Tak pernah debarku sehebat ini, hanya sebab senyum tiga jari. Dan untuk kesekian kali, aku lagi-lagi jatuh hati.
Kuliah, mengerjakan makalah, kuis, rapat, kajian, dan kawan-kawannya seakan sudah menjadi rutinitas harian mahasiswi bernama Asfa yang kini tengah menempuh pendidikan jurusan sastra Indonesia, di salah satu perguruan tinggi Kota Semarang. Parasnya yang ayu, pembawaan kalem, dan sederhana ini mampu membuat dia terpilih menjadi ketua bidang kaderisasi dalam organisasi Islam yang ia ikuti di kampusnya.
Asfa, dengan langkah teratur berjalan menuju mushola di fakultas hukum. Ia duduk di beranda mushola, matanya mengamati sekeliling, mencari seseorang yang tengah ia tunggu.
-Assalamualaikum. Mbak, Mbak Ayu saja ya, yang ngantar surat sekaligus nembung.-
-Wa’alaikumsalam. Mbak Ayu baru pulang dua minggu lagi, nduk. Mbak minta tolong kamu, ya. Kamu sudah tak kasih kontaknya Mbak Nia, kan? Langsung dihubungi saja. Orangnya supel kok. Mbak minta tolong ya, As.-
Terpaksa sebenarnya gadis itu menyetujui permintaan dari Mbak Ayu, kabid humas seniornya di organisasi yang meminta tolong untuk mengantarkan surat pada Mbak Nia, salah satu orang yang ditunjuk untuk mengisi materi saat acara pengkaderan tahap pertama organisasi lembaga dakwah kampus. Bukan ia tidak mau, hanya saja, ada seseorang yang tidak ingin Asfa temui di sini. Selama dua tahun menimba ilmu, tak pernah sekalipun ia duduk berlama-lama di fakultas ini. Paling hanya sekedar lewat sebentar.
“Asfa, ya?” gadis yang masih sibuk dengan smartphone nya itu mendongak, mencari arah sumber suara yang memanggil namanya. Detik pertama mata itu beradu, Asfa segera menjatuhkannya. Dunia kenapa sesempit ini? Rapalan doa gadis itu benar-benar tidak manjur.
“Eh, Arka.” hanya senyum kikuk yang Asfa berikan kala laki-laki bernama Arka itu menyapa dia. Arka mengedarkan pandang, seolah mencari sosok lain yang mungkin juga datang bersama Asfa.
“Kamu sendirian, As?” tanya Arka ketika pencariannya tak menemukan hasil.
“Iya. Lagi nunggu seseorang, sudah janjian disini,” jawab Asfa sekedarnya.
“Siapa? Anak hukum?” Asfa mengangguk kecil sebagai jawaban. “Namanya Mbak Nia,” lanjutnya.
“Oh, Mbak Nia? Beliau mantan kabid riskel di BEM fakultas. Sebenarnya aku juga ada perlu. Jadi bisa nunggu sekalian di sini,” ujar Arka. Laki-laki itu menoleh ke belakang, “San, temenin duduk di sini dulu, ya. Ada yang mau tak bicarakan sama Mbak Nia,” terlihat laki-laki yang dipanggil San itu mengangguk kecil, dan kemudian ikut duduk di samping Arka. “Kenalkan, ini Hasan, teman satu jurusan,” kenal Arka.
Asfa tersenyum kecil sebagai balasan, “Saya Asfa, teman Arka sewaktu SMA dulu,” ujar gadis itu yang disambut senyum kecil pula.
Sudah hampir dua puluh menit dari waktu kesepakatan, Mbak Nia tidak kunjung tiba. Asfa sudah menghubunginya sedari tadi, namun tidak ada jawaban. Ia berasumsi mungkin smartphone Mbak Nia lowbat atau beliau tengah ada urusan. Perasaan gadis itu benar-benar tidak nyaman, rapalan doa untuk Mbak Nia agar segera datang selalu ia gumamkan dalam hati. Sungguh, kenapa hari ini ia harus terjebak dalam satu lingkaran bersama orang itu? Ya, Asfa selalu memanggil Arka dengan orang itu, meski tidak benar-benar ia ucapkan di depan Arka atau yang lain. Cukup hanya ia ucapkan dalam hati, dalam pikiran, dan dalam kesendiriannya.
“Kita padahal satu kampus, kenapa aku jarang melihatmu, ya?” Arka memecah keheningan yang tercipta sejak lima puluh detik yang lalu.
“Kampus kan besar, dan jarak antara fakultas kita juga agak jauh,” jawab Asfa yang lantas membuat Arka tertawa kecil.
“Iya juga sih.” Arka membenarkan letak duduknya, “Reuni kemarin juga kamu kayaknya ndak hadir, ya?” Asfa tak langsung menjawab, ekor matanya melirik ke samping, mengamati laki-laki seumuran dia yang kini tengah memperhatikan lalu lalang para mahasiswa di depannya. Sesekali bibirnya merekah tipis, atau tangannya melambai kala ada seseorang yang menyapa.
