Judul: Ubur-Ubur Lembur
Penulis: Raditya Dika
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Cetakan pertama 2018
Tebal: 232 halaman
ISBN: 978-979-780-915-7
Siapa yang tak mengenal sosok Raditya Dika. Namanya sering terpampang di layar lebar sebagai seorang sutradara. Selain itu ia juga aktif dalam dunia kepenulisan dan sebagai stand up comedian. Baru-baru ini ia merilis buku barunya. Sempat sedikit tersendat dalam penulisan karena berbagai aktivitas yang dilakoninya diluar menulis. Akhirnya buku ini selesai dalam kurun waktu dua tahun. Pemantik semangatnya menyelesaikan buku ini muncul saat ia bertemu dengan seorang komedian asal Australia yang secara kebetulan mengisi di panel komedi dalam acara Ubud Writers & Readers Festival 2017 lalu. Seperti biasa Radit membagikan kisah-kisah menarik dalam hidupnya yang ia bawakan dengan gaya penyampaian ringan dan dibumbui humor. Barangkali kisah yang ia bagikan penting diambil makna oleh pembacanya.
Adakalanya hidup selalu mengalami perubahan, tidak melulu stagnan bertahan pada satu kepingan saja. Seperti dalam percintaan. Seseorang akan merasa bahwa pasangannya berubah karena perhatian-perhatian yang biasa ia dapatkan tidak lagi diterimanya. Padahal itulah proses dalam kehidupan. Kita harus mencoba menyikapi perubahan itu lebih positif. Radit membagi kisah tersebut berdasar pengalamannya menjadi seorang mediator dari pasangan yang tengah dirundung kegalauan. Kisah ini ia sampaikan pada bagian (dua orang yang berubah dan pada sebuah kebun binatang. Hlm 1 dan 19).
Apa yang kita lihat belum tentu hal tersebut adalah realita sebenarnya. Barangkali itulah yang coba disampaikan Radit dalam bincang-bincangnya bersama dua orang publik figur/artis di negeri ini. Mungkin kita pernah melihat orang lain atau bahkan (kita sendiri) menghujat seorang publik figur hanya karena artis tersebut melakukan ‘sedikit kesalahan’ kecil dalam kesehariannya. Orang beramai-ramai membanjiri komentar-komentar negatif di media sosialnya sang artis tersebut. Tak mengerti dengan alasan sebenarnya kebanyakan dari mereka hanya melihat tampilan luarnya saja dan menghakimi secara tidak berdasar (hlm 145).
Radit juga menyampaikan kekesalannya dengan jejaring media sosial yang saat ini tengah menjamur dan digandrungi banyak orang. Sebut saja instagram. Salah satu media sosial yang ‘diklaim’ sebagai wadah yang tepat untuk berpamer ria. Namun lagi-lagi Radit melampiaskan kekesalannya dengan gaya yang cukup menggelitik. “Instagram itu bukan media untuk sharing lagi sekarang, melainkan untuk pamer. Itulah kenapa nggak ada yang update lagi makan di warteg, tapi pada update kalo lagi makan di Sushi Tei (baca: restoran).” (hlm 159)
Begitu kiranya kisah-kisah pengalaman seorang Radit. Terlepas dari itu semua Ia mencoba untuk membuka mata kita tentang arti hidup yang bisa kita capai. Dari berbagai pengalaman yang ia dapatkan di kehidupan sehari-seharinya, ada satu bagian yang membuat ia berpikir ulang yaitu pada saat ditanya seorang teman apakah ia menyesal mengundurkan diri dari kantor dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Disitulah Radit mulai berpikir jika keputusan yang ia ambil adalah hal yang tepat. Inspirasi untuk berani tampil beda dalam membuat keputusan ia peroleh dari seorang koki kenamaan asal Italia, Massimo Bottura.
Zona nyaman memang membuat kita berada dalam posisi aman. Segala sesuatunya berkutat hanya pada itu-itu saja dan terkendali, meskipun seringkali terasa monoton. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwasannya zona nyaman bisa saja membuat kita tidak dapat menentukan sikap dalam menjalani hidup. Karena semua yang ada hanya mengikuti arus layaknya seekor ubur-ubur. Terombang-ambing dan tak tahu arah tujuan yang jelas. Dianalogikan dengan seekor ubur-ubur Radit belajar bahwa membuat terobosan dalam hidup itu sangat perlu. Seperti keputusannya yang memilih menjadi seorang penulis profesional.
Tak lupa Radit juga menyampaikan tentang pentingnya sebuah passion. “Kamu pingin jadi apa pun, kan, orang tua nggak bakal ngelarang. Asal kamu jadi yang terbaik. Just do what you do best, and money will come by itself.” Begitulah pesan yang ia dapatkan dari papanya. Ia juga menambahkan jika seseorang yang bekerja di kantoran tapi tidak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Lembur hingga malam tapi tidak bahagia (hlm.226). Berbeda jika kita melakukan hal-hal yang kita cintai meskipun oleh orang-orang dipandang sebelah mata itu akan jauh lebih memiliki makna untuk diri kita pribadi. Setidaknya kita merasa bahagia dan menikmati sesuatu yang kita kerjakan.
Bacaan ringan ini cocok untuk kita yang ingin mengisi akhir pekan dengan hiburan kata-kata namun tetap bisa memperoleh makna akan pengalaman sang penulis. Bagi orang-orang yang masih ‘mengambang’ akan masa depannya, buku ini juga bisa menjadi bacaan alternatif. Karena kisah yang disampaikan dialami benar oleh sang penulis. Begitu selesai membacanya pun secara tidak langsung kita diajak untuk merenungkan kembali pada diri kita sendiri apakah akan memutuskan menjadi manusia (menapak dan melangkah) atau menjadi ubur-ubur (terombang-ambing hanya mengikuti arus).