Ditahun 2018 ini, kerap kali telinga kita lengket dengan istilah tahun politik. Ini menunjuk pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di provinsi dan kabupaten –kota secara serentak di 171 lokasi. Dunia perpolitikan Indonesia nampaknya semakin memanas. Apalagi jika berbicara mengenai agama dan politik, tentu hal itu sangatlah sensitif.
Ketika isu agama sudah dibawa dan memasuki ranah politk, maka tak jarang yang terjadi ialah bencana sosial yang luar biasa. Contohnya saja kasus yang menjerat mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di akhir tahun 2016 lalu. Kasus yang katanya Ahok menista agama sehingga terjadi aksi demonstrasi yang berjilid-jilid.
Di negara yang agamanya sangat kental, peran tokoh agama tentu sangat diperhitungkan dalam sebuah kebijakan politik pemerintah. Di Indonesia misalnya, sebagai negara mayoritas muslim, peran Kyai tentulah sangat besar dalam menentukan arus politik pemerintah. Lembaga pendidikan agama seperti pesantren disaat sekarang ini bisa dikatakan sebagai komoditas oleh elit politik tertentu. Ada sebuah anekdot yang beredar di media sosial, kalau sudah banyak politisi memakai peci, kalau sudah banyak politisi yang sowan ke para Kyai, itu tandanya momentum pemilihan umum (baca: pemilu) sudah dekat.
Pemilu, menurut Morissan (2005:17) adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Pemilu hakikatnya merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai wahana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Melalui pemilu, masyarakat secara langsung terlibat aktif dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk lima tahun kedepan.
Menjelang pemilu, biasanya kandidat calon wakil rakyat itu akan berlomba-lomba guna mencuri hati warga agar warga menjatuhkan pilihannya kepada mereka kelak ketika waktu pemilihan tiba. Para tim sukses merekapun gencar menyebar berita hingga dukungan mereka lewat media sosial. Segala macam cara mereka gunakan agar menang atau dalam bahasa agamanya itu menghalalkan segala cara. Diantaranya yaitu dengan menggunakan isu –isu yang rentan memecah belah bangsa. Tak jarang isu yang berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan.
Politisasi agama pun terjadi. Masyarakat yang tadinya adem ayem dan tentram, setelah jelang pemilu mereka menjadi ribut. Yang tadinya saudara jadi seperti bukan saudara lagi. Yang tadinya teman menjadi musuh. Itu hanya karena mereka menjagokan jagoan mereka masing-masing dalam pemilu. Ketidakstabilan pun melanda masyarakat. Hawa panas terus menyertai masyarakat maupun elit politik yang sedang hendak mencapai visi misinya. Disini terlihat seolah agama hanya dijadikan alat dan tidak memfungsikan agama sebagaimana mestinya. Agama yang harusnya bersifat konstruktif, namun justru ketika masuk ke ranah politik maka agama itu berubah menjadi destruktif.
Disinilah dibutuhkan peranan dari para tokoh yang menyejukkan umat itu. Tak peduli agama apa ataupun kepercayaan apa ataupun aliran apapun itu, yang terpenting mereka yang bijak dalam memahami dan menyikapi keberagaman yang dianugerahkan dari Tuhan. Lalu pertanyaan kemudian muncul. Peranan yang seperti apa? Peranan sebenarnya berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 845).
Selanjutnya peranan dan fungsi dari tokoh agama sangat penting dalam mengendalikan ketegangan sosial yang terjadi di masyarakat dalam iklim yang semakin demokratis ini. Tokoh agama berperan sangat penting dalam menciptakan atau membentuk opini publik atau pendapat umum yang sehat. Oleh karena itu, isu-isu yang menyesatkan dan kabar bohong yang tersebar bisa ditangkal masyarakat bila selalu berada dibawah bimbingan tokoh agama.Tokoh agama atau pemimpin adalah orang yang menjadi pemimpin dalam suatu agama, seperti : para kyai, ulama, pendeta, pastor dan lain-lain. Keberadaan tokoh agama di masyarakat seringkali lebih didengar perkataan-perkataannya daripada pemimpin-pemimpin yang lain.
Tak hanya menyampaikan dakwah atau syiar agama saja, para tokoh agama dibutuhkan agar memberikan pemahaman kepada jamaahnya agar tidak mudah terprovokasi oleh oknum-oknum penyebar kebencian. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan dan membenci permusuhan satu sama lain.
Dalam konteks Indonesia yang mempunyai berbagai ragam suku bangsa dan beberapa agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hucu), maka akan sangat mudah sekali dan rentan akan chaos. Apalagi jika kaitannya dengan politik. Untuk menangkal agar tidak terjadi kericuhan sana sini maka maka diperlukan adanya sinkretisme. Sinkretisme disini yaitu kebersamaan kelompok-kelompok (agama-agama)yang berbeda-beda untuk menghadapi musuh bersama yang akan menghancurkan dan memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Dengan kata lain, jika para tokoh atau pemuka agama di Indonesia bersinergi untuk saling memberi pemahaman kepada para jamaah mereka, maka setidaknya akan dapat meminimalisir keruwetan politik di negara ini. Jikapun para elit politik masih menggunakan cara mempolitisasi agama, namun masyarakat akan dapat dengan cerdas memilih kandidat wakil rakyat sesuai keinginan mereka tanpa adanya senggol sana senggol sini. Partisipasi masyarakat dalam pemilu (baca: politik) pun bisa berjalan sesuai dengan koridornya.
Arini Sabrina