Deg. Terlalu asik memandang Arka dari samping, gadis itu sampai tak sadar jika mata mereka sudah beradu lagi, seketika Asfa menunduk, malu.
“Kemarin masih ada UAS, jadi belum sempat hadir reuni,” jawab Asfa kemudian. Gemuruh di dadanya terus saja bertalu, dan jujur ia tidak suka itu. Arka mengangguk paham, hingga muncul seorang perempuan dengan jilbab biru langit dan baju yang senada, dibalut dengan rok hitam berjalan menuju beranda mushola. Senyumnya mengembang, menghampiri tempat dimana Arka, Asna, dan Hasan duduk.
“Assalamualaikum. Kalian kok disini?” sapa perempuan itu pada keduanya.
“Wa’alaikumsalam. Iya, nunggu Mbak Nia,” ujar Arka yang seketika membuat Asfa yang tadi hanya tersenyum tipis kala perempuan itu menyapanya, kini ia sepenuhnya menatap perempuan jilbab biru yang ternyata adalah Mbak Nia.
“Mbak Nia?” sapa Asfa. Perempuan itu menatap Asfa lama, dua detik berlalu tiba-tiba pundak Asfa terasa berat, ia dipeluk oleh Mbak Nia.
“Maaf, ya. Mbak telat. Tadi masih bimbingan dan lama,” ujar Mbak Nia disela pelukannya. Asfa mengangguk kecil. “Kamu kenal sama dek Asfa, Ka?” tanya Mbak Nia pada Arka selepas menyudahi adegan pelukan tanpa diduga itu.
“Iya, Asfa dulu teman satu sekolah,” jawab Arka yang dibalas anggukan. Mbak Nia kini sudah memposisikan diri duduk di samping Asfa setelah sebelumnya menyalami gadis itu.
“Mbak, ini ada amanah dari Mbak Ayu.” Asfa menyerahkan satu amplop putih besar yang isinya sebuah undangan. “Insyallah acaranya Ahad depan. Mbak Nia bisa?”
“Insyallah bisa. Mbak Ayu nya kemana, dek Fa?”
“Masih pulang kampung mbak.” Mbak Nia mengangguk. “Kalau begitu aku langsung pamit ya, mbak. Sudah ditunggu teman soalnya.”
“Hati-hati, dek. Sampai ketemu Ahad depan.”
“Iya, mbak. Assalamualaikum. Mari Mbak, Arka, dan Hasan. Terima kasih,” ujar Asfa yang kemudian bangkit, berjalan keluar.
“Wa’alaikumsalam, As.” sayup-sayup Asfa masih mendengar Arka menyebut namanya. Sebelum gadis itu benar-benar pergi, Arka masih memamerkan senyum dia. Senyum tiga jari yang membuat perasaan Asfa tidak karuan. Setelah ini, Asfa benar-benar harus berjuang untuk melupakan Arka, dan senyum tiga jarinya. Ia tidak ingin, hari-harinya dipenuhi dengan laki-laki itu. Ia sudah berjuang selama dua tahun untuk menghindar bertatap wajah dengannya sebelum hatinya benar-benar siap, tapi kini, seolah perjuangan dia harus berulang dari nol lagi.
***
Dua hari setelah perjumpaan itu, setengahnya Asfa sudah melupakan senyum tiga jari Arka. Senyum yang berhasil membuat Asfa jatuh hati empat tahun silam, dan senyum yang kadang ia rindukan tapi juga ia takutkan. Takut jika nanti senyum itu menjadi candu sedang ia belum ada ikatan yang dibenarkan.
“Mbak, ini formulir pendaftaran yang sudah terkumpul,” ujar Nami, adik tingkatnya di divisi kaderisasi sembari menyerahkan satu tumpuk kertas formulir.
“Makasih, dek,” balas Asfa menerima uluran tumpukan formulir itu. Asfa memeriksa dan mendata satu persatu calon anggota yang mendaftar di Lembaga Dakwah Kampus. Ada satu nama yang ia kenali dan begitu familiar. Asfa membacanya satu kali lagi untuk memastikan.
“Arkana Nafiuz Ghofur. Mahasiswa jurusan hukum semester empat.” gumam Asfa lirih, nyaris hanya dapat di dengar oleh gendang telinganya sendiri.
Kenapa harus dia? Kenapa dia harus mendaftar anggota baru di LDK? Apa alasannya?
Terlalu banyak hal yang membuat gadis itu bertanya sekaligus khawatir. Jika selanjutnya senyum tiga jari itu akan menghias keseharian Asfa, ia tidak yakin, hidupnya akan baik-baik saja.
“Selamat, Ar. Kamu berhasil membuatku jatuh hati untuk kesekian kali dengan senyum tiga jarimu itu. Aku tidak apa bila jatuh hati lagi padamu, sebab sejak empat tahun lalu pun rasaku masih sama. Tapi tolong, senyum tiga jari itu jangan sampai menjadikanku candu.” lirih Asfa. Melipat formulir bertuliskan nama Arka, lantas menaruhnya bersama formulir lain yang sudah ia data sebelumnya.
Ed: Sabrina