Ceritanya aku pas hari kamis setelah diskusi film ‘Jakarta Undercover,aku bicara ngalor ngidul sama dua orang perempuan. Yang satu namanya Lia dan satunya lagi namanya Ana. Nah yang paling aku senang adalah ketika aku, Lia dan Ana bahas tentang teorinya Sigmund Freud. Namannya teori Psikoanalisis begitu kata anak-anak jurusan BPI (Bimbingan Konseling Islam) IAIN Pekalongan, dan mungkin seluruh anak-anak jurusan BPI se-Indonesia tahu itu. Mungkin.
Menurut pemahamanku tentang teori itu adalah seorang harus berani menyelam ke dasar gunung es seperti yang dianalogikan oleh S.Freud sendiri dalam penggambarannya. Okelah itu cuma sebuah penggambaran. Menurutku sendiri agar mudah memahaminnya aku ganti jadi lautan samudra. Jadi,Ego ada di atas permukaan lautan samudra. Superego ada di pertengahan permukaan, berarti agak menyelam ke dalam dari permukaan. Sedangkan ID berada dibagian paling dalam dari lautan samudra.
Kalau boleh dihubungkan pendapatnya Budayawan SujiwoTedjo bisa dikatakan “mendalam karena tak punya dasar”.
Nah pada tataran inilah pemahamanku tentang teorinya S freud (baca:Psikoanalisis). Jadi menurutku adanya orang tidak mampu setia, itu karena dia tidak mau menyelam kedalam lautan samudra itu sehingga mudah selingkuh atau mudah ditikung oleh pelakor (bahasa populernya). Karena di permukaan lautan samudra,kan gelombang ombaknya besar dan kadang terjadi badai ganas.
Nah itu yang aku maksud kenapa teman-temanku begitu mudahnya untuk menduakan (baca:selingkuh). Hmmm..jawabannya simpel,karena tidak mau menyelam ke dalam lautan samudra. Mengapa? Karena di dalam kedalaman lautan samudra, terdapat ketenangan yang tidak bisa didapatkan dipermukaan yang selalu bergerak dinamis karena sapuan ombak kesana-kemari. Maka menurutku, agar langgeng menjalin hubungan, mestilah dua orang sama-sama menyelam ke dalam samudra yang dalam.
Tapi Lia yang jadi kawan diskusi sore itu berbeda pemahamannya denganku. Menurut dia kira-kira begini “Nggak Bad, ego itu realitas, superego itu moralitas dan id itu irrealitas. Bisa dipahami id itu keinginan dasar manusia tapi mesti dikaji dulu lewat ego (realitasnya). Jadi nanti bisa ditemukan yang namanya moralitas dan moralitas itu superego. Maksudnya sebagai jembatan antara ego dan id begitu”. Aku mikir, kok beda ya sama pemahamanku atas teori Psikoanalisis ini. Hmmm..
Lalu ditengah kebingungan itu aku kaitkan dengan kasus banyaknya teman-teman yang selingkuh tadi. Sepemahamanku berarti ‘selingkuh’ itu keinginan dasar setiap manusia yang mesti dikaji dulu lewat realitas yang ada disebabkan datangnya cinta yang lain. Setelah itu tercapailah sebuah moralitas yang bijak karena berhasil menyeimbangkan antara keinginan dasar dan kenyataan. Terus aku lanjutin lagi bahasannya tentang keinginan dasar itu tentang ‘cinta’.
Menurut temanku Lia, cinta itu keinginan dasar yang mesti dipertimbangkan dulu apakah seseorang itu pantas dicintai atau tidak. Dalam arti ketika kita mencintai seseorang, adalah karena pertimbangan-pertimbangan kenyataan yang ada pada diri seseorang. Tapi setelah mendengar pendapat itu dari Lia aku tanya,“Mbak Lia berarti anda tidak tulus dong dalam mencintai seseorang? Gimana itu?” begitu tanyaku.
Terus dia jawab,“Ya kembali lagi ke teori tadi. Ego,Superego dan id. Ketika mencintai seseorang ya otomatis karena kita mempertimbangkan apa yang ada didalam diri seseorang itu”. Terus aku nanya lagi,”Kalau begitu Mbak Lia nggak tulus dong dalam mencintai. Bukankah dalam mencintai kita mesti tulus?” MbakLia bingung,karena ia mendasarkan konsepnya padahal yang disebut ‘realitas’. Sedang aku sendiri lebih kepada ‘irrealitas’. Yang kalau bercinta ya mesti tak usah mempertimbangkan realitas-realitas diri seorang untuk dicintai. Nah itu namannya ‘tulus’ dalam arti yang sebenarnya sesuai teori psikoanalisis.
Hmmm…tapi aku bingung sebenarnya gimana sih pemahaman konsep Psikoanalisis itu sendiri apakah seperti pemahaman kawanku, atau aku. Gila! Aku teringat lagunya NikeArdila, yang liriknya ‘Ku tak akan bersuara… walau dirimu kekurangan…na na na naa. Disitu substansi muatan katanya sangat dalam, dan sangat berkonfigurasi dengan teori Psikoanalisis. Karena si Nike ini, menceritakan dirinya tulus dalam mencintai, dan dengan tidak mempertimbangkan apa-apa yang ada didalam diri seseorang karena dia mendalam. Kalau mencintai karena pertimbangan realitas, rasanya aku kok gimana gitu, nggak relevan dan nggak ilmiah.
Bukankah ‘iman’ itu mendalam? Tapi kalau lihat pendapatnya S.Freud sendiri, dalam buku karangannya Hans Kung judulnya “Ateisme Sigmund Freud”. Katanya, ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh kaum agamawan merupakan ‘ekspresi kegilaan’ seseorang. Mengapa? Karena si Doi (baca:Sigmund Freud) menganalisis perilaku kaum agamawan dengan teorinya yang mencoba memahami naluri dasar kemanusiaan paling mendasar. Dimana permasalahan kehidupan yang sedemikian complicated, yang mau tidak mau berpijak dan kembali pada sesuatu yang paling logis di kehidupan ini,yaitu hal diluar nalar manusia. Ambil contoh putus cinta, maka hal yang semestinnya diusahakan adalah berdoa, sebab, Tuhan sendiri bilang Ud’unii astajiblakum.
Maka sangat logis menurutku kalau si Doi berpendapat seperti itu, mengingat ikhlasnya hati sering kali disalah arti (meminjam liriknya laguMalaysia, Salam Gerimis). Aku sendiri jadi paham lewat pengalaman teman-teman yang diputus cinta padahal sudah memberikan jiwa raganya untuk seseorang. Daripada bunuh diri ditinggal my honey, mending berdoa kepada Tuhan. Minta diberi pacar atau jodoh yang rupawan meski realitas tidak mendukung blas. Dan termasuk orang gila menurut Sigmund Freud karena itu merupakan ‘ekspresi kegilaan’ seseorang. Jangan marah ya…aku juga gila kok..