Lah Indonesia? Tambah dilarang tambah dilakoni, opo orak kwalik kui uteke? Wes lah kok malah bahas nyontek.
Serius lagi yuk? Eh kok ngajak serius, pacaran aja belom, ups! Oke lanjut, ada Laporan dari U.S. Commission on International Religious Freedom (USCIRF) tahun 2016 yang bertajuk “Respecting Rights? Measuring The World’s Blasphemy Laws” mendefinisikan kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak yang luas, termasuk kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul, dan berserikat, termasuk untuk tidak beragama sesuai hati nurani dan pikiran seseorang.
USCIRF juga melaporkan bahwa dari 192 negara di dunia, 71 diantaranya masih memiliki pasal penodaan agama. Bila diurai berdasarkan pada presentase per regional adalah 25,4 persen dari 71 negara tersebut berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara; 25,4 persen di Asia-Pasifik; 22,4 persen di Eropa; 15,5 persen Afrika Sub-Sahara; dan 11,2 persen di Amerika. Semuanya menunjukan kemiripan yang sama-sama mendefinisikan penodaan agama sebagai tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan.
Sedangkan bila mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi oleh mayoritas 71 negara tadi, pasal penodaan agama seharusnya sudah tidak ada lagi atau dihapuskan. Selain bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi, kehadiran pasal tersebut juga memunggungi kebebasan beragama yang ada pada pasal 18 ICCPR.
Lanjut nggak ya? Sudah penat? Mungkin saya ajak anda jalan-jalan dulu deh. Yuk kita ke Denmark dimana salah satu partai disana, yaitu Partai Venstre menolak wacana penghapusan pasal penodaan agama, tetapi sejak 2017 justru malah berbalik mendukung. Loh kok aneh ya? Pihak kepolisian Denmark pada April 2017 bersikeras menolak dengan alasan bila pasal tersebut dihapus, aksi teror akan meningkat. Beberapa politikus lainnya juga khawatir orang akan bebas menghina agama. Negara asal pemain bulu tangkis Victor Axelsen ini sendiri terakhir kali menggunakan pasal penodaan agama pada tahun 1946.
Setelah dari Denmark kita terbang ke Jerman yuk. Disana penodaan agama diatur dalam Undang-Undang Pencemaran Nama Baik Pasal 166 KUHP. Rata-rata 15 orang di Jerman dihukum terkena pasal penodaan agama ini. Meski tidak secara eksplisit menjabarkan tentang penodaan agama, tapi pasal tersebut masih mampu menjerat siapapun yang dituduh menodai agama. Dilansir situs Deutsche Welle, pada Januari 2015 lalu direktur sebuah lembaga hukum Protestan, Hans Michael Heinig menganjurkan agar penentuan hukum penodaan agama dihapuskan.
Bertolak belakang dengan itu, Konferensi Waligereja Jerman justru meminta agar negara tetap mempertahankan pasal tersebut dengan dalih agar ada “keseimbangan yang bijak” antara nilai-nilai konstitusional “seperti kebebasan berekspresi, kebebasan artistik dan pers versus kebebasan agama dan pemikiran.” Sementara Heinig berpendapat lain, bahwa tujuan seperti toleransi dan penghargaan atas orang lain hanya bisa dicapai oleh pendidikan dan contoh langsung, bukannya hukum.
Di Selandia Baru, eh kok tiba-tiba sampe Selandia Baru? Udahlah lanjut aja, di Selandia Baru juga tergerak untuk meninjau relevansi pasal penodaan agama dalam KUHP mereka. Merujuk pada laporan Law Library of Congress (LOC) tahun 2017 berjudul Blesphemy and Related Laws in Selected Jurisdictions mengungkapkan sudah lebih dari 120 tahun Selandia Baru tidak menggunakan pasal penodaan agama sejak mulanya diperkenalkan di tahun 1893. Tercatat hanya ada satu kasus yang berhasil diadili di tahun 1922, itu pun terdakwa diputuskan tidak bersalah. Pembahasan soal penghapusan pasal penodaan agama di Selandia Baru sebenarnya sudah masuk dalam RUU, namun pada Oktober 2017 lalu, dilansir Newsweek, Parlemen Selandia Baru membatalkan RUU tersebut karena permasalahan penodaan agama belum terlalu mendesak. Barangkali nggak penting-penting amat kali ya?
Bagaimana di Indonesia?
Ya, itu yang menjadi pertanyaan saya, dan anda bisa jadi. Bagaimana KUHP di Indonesia terkait pasal penodaan agama? Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR. Jika konvenan tersebut betul-betul dipatuhi, maka pasal penodaan agama musti dihapuskan. Di negara kita yang pemerintahnya asal usul, perkara penodaan agama diatur dalam pasal 156a KUHP dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. Sejarah pasal ini tidak lepas dari apa yang sudah diwariskan kolonial Belanda. Presiden Soekarno yang didesak ormas-ormas Islam konservatif menerbitkan Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama yang sekarang menjadi pasal 156a KUHP.
Ironisnya, di tahun 2011, jerat bagi orang yang dituduh menodai agama di Indonesia tidak hanya melibatkan pasal 156a KUHP, atau 157 KUHP, melainkan juga UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan pasal berlapis seperti ini, termasuk dalam ranah akademik, seseorang bisa dengan mudah dituduh menista suatu agama dari berbagai sisi, termasuk kebebasan berkeyakinan.
Namun apakah perlu menghapus pasal penodaan agama? Tentu bila merujuk pada realitas yang ada jelas tidak sangat masuk akal penodaan agama itu dihapuskan. Persoalannya adalah jika pasal itu dihapuskan, akan terjadi huru-hara dimana-mana. Loh kenapa pula saya yakin akan hal itu? Tengok saja akhir-akhir ini ketika penodaan agama masih diawasi pasal dan pidana pun, masih saja ribut-ribut soal agama. Saya tak sanggup membayangkan bila pasal penodaan agama di Indonesia akan dihapuskan, apa nggak akan tambah hancur negara ini? Sehancur hati ini melihat dia jalan sama orang lain? Ups.
Bila tetap ngotot ingin menghapuskan pasal penodaan agama seperti di negara-negara lain. Saya rasa Indonesia mustahil bisa melakukannya, apalagi tingkat toleransi di Indonesia yang memang jauh lebih rendah dari negara-negara yang disebutkan diatas. Bila rasa toleransi diantara penduduk beragama di Indonesia saja belum sepenuhnya di bentuk dan dipupuk sejak dini, jangan harap bisa menghapuskan pasal penodaan agama. Itu mustahil kelesss. Selain rasa toleransi, siapa yang berani menjamin di Indonesia ini tidak akan ada kasus penodaan agama atau seminimalnya tidak ada yang lemes mulutnya?
Nggak akan ada yang menjamin hal itu, bahkan presiden sekalipun. Mengingat Indonesia ini negara yang kompleks dan beragam. Secara tidak langsung, Indonesia rentan terjadi slek antara umat beragama. Jangankan umat beragama bisa jadi perpecahan muncul diantara individu-individu. Selain itu, apakah ini persoalannya hanya pada pasal? Saya rasa tindak terhadap pelanggar pasal penodaan lah perlu diperbaiki. Para penegak hukum harus mampu mengklasifikasi mana kasus yang masuk penodaan agama, mana pula yang bukan. Saya tidak akan memberikan klasifikasi, karena saya yakin para penegak hukum sudah tahu mana yang benar, mana yang salah, itupun kalau nggak ada uang pelicin, eh. Jadi, yakin mau hapus UU Penodaan Agama? Mikir…