Judul Buku : Air Mata di Tapal Batas
Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit : Glosaria Media
Tebal : 348 halaman
ISBN : 978-602-71777-1-0
Ketika mendengar kata perbatasan, apakah yang terbesit di benak kalian? Kemiskinan, krisis nasionalisme, ketimpangan pembangunan, atau hal-hal kecil lainnya. Salah satu perbatasan yang mengalami hal-hal demikian adalah Kecamatan Jagoi Babang, kabupaten Bengkayang, Propinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Teramat miris keadaan di sana yang diceritakan dalam buku ini. Kondisi jalanan kampung yang beralaskan tanah merah, warga yang tak mengenal mata uang rupiah, bahkan migrasi ke negeri tetangga yang sangat pesat.
Bukan tanpa alasan warga di daerah perbatasan layaknya Jagoi Babang pergi meninggalkan negerinya. Alasan yang sangat klasik bisa dibilang adalah soal uang (hlm. 20). Kita memang tinggal di Indonesia, tetapi kita hidup dari bumi Malaysia. Tempat mukim memang di negeri sendiri, tapi tempat makan ada di negeri orang. Soal mata pencarian, memanglah benar mayoritas warga Jagoi Babang bekerja di kebun sawit milik Malaysia. Susahnya bekerja di negeri sendiri menjadi penyebab utamanya.
Di balik semua masalah yang ada di perbatasan, ternyata masih terdapat secercah harapan akan rasa memiliki untuk negeri sendiri. Pang Ukir, beliau adalah tokoh masyarakat yang dalam buku ini menjadi orang paling berpengaruh untuk keberadaan Jagoi Babang. Tradisi, seperti hari gawai yang dijadikan moment untuk berkumpul bersama para warga Jagoi Babang masih terus ada di bawah arahan Pang Ukir. Serta satu hal yang perlu kalian tahu, hari gawai diadakan setiap tahunnya pada tanggal 1 Juni. Bisa dibilang hari gawai sendiri selalu dirayakan secara istimewa dan meriah, bahkan melebihi perayaan 17 Agustus sebagaimana dilakukan di daerah lain.
Di sela-sela perayaan hari gawai yang berlangsung, ada beberapa pemuda yang sangat berpengaruh pula untuk kalangannya, yaitu Nanjan dan teman-temannya, Mamut, Hamdan, Parno dan Sukimin. Pemuda yang tahu betul apa makna Pancasila, hapal butir pembukaan UUD 1945, serta sangat mencintai sang garuda di dada. Sampai akhirnya kondisi yang membuat mereka harus berjibaku dengan pilihan sulit. Antara harus mempertaruhkan kesejahteraan hidup demi nasionalisme yang mereka pegang selama dalam asuhan Iskandar dan kawan-kawannya, atau harus rela melepaskan garuda di dada mereka demi keindahan sinar harimau di negeri seberang. Iskandar sendiri merupakan tentara yang ditugaskan di perbatasan dan tentunya juga mendidik para anak Jagoi Babang agar tetap tahu kalau mereka adalah Indonesia.
Kini Nanjan dan kawan-kawannya sudah bukan lagi anak kecil yang dapat terus dibohongi dengan iming-iming cinta negeri adalah harga diri yang tak dapat di ganggu gugat. Nanjan bekerja setiap harinya di kebun sawit Malaysia dengan upah yang terbilang besar dalam satuan mata uang Ringgit. Sampai pada akhirnya Nanjan mulai merencanakan kepindahan penduduk Indonesia ke Malaysia untuk kesejahteraan yang lebih baik bersama teman-teman lainnya. Contoh halnya Ibu Nanjan, Nei yang sakit-sakitan sepeninggal almarhum ayah Nanjan. Di Jagoi Babang, Nanjan tak bisa mengobati ibunya karena untuk pergi ke puskesmas terdekat saja butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sana dan harus menggunakan kapal motor dan itupun membutuhkan biaya yang besar. Sebaliknya untuk berobat ke Serawak hanya perlu dengan menggunakan sepeda motor dan menunjukkan id card sebagai buruh sawit illegal Malaysia, Nanjan bisa mengobati ibunya dengan cepat.
