Ada sebuah rasa terpuaskan dalam sebuah proses yang saya alami di sebuah lembaga pers mahasiswa. Rasa puas itu berujung pada klimaks ketika membawa sebuah ujung kepengurusan yaitu ketika masa-masa kaderisasi mendapat calon-calon baru, semangat-semangat baru, suasana kultural yang baru. Senang rasanya melihat perbedaan fungsi historis dari masa-kemasa mulai memperlihatkan perkembangannya. Hal itu membuat banyaknya perbedaan menjadi rahmat, tentunya perbedaan dari segi kualitas. Tak ada rasa tersaingi bagi saya, lebih banyak kagum dan menjadi motivasi walaupun kadang terasa seperti tamparan untuk kembali berkarya. Seakan ketika kita berada diujung ajal, kita memiliki orang-orang yang akan mengurus dengan baik garis garis keturunan kita begitupun dalam sebuah kepengurusan sebuah organsiasi.
Organisasi merupakan wadah potensial dalam mengasah keterampilan dan intelektual non akademis, dan dari sebuah buku yang berjudul zaman peralihan kumpulan dari tulisan-tulisan soe hok gie disana dijelaskan tentang struktural pergerakan organisasi-organisasi mahasiswa didasari atas 2 perbedaan yaitu moral force dan political force. Satu bidang yang berdasarka moral force akan bergerak dengan neraca benar-salah, sedangka dilain sisi ada political force yang bergerak atas neraca kekuatan-kelemahan. Tersasa berbeda jauh ketika disatu sisi moral force memiliki indikator pembenahan kualitas dengan mengesampingkan kuantitas, disisi lain political force berindikator kuantitas untuk mengusung kualitas. Dan organisasi yang beratas namakan “lembaga pers mahasiswa (LPM)” mungkin saya rasa patut menjaga posisinya diwilayah moral force agar tidak lepas dari nilai-nilai normatif dari pers mahasiswa. Di era seperti ini kebingungan mahasiswa akan perannya di masyarakat sangat terasa entah untuk menjadi aktivis, akademisi, tenaga ahli, ataupun hanya sekedar untuk mengejar profesi. Hal tersebut mungkin terkait kondisi kebangsaan kita tak sekacau dulu walaupun masih terjadi praktek-praktek sistem yang kacau seperti dulu. Tidak adanya paksaan atau tuntutan akan masalah kebangsaan menjadikan mahasiswa sekarang masih bimbang menentukan langkahnya. Mereka yang masih terpaku akan heroiknya mahasiswa tempo dulu akan terus mengejar perannya memperbaiki kebobrokan bangsa. dalam hal ini saya harap pers mahasiswa teteap konsisten untuk tidak menumpulkan taringnya, menjadi pelopor ketika yang lain redup.
Namun disatu sisi saya merasakan kegelisahan ketika suatu saat nanti bagaimana ketika tulisan kritik tak lagi bergeming untuk mereka, dimana konten tulisanpun mulai banyak dimanipulasi, media-media mulai diperdagangkan dan menjadi alat poltik. Harus ada hal lain yang dilakukan selain sekedar menulis kritikikan, mencari pembenaran dan pembenahan akan kerusakan bangsa harus dimulai dinyatakan dengan tindakan kongkret ketika dirasa pemerintah tak bisa lagi dihandalkan. Tidak harus menunggu permasalahan bangsa memaksa kita bergerak menetapkan peran.
Nafas baru mulai menghembuskan semangatnya, dalam perjalanannya mereka akan dilatih mengasah isu memilih kata merangkainya dalam bingkai karya yang akan dibaca publik. Sebuah hal berharga bisa menjadi bagian dari mereka yang memiliki harapan besar ingin berproses dalam bidang ini. Menurut ensiklopedia Indonesia, jurnalistik mempunyai arti catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, dapat juga diartikan sebagai surat kabar. Jurnalistik merupakan bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Maka dalam sebuah proses pembentukan bibit-bibit baru dibidang ini diperlukan kerja ekstra akan bagaimana peran mereka tujuan mereka merangkai sebuah tulisan. Zaman boleh beralih namun akar dari semuanya tidak boleh tercabut. Kita harus aktif mengeja persoalan bangsa ditengah gempita kemelut bangsa yang mudah teralihkan.
Mahasiswa indonesia, Januari 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme (diakses pada Rabu, 06 Desember 2017)