Bukan hanya itu, diam-diam Hamdan yang keturunan Melayu tulen suka dengan dara nan cantik di negeri seberang. Taruhan restu orang tua dara tersebut adalah Hamdan harus pindah warga negara dan tinggal di Malaysia. Tekad para pemuda Jagoi Babang makin berapi-api dengan memulai untuk menemui dan menghasut para warga dengan iming-iming kemudahan pengurusan dokumen kependudukan, kesejahteraan hidup, akses kesehatan dan lain sebagainya. Tentulah bukan hal mudah ketika awalnya para warga sepakat untuk mengikuti ingin Nanjan dan kawan-kawannya, tapi tiba-tiba berubah haluan untuk menolak ingin mereka. Ternyata mereka merubah pemikirannya karena Pang Ukir juga mengadakan pertemuan diam-diam dan menceritakan segala sejarah bertahannya Jagoi Babang sampai saat ini.
Konflik terus terjadi kala para pemuda Jagoi Babang itu pun meminta izin kepada orang tua masing-masing untuk pindah ke negeri sebrang. Nanjan yang didiamkan oleh Nei berhari-hari, Mamut yang sudah tak dianggap oleh ayah dan ibunya sebagai keluarga, bahkan Hamdan yang nekat untuk menemui sang dara tanpa restu orang tuanya karena api cinta yang sudah terlanjur menyala. Sampai waktu yang ditunggu tiba untuk kepergian pemuda Jagoi Babang. Seluruh warga pun berada di belakang mereka dan di antaranya juga ada Pang Ukir seakan merestui putra ibu pertiwi murtad dari tanahnya.
Wajah Hamdan tersenyum malu melihat sang dara beserta sang calon mertua sudah terlihat menyabut di perbatasan sebrang sana. Namun matanya pun juga tak bisa berbohong bak ingin meneteskan air mata kesedihan karena harus meninggalkan tempat di mana ia dibesarkan. Ternyata hal menakjubkan terjadi, satu per-satu pemuda itu mundur seakan membatalkan kepergian hijrah tersebut. Sampai tinggal tersisa Nanjan dan Hamdan, yang akhirnya Nanjan pun ikut mundur. Tadinya dia yang begitu keras untuk keputusannya pergi dari Indonesia, tapi akhirnya luluh karena dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Ibunya juga sudah meninggal saat sakitnya kambuh ketika Nanjan meminta izin untuk pindah ke Malaysia.
Hanya sentuhan pelan Nanjan di bahu Hamdan tanda untuk giliran dia menentukan pilihan, tak kuasa air mata Hamdan sudah terjatuh dan dia pun tak berani melihat ke seberang dimana sang dara menanti. Hamdan membalikkan badan dan memeluk teman-temannya dan saling menguatkan untuk tetap bertahan di Jagoi Babang. Hanya senyuman kecil dan lambaian tangan yang diberikan Hamdan sebagai tanda perpisahan kepada sang dara di sana.
Sungguh banyak konflik tak terduga di dalam buku ini yang bisa menguras emosi kita sebagai pembaca. Watak tokoh yang benar-benar dibuat tak tertebak oleh penulis. Tentunya juga suntikan-suntikan nasionalisme para abdi negara yang ada diperbatasan sana, telah berhasil menyatukan Indonesia di dada pemuda Jagoi Babang. Buku ini sangatlah saya sarankan untuk dibaca, banyak misteri-misteri unik untuk diketahui, bahasa yang digunakan juga ringan dan mudah dipahami, serta tentunya isi cerita yang sangat menarik.
“Tidak, kawanku. Aku mencintai Siti dengan segenap hatiku. Tapi jiwaku tak bisa meninggalkan kampung kita. Siti memang cintaku. Tapi negeri ini, adalah jiwaku..!” (kalimat lirih terakhir Hamdan di depan warga Jagoi Babang).
Resensi Buku Air Mata di Tapal Batas
by Yusuf Mantoro